Mbok Nggak Usah Ada Neraka
Oleh: Emha
Ainun Nadjib
Setiap
calon santri di padepokan Sang Sunan, di test dulu bagaimana ia membaca kalimat
syahadat. Dan Saridin memiliki lafal dan caranya sendiri dalam bersyahadat.
Suatu cara yang Gus Dur saja pasti tidak berani melakukannya, minimal karena
badan Gus Dur terlalu subur — sementara Saridin adalah lelaki yang atletis dan
seorang pendekar silat yang mumpuni.
Tapi sebelum hal itu diceritakan, karena Saridin khawatir Anda
kaget lantas darah tinggi Anda kambuh, maka harus diterangkan dulu beberapa hal
mendasar yang menyangkut hubungan antara Tuhan dengan humor.
Sejak mulai akil balig, Saridin secara naluriah maupun
perlahan-lahan secara rasional memutuskan untuk melihat dan memperlakukan
kehidupan ini sebagai sesuatu yang sangat bersungguh-sungguh — namun ia
menjalaninya dengan urat saraf yang santai dan dengan kesiapan humor yang
setinggi-tingginya.
Soalnya, diam-diam, jauh di dalam lubuk hatinya, Saridin yakin
bahwa Tuhan sendiri sesungguhnya adalah Maha Dzat yang penuh humor….
Memang belum tentu benar, belum tentu baik dan arif, untuk
menyebut bahwa Tuhan itu Maha (Peng- atau Pe-) Humor. Di antara 99 asma dan
watakNya, tidak terdapat nama Maha Humor. Tapi kalau misalnya di satu pihak
Tuhan itu Maha Penyayang dan di lain pihak Ia Maha Penyiksa, atau di satu sisi
Ia Maha Pengasih dan di sisi lain Ia Maha Penghukum, atau di satu dimensi Ia
Maha Penabur Rejeki tapi sekaligus pada dimensi lain Ia Maha Penahan Rejeki —
terpaksa kadang-kadang kita menganggap itu suatu jenis humor. Paling tidak
supaya kepala kita tidak pusing.
Ada sih penjelasan kontekstualnya. Tuhan mengasihi atau menyiksa
hamba-hambaNya menurut konteks dan posisi nilai yang memang relevan untuk itu.
Tuhan mungkin mengasihi siapa saja meskipun mereka mbalelo kepadaNya: Tuhan
tetap memelihara napas para maling, Tuhan tidak menyembunyikan matahari dari
para perampok, Tuhan tidak menghapus ilmu dari otak para koruptor.
Tapi tidak mungkin Tuhan menyiksa orang yang patuh kepadaNya.
Tuhan tidak mungkin menghukum orang yang tak punya kesalahan kepadaNya. Kalau
Tuhan menahan rejeki orang yang taat kepadaNya, maka penahanan rejeki itu
mungkin merupakan suatu jenis rejeki tertentu yang merupakan metoda agar orang
tersebut menghayatinya dan memperoleh nilai yang lebih tinggi. Atau kalau
seseorang yang baik kepada Tuhan tapi lantas diberi kemiskinan atau
penderitaan, tentu yang terjadi adalah satu di antara tiga kemungkinan.
Pertama, itu teguran. Alhamdulillah dong kalau Tuhan berkenan
mengkritik kita. Itu artinya kita punya kans untuk menjadi lebih baik. Kedua,
itu ujian. Juga alhamdulillah, karena hanya orang yang disediakan kenaikan
pangkat saja yang boleh ikut ujian. Dan ketiga, itu hukuman. Ini lebih
alhamdulillah lagi, karena manusia selalu membutuhkan pembersihan diri,
memerlukan proses pensucian dan kelahiran kembali.
Jadi menurut Saridin jelas, bahwa bagi mata pandang manusia,
ide-ide penciptaan yang Ia paparkan pada alam semesta dan kehidupan, banyak
sekali mengandung hal-hal yang kita rasakan sebagai “humor”.
Bukan hanya ketika kita melihat perilaku monyet, umpamanya — yang
membuat Saridin berpikir: “Ah, ini yang bikin tentu Dzat yang maha pencipta
humor, atau sekurang-kurangnya pencipta monyet adalah Entertainer Agung bagi
jiwa dahaga manusia….”
Soalnya kelakuan monyet ‘kan mirip-mirip Anda….
Juga Anda mengalami sendiri betapa banyaknya hal-hal yang lucu di
muka bumi ini, bahkan juga mungkin di luar bumi. Saridin sendiri amat sering
tertawa riang atau tertawa kecut kalau melihat atau mengalami kehendak-kehendak
Tuhan tertentu. Umpamanya tatkala Adam tinggal di sorga, Tuhan sengaja bikin pohon
Khuldi, tapi dilarangnya Adam menyentuh. Tapi pada saat yang sama, Ia ciptakan
Iblis untuk menggoda agar Adam melanggar larangan itu — dan akhirnya terjadi
benar.
Sehingga beliau beserta istri terlempar ke muka bumi, dan kita
semua terpaksa menjumpai diri kita juga tidak lagi di sorga, melainkan di bumi.
Itupun bumi yang sudah dikapling-kapling oleh konsep adanya
negara. Oleh adanya organisasi pemerintahan yang kerjanya memerintah dan
melarang seperti Tuhan. Kalau Tuhan sih memang berhak seratus persen memerintah
dan melarang karena memang Ia yang menciptakan kita dan semua alam ini, serta
yang menyediakan hamparan rejeki dan menjamin hidup manusia.
Tapi pemerintah ‘kan nyuruh kita cari makan sendiri-sendiri. Kalau
kita kelaparan atau dikubur hutang, kita tidak bisa mengeluh kepada pemerintah.
Hubungan kita dengan pemerintah hanya bahwa kita sebuah berada di
bawah kekuasaannya tanpa ada jaminan bahwa kalau kita mati kelaparan lantas
mereka akan menangisi kita dan menyesali kematian itu. Semakin banyak di antara
kita yang mati, secara tidak langsung program KB akan semakin sukses.
Soal ini memang tergolong paling lucu di dunia. Kalau di negara
sosialis dulu, rakyat dijamin kesejahteraannya meskipun minimal, namun sama
rata sama rasa — dengan catatan tidak boleh mbacot, tidak boleh membantah,
alias tidak ada demokrasi. Kalau di negeri kapitalis, setiap orang memiliki hak
bicara, hak ngumpul dan berserikat — tapi dengan syarat harus cari makan sendiri-sendiri,
harus mandiri dan berani bersaing, berani jadi gelandangan kalau kalah.
Lha Anda adalah rakyat yang hidup di negeri yang
mengharmonisasikan dua keistimewaan dari negeri sosialis dan negeri kapitalis.
Anda tidak usah banyak bicara, tak usah membantah, tak perlu protes-protes,
karena toh makan dan kesejahteraan hidup Anda harus Anda jamin sendiri….
Departemen Sosial, Polsek, Babinsa, Koramil, Majelis Ulama, ICMI,
PCPP, YKPK, PNI-Baru maupun Neo-Masyumi, tidak menjamin bahwa Anda beserta
keluarga akan tidak sampai kelaparan.
Bahkan pada saat-saat kita tidak paham pada takdirnya yang menimpa
kita, dan itu mungkin menyedihkan, demi supaya kita tetap survive secara
psikologis — seringkali kita anggap saja itu semua adalah Humor dari yang Maha
Kuasa.
Misalnya saja soal Pak Adam di sorga itu. Kalau kita boleh
bermanja kepada Tuhan, mbok ya biarkan saja beliau menghuni sorga. Mbok ya
Tuhan ndak usah menciptakan Setan, Iblis dan sebangsanya itu. Mbok ya langsung
saja manusia yang merupakan hasil ciptaan terbaik ini ditakdirkan saja untuk
menghuni sorga, sehingga Tuhan tak usah juga bikin neraka.
Soalnya gara-gara Iblis menang dan sukses dalam menggoda Adam,
lantas di dalam perkembangan dunia maupun pembangunan kebudayaan nasional —
Setan dan Iblis malah mendapatkan peluang yang besar untuk menjadi idola.
Dalam praktek-praktek kehidpan politik, dalam mekanisme
perekonomian dan dunia bisnis, dalam soal-soal pembebasan tanah, soal kebebasan
asasi manusia dan lain sebagainya — Setan banyak menjadi wacana utama. Para
penguasa tertentu dan pemegang modal besar tertentu, banyak memperlakukan Iblis
sebagai mitra-kerja, dengan alasan: “Alah, wong Pak Adam saja juga kalah waktu
digoda oleh blis kok….”
Itulah sebabnya Saridin, ketika diperintah oleh Sunan Kudus untuk
bersyahadat, memutuskan untuk menempuh suatu cara yang membuktikan bahwa ia
bukan saja tidak takut melawan Iblis dan Setan — Saridin bahkan membuktikan
bahwa ia tidak takut mati. Saridin membuktikan bahwa Saridin lebih besar
dibanding kematian…. []
Sumber: Demokrasi Tolol versi Saridin (Penerbit Zaituna, 1997)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar