Rabu, 03 Desember 2014

Mahfud MD: Pencabutan Hak Politik



Pencabutan Hak Politik
Oleh: Moh Mahfud MD

Masyarakat bersorak gembira ketika Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) mengabulkan tuntutan jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menjatuhkan hukuman pidana tambahan, pencabutan hak politik, terhadap mantan Kepala Korps Lalu Lintas Irjen Pol Djoko Susilo.

Djoko Susilo yang terbukti melakukan korupsi dalam proyek Simulator SIM selain dijatuhi hukuman penjara dan kewajiban mengembalikan harta hasil korupsi kepada negara, juga dijatuhi hukuman pencabutan hak politik, yakni tidak boleh menggunakan hak memilih atau dipilih. Dukungan masyarakat juga terdengar riuh saat Pengadilan Tipikor menjatuhkan hukuman yang sama terhadap Anas Urbaningrum.

Seperti halnya Djoko, Anas Urbaningrum dijatuhi hukuman penjara, pengembalian harta hasil korupsi kepada negara, dan pencabutan hak politik. Dua hari lalu (Kamis, 27/11/ 2014), mantan Bupati Bogor Rachmat Yasin, selain dijatuhi pidana pokok juga dijatuhi pidana tambahan, pencabutan hak untuk dipilih. Masyarakat menganggap wajar jika hak politik koruptor dicabut.

Substansi hak politik yang dicabut, menurut Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas, adalah hak untuk memimpin atau ikut menentukan pemimpin masyarakat. Menurut Busyro, orang yang sudah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi tidak pantas diberi kesempatan untuk memimpin atau menentukan pemimpin masyarakat.

Tentu ada yang mengkritik hukuman pencabutan hak politik itu sebagai hukuman yang melanggar hak politik dalam hukum hak asasi manusia (HAM). Ada juga yang melancarkan kritik bahwa hukuman tampahan itu berlebihan. Paling tidak, sang terhukum atau kuasa hukum atau kawan serumpun sang koruptor yang dijatuhi hukuman tambahan itulah yang melancarkan kritik.

Kita bisa mengabaikan kritik bahwa hukuman tambahan berupa pencabutan hak politik itu merupakan pelanggaran atau pengurangan HAM. Sebab setiap hukuman itu pada dasarnya adalah pelanggaran HAM, tetapi pelanggaran itu diperbolehkan berdasarkan undang-undang (UU).

Mengurung orang di jeruji penjara atau merampas harta bendanya juga merupakan pelanggaran HAM, tetapi dengan alasan tertentu yang diatur dengan dan di dalam UU maka HAM setiap orang itu bisa dirampas atau dikurangi. Itu bersesuaian dengan ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Yang menarik untuk diperhatikan dan tak bisa diabaikan adalah kritik bahwa hukuman pencabutan hak politik itu berlebihan.

Berlebihan karena tanpa dijatuhi hukuman tambahan seperti itu pun orang yang terbukti melakukan tindak pidana dan dijatuhi hukuman karena korupsi memang secara otomatis tercabut hak politiknya untuk menjadi pejabat publik. Kalau ditelusuri satu per satu, semua UU yang terkait dengan peluang untuk menduduki jabatan publik memang melarang orang yang pernah dijatuhi hukuman pidana karena korupsi untuk menduduki jabatan publik.

Untuk menjadi pegawai negeri sipil, menjadi anggota DPR/DPD/DPRD, menjadi hakim agung atau pejabat negara lainnya disyaratkan tidak pernah dijatuhi hukuman pidana karena tindak pidana yang diancam dengan hukuman penjara lima tahun atau lebih. Koruptor adalah pelaku tindak pidana yang ancaman hukumannya di atas lima tahun sehingga tanpa dimasukkan dalam vonis pengadilan pun pencabutan hak politik itu langsung berlaku padanya.

Untuk apa lagi menjatuhkan pidana tambahan pencabutan hak politik jika hukuman itu sudah otomatis berlaku karena ketentuan berbagai UU? Jadi tidak salahlah para pengkritik yang mengatakan bahwa KPK, Pengadilan Tipikor, dan Mahkamah Agung berlebihan dalam menjatuhkan hukuman pencabutan hak politik itu.

Ia membuat produk hukum dan hukuman yang tumpang tindih, menjatuhkan hukuman yang sudah otomatis berlaku bagi koruptor tanpa dimasukkan dalam vonis pengadilan. Kesan berlebihan dan tumpang tindih ini semakin terasa manakala kita melihat pendirian Mahkamah Konstitusi (MK) tentang pencabutan hak politik ini.

Melalui putusan No 4/PUUVII/ 2009 (tanggal 24 Maret 2009) MK telah menetapkan bahwa hukuman pencabutan hak politik itu dianggap konstitusional tetapi dengan batasan-batasan tertentu. Batasan-batasannya, antara lain, pencabutan hak itu hanya berlaku sampai lima tahun sejak terpidana selesai menjalankan hukumannya, jabatan yang boleh diduduki itu hanya jabatan yang dipilih oleh rakyat melalui pemilihan dan bukan jabatan yang diraih karena pengangkatan atau penunjukan.

Satu syarat lainnya adalah yang bersangkutan harus mengumumkan kepada rakyat pemilih bahwa dirinya pernah dihukum penjara karena tindak pidana yang pernah dilakukannya. Jadi setelah lima tahun selesai menjalani hukuman yang bersangkutan boleh mencalonkan diri untuk menjadi presiden, anggota DPR/DPD/ DPRD, gubernur, bupati/wali kota, dan sebagainya.

Tapi yang bersangkutan tidak boleh diangkat dalam jabatan-jabatan yang tidak melalui pemilihan oleh rakyat seperti PNS, menteri, duta besar, dan sebagainya. KPK, Pengadilan Tipikor sampai Mahkamah Agung memang tidak salah dalam hal ini. Lembaga-lembaga tersebut hanya terasa melakukan hal yang sangat berlebihan karena menjatuhkan hukuman yang memang sudah otomatis berlaku sebagai hukuman.

Ketidaksalahan lembaga-lembaga tersebut tampak dari isi penghukuman bahwa hak politik yang dicabut itu mencakup hak dipilih dan memilih. Padahal di dalam berbagai UU maupun putusan MK pencabutan itu tertuju pada hak untuk menjadi pejabat publik.

Namun hukuman pencabutan hak politik itu terasa berlebihan sebab secara psikologis dan sosiologis pencabutan hak memilih tak dirasakan sebagai hukuman. Yang dirasakan sebagai hukuman adalah pencabutan hak untuk dipilih dan menduduki jabatan publik yang sudah ada di berbagai UU dan putusan MK. []

KORAN SINDO,  29 November 2014
Moh Mahfud MD  ;   Guru Besar Hukum Konstitusi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar