Menkumham Tak Perlu Tanggapi Munas Ancol
Oleh: Bambang Soesatyo
Musyawarah nasional (Munas) IX Partai Golongan Karya (Golkar) di
Bali, 30 November-4 Desember 2014, adalah finalisasi atas rangkaian proses
serap-olah aspirasi kader seturut anggaran dasar dan anggaran rumah tangga
(AD/ART) partai.
Struktur kepengurusan Partai Golkar periode 2014-2019 pimpinan
Aburizal Bakrie pun disahkan dalam forum munas yang sama. Inilah yang mestinya
menjadi pijakan pemerintah ketika menetapkan pengakuan terhadap struktur dan
formasi kepengurusan Partai Golkar.
Apalagi Munas Golkar Bali juga sudah melengkapi surat pernyataan
penolakan dari ketua dan sekretaris 34 DPD I dan 400-an lebih Ketua dan
sekretaris DPD II se-Indonesia terhadap Munas Ancol karena inkonstitusional dan
hanya mengakui hasil Munas IX Bali. Dari DPR RI, 80-an dari 90 anggota Fraksi
Partai Golkar periode 2014-2019 juga telah membuat pernyataan sikap yang sama.
Yakni menolak Munas Ancol dan menyatakan Munas IX Partai Golkar di
Bali telah memenuhi aturan organisasi (AD/ART) dan perundangudangan yang
berlaku. Maka Munas IX Partai Golkar di Bali itu tidak boleh disetarakan dengan
forum lain yang tidak relevan seperti forum presidium atau paguyuban yang
diselenggarakan di Hotel Mercure, Ancol, Jakarta, yang kemudian juga diklaim
sebagai Munas IX Partai Golkar itu.
Alih-alih disetarakan, pemerintah justru harus menempatkan forum
presidium atau paguyuban di Hotel Mercure Jakarta itu sebagai aktivitas politik
yang ilegal karena menyalahgunakan identitas Partai Golkar. Penggagas dan
pelaksana forum presidium atau paguyuban yang menyebut identitasnya sebagai
Presidium Penyelamat Partai Golkar itu pun ilegal karena konstitusi atau AD/ART
Partai tidak mengatur forum dan aksi seperti itu.
Dengan demikian, Kementerian Hukum dan HAM harus jernih dalam
memahami duduk persoalan yang sebenarnya. Dengan kejernihan dan mengambil
posisi independen, Kementerian Hukum dan HAM pun seharusnya tidak merespons,
apalagi menerima serta mempertimbangkan, semua dan apa pun bentuk dokumen yang
diserahkan oleh sekelompok orang yang mengklaim posisinya sebagai pengurus
Partai Golkar.
Sebaliknya, jika Kementerian Hukum dan HAM masih mau menanggapi
manuver politik orang-orang itu, sama artinya pemerintah melibatkan wewenang
dan pengaruhnya dalam kisruh partai politik. Padahal, wajib hukumnya bagi
pemerintah untuk menjaga jarak dengan parpol yang sedang diselimuti masalah
internal.
Memang, para penggagas forum presidium atau paguyuban di Hotel
Mercure itu sebelumnya berlatar belakang sebagai anggota Partai Golkar. Namun
status mereka sebagai anggota partai telah dieliminasi oleh DPP Partai Golkar
yang sah dan bahkan telah disetujui Munas IX 2014.
Dengan begitu, sangat jelas bahwa para penggagas forum itu tidak
punya legal standing untuk mengklaim posisi dan status sebagai pengurus DPP
Partai Golkar. Keabsahan Munas IX Golkar 2014 di Bali dengan semua produk
munas–berupa program kerja dan struktur kepengurusannya– bersifat mutlak. Sebab
Munas IX diselenggarakan sesuai konstitusi atau AD/ART Partai Golkar.
Memang, sebelum Munas IX Bali diselenggarakan, ada beda tafsir
terkait dengan rekomendasi Munas Riau, Oktober 2009, tentang waktu pelaksanaan
Munas IX Partai Golkar. Ada yang menghendaki waktu penyelenggaraan Munas IX
sesuai AD/ART, yakni Oktober 2014. Ada juga yang menghendaki waktu pelaksanaan
munas sesuai dengan rekomendasi Munas Riau, yakni sekitar Januari 2015.
Di tengah beda tafsir itu, semua DPD I dan DPD II se-Indonesia
Partai Golkar terus menyuarakan aspirasi. Tentu saja Ketua Umum Partai Golkar
wajib menyerap dan mengolah semua aspirasi itu. Desakan agar DPP segera
menyelenggarakan Munas IX menguat sebelum Partai Golkar menyelenggarakan Rapat
Pimpinan Nasional (Rapimnas) VII di Yogyakarta yang juga dihadiri para calon
ketua umum seperti Agung Laksono, Priyo Budi Santoso.
Akhirnya, Rapimnas VII memang membahas agenda Munas Partai Golkar.
Jadwal munas disepakati, yakni 30 November-4 Desember 2014. Semua tahapan dan
proses menuju penyelenggaraan Munas IX di Bali legal dan transparan. Pertemuan
para calon ketua umum (caketum) dan pengurus DPD I dan DPD II se-Indonesia pun
untuk sosialisasi bersifat terbuka.
Termasuk di dalamnya ada Agung Laksono, Priyo Budi Santoso, dan
lain-lain. Kalau hasil proses sosialisasi itu tidak sama antara caketum yang
satu dengan caketum lain, tentunya menjadi persoalan lain. Jangan kambing
hitamkan DPP Partai Golkar jika ada caketum yang gagal dalam proses
sosialisasi.
Munas IX Partai Golkar 2014 di Bali pun lancar, legal, dan sudah
menetapkan program kerja serta struktur kepengurusan. Aspirasi semua DPD I dan
DPD II se-Indonesia serta ormas yang ikut mendirikan dan didirikan
terakomodasi. Tidak ada penolakan atau keberatan atas struktur kepengurusan
yang dibentuk dari forum Munas IX di Bali sehingga Partai Golkar sejatinya
tidak pecah, apalagi ada kepengurusan ganda.
Bandingkan dengan forum presidium atau paguyuban yang
diselenggarakan di Hotel Mercure Jakarta yang tidak memenuhi itu semua. Ada
perbedaan yang mencolok berdasarkan analisa pegiat politik Fuad Bachmid yang
dapat menjadi dasar Menkumham untuk tidak menanggapi Munas Ancol.
Pertama, Kubu Agung Laksono menetapkan jadwal Munas secara
mendadak tanpa melalui mekanisme organisasi. Kedua, jika Agung Laksono
menamakan agenda di Ancol adalah munas, seharusnya dihadiri sekurang-kurangnya
oleh ketua umum beserta sekretaris jenderal.
Kalau ketua umum dan sekretaris jenderal tidak hadir maka
sesuai AD/ ART Partai Golkar, namanya bukan lagi munas, tapi munaslub dengan
asumsi organisasi dalam keadaan vaccuum of power. Ketiga,
pemilik suara sah yang dimaksud adalah para Ketua dan Sekretaris DPD I dan DPD
II se-Indonesia atau sekurang- kurangnya pengurus Harian yang mendapat mandat
berstempel dari ketua dan sekretaris DPD I maupun DPD II.
Tanpa Perselisihan
Mengapa struktur kepengurusan hasil Munas IX Partai Golkar di Bali
patut disahkan Menkumham? Menurut Said Salahuddin, dalam UU No 2 Tahun 2008
sebagaimana telah diubah dengan UU No.2 tahun 2011 tentang Partai Politik
dengan tegas dan jelas diatur, bahwa ada dua kategori perselisihan kepengurusan
partai politik, yakni meliputi kategori khusus dan kategori umum.
Perselisihan kepengurusan untuk kategori khusus diatur dengan
tegas dan spesifik dalam Pasal 25 UU No 2/2008 sebagaimana telah diubah dengan
UU No 2/2011 tentang Partai Politik. Pasal tersebut menetapkan bahwa terdapat
empat indikator yang harus terpenuhi secara kumulatif untuk mengualifikasi
telah terjadinya perselisihan kepengurusan. Pertama, terkait dengan bentuk
perselisihan yang wujudnya berupa penolakan untuk mengganti kepengurusan.
Indikator kedua, terkait dengan lokus dan tempus. Artinya
penolakan pergantian kepengurusan itu harus disampaikan secara resmi dalam
penyelenggaraan forum pengambilan keputusan tertinggi partai politik seperti
munas, kongres, atau muktamar. Ketiga, terkait dengan subjek; artinya,
penolakan pergantian kepengurusan haruslah anggota parpol yang menjadi peserta
munas, kongres, atau muktamar.
Dan, indikator keempat, terkait dengan persyaratan jumlah peserta
yang menolak. Artinya, penolakan pergantian kepengurusan harus datang dari
minimal 2/3 peserta munas, kongres, atau muktamar. Empat indikator itulah yang
punya korelasi dengan ketentuan Pasal 24 UU Nomor 2/ 2011 tentang Parpol, yang
menetapkan bahwa Menkumham belum dapat mengesahkan perubahan kepengurusan
parpol apabila parpol bersangkutan sedang menghadapi perselisihan kepengurusan.
Untuk kategori perselisihan kepengurusan bersifat umum, UU Nomor
2/2011 tentang parpol tidak mengaturnya secara spesifik. Dalam penjelasan Pasal
32 ayat 1, hanya disebutkan bahwa perselisihan kepengurusan merupakan salah
satu jenis perselisihan di internal parpol. Jadi, parpol sendiri yang
menentukan syarat perselisihan itu.
Perselisihan kepengurusan yang bersifat umum itu sama sekali tidak
memiliki korelasi dengan urusan penundaan pengesahan oleh Menkumham sebagaimana
dimaksud Pasal 24 UU Nomor 2/2011 tentang Parpol. Dengan demikian, harus
dibedakan antara perselisihan kepengurusan bersifat khusus dan perselisihan
kepengurusan bersifat umum.
Pada kasus Partai Golkar, empat indikator perselisihan
kepengurusan khusus yang tersebut di dalam Pasal 25 UU Nomor 2/2011 tentang
Parpol, dapat dipastikan hal tersebut tidak ditemukan. Saat Munas IX Partai
Golkar digelar di Bali, sama sekali tidak muncul penolakan kepengurusan dari
2/3 peserta munas. Penolakan justru disuarakan oleh kelompok Agung Laksono di
luar forum Munas IX Partai Golkar, tepatnya di Jakarta.
Jadi, terbukti dan sangat jelas bahwa penyelenggaraan Munas IX
Partai Golkar di Bali sama sekali tidak memunculkan perselisihan kepengurusan.
Dengan begitu, tidak ada alasan hukum bagi Menkumham untuk menunda, apalagi
menolak mengesahkan kepengurusan Partai Golkar hasil Munas IX di Bali.
Kecuali ketika itu Agung Laksono dan kawan-kawan hadir di forum
Munas IX Bali dan mampu menggalang dukungan dari minimal 2/3 peserta munas
untuk menyatakan penolakan terhadap struktur kepengurusan yang ditetapkan
Aburizal Bakrie, barulah Menkumham punya alasan legal untuk menggantung
pengesahan kepengurusan hasil Munas IX Partai Golkar di Bali. Faktanya, Munas
IX di Bali telah menetapkan kepengurusan Partai Golkar yang baru.
Artinya Menkumham hanya punya satu pilihan, yaitu mengesahkan
kepengurusan Partai Golkar hasil Munas IX Bali selambat- lambatnya 7 (tujuh)
hari sejak Aburizal Bakrie menyerahkan susunan kepengurusannya ke Kantor
Menkumham, yakni jatuh pada hari Rabu, 17 Desember 2014, dengan asumsi Sabtu
dan Minggu libur. []
KORAN SINDO, 15 Desember 2014
Bambang Soesatyo ; Sekretaris Fraksi Partai Golkar, Anggota Komisi III
DPR RI dan Presidium Nasional KAHMI 2012-2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar