Raja,
Ratu dan Buto
Oleh: Emha Ainun Nadjib
Adakah di antara Anda yang
merasakan, menyadari atau setidaknya mengasumsikan bahwa banyak hal yang sedang
menjadi pengalaman kolektif masyarakat kita dewasa ini — diam-diam ada
kaitannya dengan idiom-idiom ‘raja’, ‘ratu’ dan ‘buto’?
Marilah
sesekali berpikir jernih dan tolong kerahkan akal pikiran serta segala spektrum
keilmuan Anda — untuk menjawab pertanyaan: apakah di penghujung abad 20 ini
masih ada raja, ratu, atau buto?
Kalau
kita berpikir formal, tak ada raja, apalagi ratu. Tapi kalau berpikir
substansial atau essensial: kita-kita ini adalah raja, adalah ratu, juga adalah
buto.
Kita
mungkin raja atas bawahan-bawahan kita. Kita raja di rumah, di lingkungan
kantor, atau mungkin di mana saja kita berada. Sekurang-kurangnya kita secara
alamiah (dan diperkembangkan oleh tradisi pengalaman sosial) memiliki
potensialitas untuk cenderung menjadi ‘raja’, yang sadar atau tak sadar, kita
terapkan di setiap kosmos keterlibatan sosial kita.
Kita
cenderung merajai rumahtangga kita, merajai lingkungan pergaulan kita, merajai
segala aset di sekitar kita. Apalagi jika kita dibesarkan oleh suatu lingkungan
yang atmosfer perhubungan antar-manusianya bersifat feodalistik — di mana orang
hanya memiliki dua kemungkinan: kalau di atas, menginjak; kalau di bawah,
menjilat atau mengemis.
Yang
terbaik tentulah jika kita sanggup menjadi raja atas diri kita sendiri. Kita
menjadi raja atas segala urusan hidup kita. Kita menjadi raja yang demokratis
dan pensyukur atas segala kebaikan diri kita, kita menjadi raja yang diktator
atas segala keburukan diri kita.
Tetapi
apa beda antara ‘raja’ dengan ‘ratu’ sesungguhnya? Sehingga tulisan ini
berjudul demikian? Kalau membedakan antara raja dan ratu dengan buto, masih
relatif agak gampang.
Buto,
atau raksasa, tak pernah ada dalam kehidupan manusia, di bagian manapun dari
sejarah peradabannya. Buto atau raksasa hanyalah personifikasi dari salah satu
watak gelap manusia yang berpotensi antikemanusiaan, antikebaikan,
antikehalusan.
Rahwana
digambarkan berbadan dan berwajah raksasa, karena ia lambang kejahatan.
Meskipun demikian, menurut masyarakat Srilanka, Rahwana bisa menjadi pahlawan
yang ganteng. Justru Prabu Rama itu imperialis, fasis, kolonialis, yang lebih
tepat untuk digambarkan berwajah buto.
Sebagaimana
orang Blambangan dan Banyuwangi tidak mengakui gambaran Menakjinggo yang oleh
‘sejarah versi Majapahit’ digambarkan sebagai buto yang buruk wajah maupun
kelakuannya. Bagi mereka, justru raja-raja Majapahit yang raksasa, yang
menindas, yang menampakkan kehendak.
Adapun
Menakjinggo adalah pahlawan, nasionalis Blambangan sejati, pejuang demokrasi,
otonomi dan kemandirian Blambangan atas imperialisme Majapahit.
Sunan
Kalijaga mencoba merombak konsep paralelitas antara gambaran fisik dengan
watak, moral atau perilaku. Semar, Gareng, Petruk dan Bagong adalah
seburuk-buruk makhluk jika dipandang dari sudut performa. Tapi nurani mereka,
moral mereka, kasih sayang kemanusiaan mereka, pembelaan kerakyatan mereka, tak
ada yang menandingi.
Adapun
bagaimanakah filosofi dan konsep budaya manusia modern kayak kita sekarang ini?
Apakah kesopanan seseorang, kenecisan penampilan seseorang, kostum seseorang,
identik dengan realitas per moralnya? Masihkah kita boleh terjebak oleh surban,
oleh performan kepriyayian, oleh peci, oleh gelar kiai, bahkan oleh status
kehajian seseorang?
Tetapi
jangan mentang-mentang performa kekiaian atau kepriyayian tidak menjamin moral
dan perilaku sosial, lantas kita memitologisasikan performa yang lain: bahwa
yang baik pasti yang tidak pakai peci, pasti yang tidak bersurban dan tak
bergelar kiai. Mentang-mentang banyak penipu pakai sepatu dan dasi, lantas kita
anggap yang pakai sendal dan kaos oblong pasti baik. Kita tetap harus obyektif
dan sanggup menemukan relativitas dari simbol yang manapun. Relativisme kultur
harus diterapkan pada semua gejala lambang.
Kalau
warna hijau, umpamanya, dilegalisir secara kultural untuk menyebut kelompok
‘beragama’, kita tidak lantas memastikan bahwa produk perilaku kelompok ini
tentu berkualitas kiai dan priyayi, tentu bermoral dan selalu berada di pihak
yang benar. Sebab bisa saja dari kaum hijau justru muncul rekayasa dan perilaku
ala buto atau raksasa yang menabrak apa saja dengan kasar, yang meringkus apa
saja dengan brutal, yang melegalisir ‘kudeta‘ ini dan itu, mendongkel dadap dan
waru, yang menggoyang dan menjatuhkan fulan dan polan. Artinya, dalam hidup ini
terutama dalam dunia gawat yang bernama politik: sangat mungkin terjadi priyayi
berperilaku buto, kiai bergerak secara raksasa.
Sebaliknya,
dengan itu semua kita tidak lantas terjebak pada fenomena antitesis yang juga
kita dramatisir dan kita mitologisasikan. Misalnya bahwa kita langsung
menganggap bahwa yang non-hijau pasti yang benar, yang sopan, yang bermoral,
yang pro-demokrasi.
Kita
sungguh-sungguh memerlukan kejernihan akal, hati yang sejuk dan jiwa yang
selapang-lapangnya, untuk mempersepsikan segala sesuatu yang hari-hari ini kita
baca di koran-koran dan kita tonton di teve dan kita dengar di radio maupun di
warung-warung.
Atau
jangan lupa bisa juga ada raja yang benar-benar raja atau ratu yang benar-benar
ratu, namun ia dikelilingi oleh buto-buto. Segala akses informasi yang diterima
oleh telinga sang raja berasal dari buto-buto. Kepada raja dikatakan “Paduka,
mereka sudah tak suka sama si Waru, jadi sangat dibutuhkan pergantian”. Dan
kepada ‘mereka’ dikatakan: “He anak-anak, Paduka sudah tidak berkenan lagi sama
si Waru, jadi segera bikin kumpul untuk penggantian….”
Termasuk
jangan lupa bahwa sesungguhnya para buto tidak senantiasa merupakan makhluk
yang benar-benar buto. Para priyayi, priyagung, kiai, atau apapun, yang penuh
sopan santun, yang tampak bermoral dan khusyu — bisa pada momentum tertentu
terpaksa menjadi buto, untuk kepentingan tertentu yang harus dilaksanakan
secepat-cepatnya.
Oleh
karena itu jika Anda sudah menjadi Ratu, pada saat yang diperlukan bersikaplah
segera menjadi Raja. Raja itu jelas kehendaknya, dhawuhnya, perintahnya,
rancangannya. Kalau Ratu, cenderung diam karena anggun dan penuh wibawa.
Ratu lebih banyak senyum-senyum saja. Namun kemudian yang
berlangsung di seluruh negeri adalah interpretasi para buto tertentu atas
senyum sang Ratu. Kalau interpretasi murni, masih lumayan. Tapi kalau interpretasi
berdasar kepentingan para buto, susahlah semua rakyat. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar