Pencabutan Hak Politik
Oleh: Moh Mahfud MD
Masyarakat bersorak gembira ketika Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi (Tipikor) mengabulkan tuntutan jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
untuk menjatuhkan hukuman pidana tambahan, pencabutan hak politik, terhadap
mantan Kepala Korps Lalu Lintas Irjen Pol Djoko Susilo.
Djoko Susilo yang terbukti melakukan korupsi dalam proyek
Simulator SIM selain dijatuhi hukuman penjara dan kewajiban mengembalikan harta
hasil korupsi kepada negara, juga dijatuhi hukuman pencabutan hak politik,
yakni tidak boleh menggunakan hak memilih atau dipilih. Dukungan masyarakat
juga terdengar riuh saat Pengadilan Tipikor menjatuhkan hukuman yang sama
terhadap Anas Urbaningrum.
Seperti halnya Djoko, Anas Urbaningrum dijatuhi hukuman penjara, pengembalian
harta hasil korupsi kepada negara, dan pencabutan hak politik. Dua hari lalu
(Kamis, 27/11/ 2014), mantan Bupati Bogor Rachmat Yasin, selain dijatuhi pidana
pokok juga dijatuhi pidana tambahan, pencabutan hak untuk dipilih. Masyarakat
menganggap wajar jika hak politik koruptor dicabut.
Substansi hak politik yang dicabut, menurut Wakil Ketua KPK Busyro
Muqoddas, adalah hak untuk memimpin atau ikut menentukan pemimpin masyarakat.
Menurut Busyro, orang yang sudah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan
tindak pidana korupsi tidak pantas diberi kesempatan untuk memimpin atau
menentukan pemimpin masyarakat.
Tentu ada yang mengkritik hukuman pencabutan hak politik itu
sebagai hukuman yang melanggar hak politik dalam hukum hak asasi manusia (HAM).
Ada juga yang melancarkan kritik bahwa hukuman tampahan itu berlebihan. Paling
tidak, sang terhukum atau kuasa hukum atau kawan serumpun sang koruptor yang
dijatuhi hukuman tambahan itulah yang melancarkan kritik.
Kita bisa mengabaikan kritik bahwa hukuman tambahan berupa
pencabutan hak politik itu merupakan pelanggaran atau pengurangan HAM. Sebab
setiap hukuman itu pada dasarnya adalah pelanggaran HAM, tetapi pelanggaran itu
diperbolehkan berdasarkan undang-undang (UU).
Mengurung orang di jeruji penjara atau merampas harta bendanya
juga merupakan pelanggaran HAM, tetapi dengan alasan tertentu yang diatur
dengan dan di dalam UU maka HAM setiap orang itu bisa dirampas atau dikurangi.
Itu bersesuaian dengan ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Yang menarik untuk diperhatikan dan tak bisa diabaikan
adalah kritik bahwa hukuman pencabutan hak politik itu berlebihan.
Berlebihan karena tanpa dijatuhi hukuman tambahan seperti itu pun
orang yang terbukti melakukan tindak pidana dan dijatuhi hukuman karena korupsi
memang secara otomatis tercabut hak politiknya untuk menjadi pejabat publik.
Kalau ditelusuri satu per satu, semua UU yang terkait dengan peluang untuk
menduduki jabatan publik memang melarang orang yang pernah dijatuhi hukuman
pidana karena korupsi untuk menduduki jabatan publik.
Untuk menjadi pegawai negeri sipil, menjadi anggota DPR/DPD/DPRD,
menjadi hakim agung atau pejabat negara lainnya disyaratkan tidak pernah
dijatuhi hukuman pidana karena tindak pidana yang diancam dengan hukuman
penjara lima tahun atau lebih. Koruptor adalah pelaku tindak pidana yang
ancaman hukumannya di atas lima tahun sehingga tanpa dimasukkan dalam vonis
pengadilan pun pencabutan hak politik itu langsung berlaku padanya.
Untuk apa lagi menjatuhkan pidana tambahan pencabutan hak politik
jika hukuman itu sudah otomatis berlaku karena ketentuan berbagai UU? Jadi
tidak salahlah para pengkritik yang mengatakan bahwa KPK, Pengadilan Tipikor,
dan Mahkamah Agung berlebihan dalam menjatuhkan hukuman pencabutan hak politik
itu.
Ia membuat produk hukum dan hukuman yang tumpang tindih,
menjatuhkan hukuman yang sudah otomatis berlaku bagi koruptor tanpa dimasukkan
dalam vonis pengadilan. Kesan berlebihan dan tumpang tindih ini semakin terasa
manakala kita melihat pendirian Mahkamah Konstitusi (MK) tentang pencabutan hak
politik ini.
Melalui putusan No 4/PUUVII/ 2009 (tanggal 24 Maret 2009) MK telah
menetapkan bahwa hukuman pencabutan hak politik itu dianggap konstitusional tetapi
dengan batasan-batasan tertentu. Batasan-batasannya, antara lain, pencabutan
hak itu hanya berlaku sampai lima tahun sejak terpidana selesai menjalankan
hukumannya, jabatan yang boleh diduduki itu hanya jabatan yang dipilih oleh
rakyat melalui pemilihan dan bukan jabatan yang diraih karena pengangkatan atau
penunjukan.
Satu syarat lainnya adalah yang bersangkutan harus mengumumkan
kepada rakyat pemilih bahwa dirinya pernah dihukum penjara karena tindak pidana
yang pernah dilakukannya. Jadi setelah lima tahun selesai menjalani hukuman
yang bersangkutan boleh mencalonkan diri untuk menjadi presiden, anggota
DPR/DPD/ DPRD, gubernur, bupati/wali kota, dan sebagainya.
Tapi yang bersangkutan tidak boleh diangkat dalam jabatan-jabatan
yang tidak melalui pemilihan oleh rakyat seperti PNS, menteri, duta besar, dan
sebagainya. KPK, Pengadilan Tipikor sampai Mahkamah Agung memang tidak salah
dalam hal ini. Lembaga-lembaga tersebut hanya terasa melakukan hal yang sangat
berlebihan karena menjatuhkan hukuman yang memang sudah otomatis berlaku
sebagai hukuman.
Ketidaksalahan lembaga-lembaga tersebut tampak dari isi
penghukuman bahwa hak politik yang dicabut itu mencakup hak dipilih dan
memilih. Padahal di dalam berbagai UU maupun putusan MK pencabutan itu tertuju
pada hak untuk menjadi pejabat publik.
Namun hukuman pencabutan hak politik itu terasa berlebihan sebab
secara psikologis dan sosiologis pencabutan hak memilih tak dirasakan sebagai
hukuman. Yang dirasakan sebagai hukuman adalah pencabutan hak untuk dipilih dan
menduduki jabatan publik yang sudah ada di berbagai UU dan putusan MK. []
KORAN SINDO, 29 November 2014
Moh Mahfud MD ; Guru
Besar Hukum Konstitusi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar