Rabu, 24 Desember 2014

Gelar Kepahlawanan



Gelar Kepahlawanan

Hanya orang yang benar-benar berjasa yang berhak mendapatkan gelar kepahlawanan. Sementara pengakuan kepahlawanan itu tidak selalu datang dari lembaga resmi pemerintah atau partai politik termasuk agama. Pengakuan yang tidak kalah pentingnya adalah pengakuan dari masyarakat sendiri.

Bisa saja seorang dengan tidak memiliki jasa memadai pada negara atau bahkan pengkhianat, tapi diberi gelar pahlawan. Gelar itu tidak memberi arti apapun, kecuali kebanggaan buat anak cucu. Tiada keteladanan yang bisa dipelajari oleh bangsanya. Semetara orang yang benar-benar berjasa, diakui secara resmi atau tidak, masyarakat akan tetap menghargai, dan mengenang jasanya, bahkan mengenangnya dengan penuh kecintaan.

Hal itu yang dialami oleh KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Walaupun gelar kepahlawanan tidak jadi diperoleh saaat ini dan membuat sementara orang kecewa, tapi penghormatan masyarakat yang begitu besar. Masyarakat dari segala penjuru dari anegaka golongan menziarahi makamnya setiap hari. Makam mendiang Gus Dur di Tebuireng, Jombang tidak pernah sepi penziarah.

Di berbagai universitas dan kelompok kajian selalu berbagai pemikiran Gus Dur tak henti dikaji. Macam-macam perspektif dipakai untuk mendekati ide-ide pembaruan Gus Dur.

Semuanya, ekpresi cium tangan pada Gus Dur, Pengkajinya, hingga menziarahi makamnya, adalah bentuk hakiki dari gelar kepahlawanan itu sendiri.

Kesederhanaan dan keikhlasan menghiasi gerakan cucu Kiai Hasyim Asy'ari ini. Kepeduliannya yang luar biasa pada masyarakat adalah jasa yang tidak bisa dilupakan orang. Mereka yang merasa ditolong dan diperjuangkan nasibnya itulah yang sehari-hari berbondong-bonding menziarahi makamnya.

Contoh lain adalah Bung Karno. Ketika rakyat dilarang untuk menghormati saat meninggalnya, rakyat secara menaruh simpati padanya, bahkan simpati itu begitu meluas sehingga meledak menjadi luapan yang tak terbendung lagi. Rasa cinta dan hormat tidak bisa disembunyikan pada tokoh yang memerdekakan dan membawa kebangggaan republik ini.

Sebaliknya, tidak ada fenomena yang mengharu biru saat presiden Soeharto pergi. Ini tentu karena kepemimpnannya yang penuh korupsi dan represi. Kepergiannya tidak mengundang simpati, bahkan para kerabat dan temannya pun datang dengan sembunyi-sembunyi. Padahal tak ada kekuatan apapun yang melarang untuk menghormatinya. Citra buruk yang dibuat selama kepemimpinanya membuat orang merasa risi mendekatinya.

Semuanya memberi pelajaran pada kita bahwa kesungguhan dan ketulusan hati dalam mengerjakan sesuatu apakah itu bersipat sosial, bersifat politik, akan memperoleh penghargaan dari keikhlasannya itu. Sebaliknya, kalau yang dituju sekedar harta dan kekuasaan, mereka hanya akan peroleh harta dan kekuasaan itu sebagaimana ia suka. Tapi jangan berharap dia akan mendapatkan penghormatan secara sosial. Sebab, kepemimpinanaya mengabaikan keadilan sosial dan martabat manusia.

Pahlawan bukanlah orang yang banyak pamrih dengan mengambil seluruh kekayaan rakyat dan negara. Sebaliknya seorang pemipin sejati yang berani mengorbankan pikirannya, hartanya, tenaganya bahkan nyawanya untuk bangsa dan negara, mereka itulah yang bisa disebut pahlawan. Dalam berjuang tidak mengharapkan upah yang diharapkan adalah in ajriya alallah (mengharapkan ridlo dan ganjaran dari allaah), bukan pengharagaan duniawi.

Gelar kepahlawanan yang bersifat resmi sebenarnya sangat relatif, tetapi penghgargaan orang atas jasa yang pernah dibuatkan itu yang terpenting. Sebab, rintisan perjuangan yang pernah dilakukan itu akan memberi insprasi bagi generasi penerus. Dan ini menurut Islam sebuah amal jariah, yang dari padanya orang tidak hanya akan memperoleh pahala, tapi juga akan memperoleh kemasyhuran duniawi. Ketika nama dan pikirannya selalu meghiasi berbagai pertemuan, diskusi ilmiah serta menjadi pedoman di lapangan pergerakan, itulah pahlawan.

Banyak sebenarnya tokoh besar yang diakui perjuangannya tetapi karena takaran tertentu tidak bisa diakui sebagai pahlawan nasional. Gadjah Mada misalnya peran besarnya menyatukan Nusantara ini sama sekali tidak diakui, paling diingat hanya sekadar dongeng.

Patih Yunus dari Demak yang paling awal menantang Portugis, hingga sekarang hanya dikenang sebagai perintis perjuangan tetatpi tidak pernah betul-betul dipahlawankan. Banyak tokoh yang diabaikan seperti itu.

Di Nahdlatul Ulama sendiri, tokoh besar pergerakan seperti KH. Wahab Hasbullah, KH Munasir Ali, KH Yusuf Hasyim, KH Saifuddin Zuhri dan sebagainya, kegigihannya melawan penjajah tidak diragukan lagi dan ketekunannya mendidik rakyat dikenang sepanjang zaman. Oleh pemerintah mereka bukan pahlawan, tapi oleh rakyat, mereka pahlawan.

Tanpa menuntut pengakuan, tokoh NU seperti KH Hasyim Asy’ari, KH Wahid Hasyim dan KH Zainul Arifin mendapatkan gelar pahlawan. asala usulnya jelas, saat itu Bung Karno tahu persis bagaimana mereka berjuang membela negara, sehingga tanpa prosedur berbelit, mereka dikukuhkan sebagai pahlawan.

Mereka itu tidak berharap penghargaan, karena semuanya diniati dengan ikhlas. Mereka tidak mengharap sesuatu imbalan, asal NU sudah berkembang, Islam sudah maju dan Indonesia sudah merdeka dan tentarm, maka hati mereka sudah tenteram.

Mereka mengabdikan seluruh hidupnya pada Tuhan, untuk bangsa dan negara. Bahkan di NU ini tidak hanya tidak diakui kepahlawanannya tetapi juga dicoret dari halaman sejarah. Penulisan sejarah mengabaikan peran NU, padahal NU selalu aktif dalam perjuangan memerdekaan dan membentuk negeri ini. []

(Abdul Mun’im DZ)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar