Kamis, 18 Desember 2014

BamSoet: Menkumham Tak Perlu Tanggapi Munas Ancol



Menkumham Tak Perlu Tanggapi Munas Ancol
Oleh: Bambang Soesatyo

Musyawarah nasional (Munas) IX Partai Golongan Karya (Golkar) di Bali, 30 November-4 Desember 2014, adalah finalisasi atas rangkaian proses serap-olah aspirasi kader seturut anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART) partai.

Struktur kepengurusan Partai Golkar periode 2014-2019 pimpinan Aburizal Bakrie pun disahkan dalam forum munas yang sama. Inilah yang mestinya menjadi pijakan pemerintah ketika menetapkan pengakuan terhadap struktur dan formasi kepengurusan Partai Golkar.

Apalagi Munas Golkar Bali juga sudah melengkapi surat pernyataan penolakan dari ketua dan sekretaris 34 DPD I dan 400-an lebih Ketua dan sekretaris DPD II se-Indonesia terhadap Munas Ancol karena inkonstitusional dan hanya mengakui hasil Munas IX Bali. Dari DPR RI, 80-an dari 90 anggota Fraksi Partai Golkar periode 2014-2019 juga telah membuat pernyataan sikap yang sama.

Yakni menolak Munas Ancol dan menyatakan Munas IX Partai Golkar di Bali telah memenuhi aturan organisasi (AD/ART) dan perundangudangan yang berlaku. Maka Munas IX Partai Golkar di Bali itu tidak boleh disetarakan dengan forum lain yang tidak relevan seperti forum presidium atau paguyuban yang diselenggarakan di Hotel Mercure, Ancol, Jakarta, yang kemudian juga diklaim sebagai Munas IX Partai Golkar itu.

Alih-alih disetarakan, pemerintah justru harus menempatkan forum presidium atau paguyuban di Hotel Mercure Jakarta itu sebagai aktivitas politik yang ilegal karena menyalahgunakan identitas Partai Golkar. Penggagas dan pelaksana forum presidium atau paguyuban yang menyebut identitasnya sebagai Presidium Penyelamat Partai Golkar itu pun ilegal karena konstitusi atau AD/ART Partai tidak mengatur forum dan aksi seperti itu.

Dengan demikian, Kementerian Hukum dan HAM harus jernih dalam memahami duduk persoalan yang sebenarnya. Dengan kejernihan dan mengambil posisi independen, Kementerian Hukum dan HAM pun seharusnya tidak merespons, apalagi menerima serta mempertimbangkan, semua dan apa pun bentuk dokumen yang diserahkan oleh sekelompok orang yang mengklaim posisinya sebagai pengurus Partai Golkar.

Sebaliknya, jika Kementerian Hukum dan HAM masih mau menanggapi manuver politik orang-orang itu, sama artinya pemerintah melibatkan wewenang dan pengaruhnya dalam kisruh partai politik. Padahal, wajib hukumnya bagi pemerintah untuk menjaga jarak dengan parpol yang sedang diselimuti masalah internal.

Memang, para penggagas forum presidium atau paguyuban di Hotel Mercure itu sebelumnya berlatar belakang sebagai anggota Partai Golkar. Namun status mereka sebagai anggota partai telah dieliminasi oleh DPP Partai Golkar yang sah dan bahkan telah disetujui Munas IX 2014.

Dengan begitu, sangat jelas bahwa para penggagas forum itu tidak punya legal standing untuk mengklaim posisi dan status sebagai pengurus DPP Partai Golkar. Keabsahan Munas IX Golkar 2014 di Bali dengan semua produk munas–berupa program kerja dan struktur kepengurusannya– bersifat mutlak. Sebab Munas IX diselenggarakan sesuai konstitusi atau AD/ART Partai Golkar.

Memang, sebelum Munas IX Bali diselenggarakan, ada beda tafsir terkait dengan rekomendasi Munas Riau, Oktober 2009, tentang waktu pelaksanaan Munas IX Partai Golkar. Ada yang menghendaki waktu penyelenggaraan Munas IX sesuai AD/ART, yakni Oktober 2014. Ada juga yang menghendaki waktu pelaksanaan munas sesuai dengan rekomendasi Munas Riau, yakni sekitar Januari 2015.

Di tengah beda tafsir itu, semua DPD I dan DPD II se-Indonesia Partai Golkar terus menyuarakan aspirasi. Tentu saja Ketua Umum Partai Golkar wajib menyerap dan mengolah semua aspirasi itu. Desakan agar DPP segera menyelenggarakan Munas IX menguat sebelum Partai Golkar menyelenggarakan Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) VII di Yogyakarta yang juga dihadiri para calon ketua umum seperti Agung Laksono, Priyo Budi Santoso.

Akhirnya, Rapimnas VII memang membahas agenda Munas Partai Golkar. Jadwal munas disepakati, yakni 30 November-4 Desember 2014. Semua tahapan dan proses menuju penyelenggaraan Munas IX di Bali legal dan transparan. Pertemuan para calon ketua umum (caketum) dan pengurus DPD I dan DPD II se-Indonesia pun untuk sosialisasi bersifat terbuka.

Termasuk di dalamnya ada Agung Laksono, Priyo Budi Santoso, dan lain-lain. Kalau hasil proses sosialisasi itu tidak sama antara caketum yang satu dengan caketum lain, tentunya menjadi persoalan lain. Jangan kambing hitamkan DPP Partai Golkar jika ada caketum yang gagal dalam proses sosialisasi.

Munas IX Partai Golkar 2014 di Bali pun lancar, legal, dan sudah menetapkan program kerja serta struktur kepengurusan. Aspirasi semua DPD I dan DPD II se-Indonesia serta ormas yang ikut mendirikan dan didirikan terakomodasi. Tidak ada penolakan atau keberatan atas struktur kepengurusan yang dibentuk dari forum Munas IX di Bali sehingga Partai Golkar sejatinya tidak pecah, apalagi ada kepengurusan ganda.

Bandingkan dengan forum presidium atau paguyuban yang diselenggarakan di Hotel Mercure Jakarta yang tidak memenuhi itu semua. Ada perbedaan yang mencolok berdasarkan analisa pegiat politik Fuad Bachmid yang dapat menjadi dasar Menkumham untuk tidak menanggapi Munas Ancol.

Pertama, Kubu Agung Laksono menetapkan jadwal Munas secara mendadak tanpa melalui mekanisme organisasi. Kedua, jika Agung Laksono menamakan agenda di Ancol adalah munas, seharusnya dihadiri sekurang-kurangnya oleh ketua umum beserta sekretaris jenderal.

 Kalau ketua umum dan sekretaris jenderal tidak hadir maka sesuai AD/ ART Partai Golkar, namanya bukan lagi munas, tapi munaslub dengan asumsi organisasi dalam keadaan vaccuum of power. Ketiga, pemilik suara sah yang dimaksud adalah para Ketua dan Sekretaris DPD I dan DPD II se-Indonesia atau sekurang- kurangnya pengurus Harian yang mendapat mandat berstempel dari ketua dan sekretaris DPD I maupun DPD II.

Tanpa Perselisihan

Mengapa struktur kepengurusan hasil Munas IX Partai Golkar di Bali patut disahkan Menkumham? Menurut Said Salahuddin, dalam UU No 2 Tahun 2008 sebagaimana telah diubah dengan UU No.2 tahun 2011 tentang Partai Politik dengan tegas dan jelas diatur, bahwa ada dua kategori perselisihan kepengurusan partai politik, yakni meliputi kategori khusus dan kategori umum.

Perselisihan kepengurusan untuk kategori khusus diatur dengan tegas dan spesifik dalam Pasal 25 UU No 2/2008 sebagaimana telah diubah dengan UU No 2/2011 tentang Partai Politik. Pasal tersebut menetapkan bahwa terdapat empat indikator yang harus terpenuhi secara kumulatif untuk mengualifikasi telah terjadinya perselisihan kepengurusan. Pertama, terkait dengan bentuk perselisihan yang wujudnya berupa penolakan untuk mengganti kepengurusan.

Indikator kedua, terkait dengan lokus dan tempus. Artinya penolakan pergantian kepengurusan itu harus disampaikan secara resmi dalam penyelenggaraan forum pengambilan keputusan tertinggi partai politik seperti munas, kongres, atau muktamar. Ketiga, terkait dengan subjek; artinya, penolakan pergantian kepengurusan haruslah anggota parpol yang menjadi peserta munas, kongres, atau muktamar.

Dan, indikator keempat, terkait dengan persyaratan jumlah peserta yang menolak. Artinya, penolakan pergantian kepengurusan harus datang dari minimal 2/3 peserta munas, kongres, atau muktamar. Empat indikator itulah yang punya korelasi dengan ketentuan Pasal 24 UU Nomor 2/ 2011 tentang Parpol, yang menetapkan bahwa Menkumham belum dapat mengesahkan perubahan kepengurusan parpol apabila parpol bersangkutan sedang menghadapi perselisihan kepengurusan.

Untuk kategori perselisihan kepengurusan bersifat umum, UU Nomor 2/2011 tentang parpol tidak mengaturnya secara spesifik. Dalam penjelasan Pasal 32 ayat 1, hanya disebutkan bahwa perselisihan kepengurusan merupakan salah satu jenis perselisihan di internal parpol. Jadi, parpol sendiri yang menentukan syarat perselisihan itu.

Perselisihan kepengurusan yang bersifat umum itu sama sekali tidak memiliki korelasi dengan urusan penundaan pengesahan oleh Menkumham sebagaimana dimaksud Pasal 24 UU Nomor 2/2011 tentang Parpol. Dengan demikian, harus dibedakan antara perselisihan kepengurusan bersifat khusus dan perselisihan kepengurusan bersifat umum.

 Pada kasus Partai Golkar, empat indikator perselisihan kepengurusan khusus yang tersebut di dalam Pasal 25 UU Nomor 2/2011 tentang Parpol, dapat dipastikan hal tersebut tidak ditemukan. Saat Munas IX Partai Golkar digelar di Bali, sama sekali tidak muncul penolakan kepengurusan dari 2/3 peserta munas. Penolakan justru disuarakan oleh kelompok Agung Laksono di luar forum Munas IX Partai Golkar, tepatnya di Jakarta.

Jadi, terbukti dan sangat jelas bahwa penyelenggaraan Munas IX Partai Golkar di Bali sama sekali tidak memunculkan perselisihan kepengurusan. Dengan begitu, tidak ada alasan hukum bagi Menkumham untuk menunda, apalagi menolak mengesahkan kepengurusan Partai Golkar hasil Munas IX di Bali.

Kecuali ketika itu Agung Laksono dan kawan-kawan hadir di forum Munas IX Bali dan mampu menggalang dukungan dari minimal 2/3 peserta munas untuk menyatakan penolakan terhadap struktur kepengurusan yang ditetapkan Aburizal Bakrie, barulah Menkumham punya alasan legal untuk menggantung pengesahan kepengurusan hasil Munas IX Partai Golkar di Bali. Faktanya, Munas IX di Bali telah menetapkan kepengurusan Partai Golkar yang baru.

Artinya Menkumham hanya punya satu pilihan, yaitu mengesahkan kepengurusan Partai Golkar hasil Munas IX Bali selambat- lambatnya 7 (tujuh) hari sejak Aburizal Bakrie menyerahkan susunan kepengurusannya ke Kantor Menkumham, yakni jatuh pada hari Rabu, 17 Desember 2014, dengan asumsi Sabtu dan Minggu libur. []

KORAN SINDO,  15 Desember 2014
Bambang Soesatyo  ;   Sekretaris Fraksi Partai Golkar, Anggota Komisi III DPR RI dan Presidium Nasional KAHMI 2012-2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar