Hukum Aborsi dalam Islam
Diantara materi Bahtsul Masail dalam
Musyawarah Nasional Alim Ulama yang diselenggarakan oleh Pengurus Besar
Nahdlatul Ulama pada tanggal satu dan dua Nopember 2014 adalah tentang hukum
aborsi yang mana beberapa bulan sebelumnya muncul polemik legalisasi aborsi.Hal
ini terkait PP No. 61 tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi yang menuai
reaksi beragam. Pasalnya, dalam PP tersebut disebutkan pula bahwa aborsi bisa
dilakukan oleh perempuan dengan alasan darurat medis maupun alasan perkosaan.
Peraturan Pemerintah (PP) yang merupakan
amanat dari UU No 36/2009 tentang Kesehatan sebenarnya mengatur bagaimana agar
perempuan mendapat layanan kesehatan sehingga bisa hidup sehat, melahirkan
generasi sehat dan bermutu, serta mengurangi angka kematian ibu. Ini dapat
dilihat dari konstruksinya, PP ini terdiri dari 8 bab dan 52 pasal.
Pelayanan kesehatan yang dimaksud termasuk
pelayanan kesehatan reproduksi sedini mungkin, yakni sejak remaja. Pelayanan
itu diberikan lewat layanan kesehatan reproduksi remaja, kesehatan masa
pra-kehamilan, selama kehamilan, persalinan, pasca melahirkan, layanan
kontrasepsi, kesehatan seksual dan kesehatan sistem reproduksi. Sayangnya,
dalam PP tersebut terdapat 9 pasal yang mengatur soal aborsi dengan indikasi
kedaruratan medis atau aborsi pada korban pemerkosaan. Klausul tersebut
terdapat pada Pasal 31 yang isinya menyatakan aborsi hanya dapat dilakukan
berdasarkan indikasi kedaruratan medis atau kehamilan akibat pemerkosaan.
Aborsi atas 2 alasan itu hanya bisa dilakukan pada usia kehamilan maksimal 40
hari dihitung sejak Hari Pertama Haid Terkahir (HPHT).
Penentuan aborsi dan pelaksanaannya kemudian
diatur dalam Pasal 32-38. Misalnya, penentuan indikasi medis ditentukanm tim
kelayakan aborsi, harus ada bukti indikasi pemerkosaan dari keterangan ahli,
aborsi harus dengan persetjuan perempuan hamil, serta konseling sebelum dan
sesudah aborsi.
PP ini berangkat dari semangat memberi hak
kesehatan bagi perempuan. Sebab, perempuan korban pemerkosaan kerap menerima
beban ganda, yakni sebagai korban kekerasan seksual dan harus menghidupi anak
yang dilahirkan. Belum lagi cercaan masyarakat kepada korban pemerkosaan. Ia
harus menanggu beban ekonomi dan psikologis. Selain itu, sebagian besar ibu
yang hamil karena perkosaan itu membenci anak yang dikandungnya, karena kehamilannya
itu tidak diinginkan. Padahal, anak yang dikandung itu harus dikandung dengan
cinta dan tanggung jawab.
Meski demikian, beberapa kalangan
mempersoalkan PP tersebut. Di antaranya beralasan bahwa PP tersebut dianggap
telah melegalkan aborsi. Padahal, aborsi tidak boleh dilegalkan dengan alasan
apapun. Selain itu, tidakan aborsi juga melanggar kode etik kedokteran.
Sehingga bila ada dokter yang melakukan praktik aborsi bisa dikenakan sanksi
profesi.
Dari sisi peraturan perundang-undangan, PP
tersebut juga dianggap bertentangan dengan UU No. 23/2002 tentang Perlindungan
Anak. Karena di dalam UU tersebut disebutkan, anak yang masih dalam kandungan
secara hukum juga harus dilindungi oleh negara. Pasal 1 UU Perlindungan Anak
menyebutkan bahwa anak-anak adalah yang berusia di bawah 18 tahun, termasuk
yang masih dalam kandungan. Artinya, aborsi tidak dibenarkan oleh UU ini.
Selain tindak pidana, aborsi juga dianggap juga sebagai pelanggaran HAM. Dan PP
ini juga berpeluang untuk dijadikan dasar oleh orang-orang yang berprilaku sek
bebas untuk melakukan aborsi karena dianggap legal.
Pertanyaan yang muncul dalam komisi Bahtsul
Masail adalah Apakah hukum melakukan aborsi dengan alasan kedaruratan medis dan
aborsi kehamilan akibat perkosaan? Dan berapa batas waktu dibolehkan melakukan
aborsi dan dari mana awal penghitungannya? Juga benarkah dokter yang melakukan
aborsi telah melanggar sumpah jabatan dan/atau melanggar kode etik?
Pada dasarnya hukum melakukan aborsi adalah
haram. Namun dalam keadaan darurat yang dapat mengancam ibu dan/atau janin,
aborsi diperbolehkan berdasarkan pertimbangan medis dari tim dokter ahli.
Hukum aborsi akibat perkosaan adalah haram.
Namun sebagian ulama memperbolehkan aborsi sebelum usia janin berumur 40 hari
terhitung sejak pembuahan. Menurut ilmu kedokteran hal itu dapat diketahui dari
hari pertama haid terakhir. Wahbah Zuhaili dalam Al Fiqhul Islami Wa
Adillatuhuu, 4/196-198
اِتَّفَقَ
الْعُلَمَاءُ عَلَى تَحْرِيْمِ الْإِجْهَاضِ دُوْنَ عُذْرٍ بَعْدَ الشَّهْرِ
الرَّابِعِ أَيْ بَعْدَ 120 يَوْمًا مِنْ بَدْءِ الْحَمْلِ،وَيُعَدُّ ذَلِكَ
جَرِيْمَةً مُوْجِبَةً لِلْغُرَّةِ، لِأَنَّهُ إِزْهَاقُ نَفْسٍ وَقَتْلُ
إِنْسَانٍ. وَأُرَجِّحُ عَدَمَ جَوَازِ الْإِجْهَاضِ بِمُجَرَّدِ بَدْءِ
الْحَمْلِ، لِثُبُوْتِ الْحَيَاةِ، وَبَدْءِ تَكَوُّنِ الْجَنِيْنِ إِلَّا
لِضَرُوْرَةٍ كَمَرَضٍ عُضَالٍ أَوْ سَارٍ كَالسُّلِّ أَوِ السَّرَطَانِ،
أَوْعُذْرٍ، كَأَنْ يَنْقَطِعَ لَبَنُ الْمَرْأَةِ بَعْدَ ظُهُوْرِ الْحَمْلِ.
وَلَهُ وَلَدٌ، وَلَيْسَ لِأَبِيْهِ مَا يَسْتَأْجِرُ الظِّئْرَ (اَلْمُرْضِعَ)،
وَيَخَافُ هَلَاكَ الْوَلَدِ. وَإِنِّيْ بِهَذَا التَّرْجِيْحِ مَيَّالٌ مَعَ
رَأْيِ الْغَزَالِيِّ الَّذِيْ يَعْتَبِرُ الْإِجْهَاضَ وَلَوْ مِنْ أَوَّلِ
يَوْمٍ كَالْوَأْدِ جِنَايَةً عَلَى مَوْجُوْدٍ حَاصِلٍ .
Begitu juga Imam Ghazali dalam Ihya`
Ulumuddin 1/402:
وَلَيْسَ
هَذَا كَالْإِجْهَاضِ وَالْوَأْدِ، لِأَنَّ ذَلِكَ جِنَايَةٌ عَلَى مَوْجُوْدٍ
حَاصِلٍ، وَلَهُ أَيْضًا مَرَاتِبُ وَأَوَّلُ مَرَاتِبِ الْوُجُوْدِ أَنْ تَقَعَ
النُّطْفَةُ فِي الرَّحِمِ وَتَخْتَلِطُ بِمَاءِ الْمَرْأَةِ وَتَسْتَعِدُّ
لِقَبُوْلِ الْحَيَاةِ وَإِفْسَادُ ذَلِكَ جِنَايَةٌ، فَإِنْ صَارَتْ مُضْغَةً
وَعَلَقَةً كَانَتِ الْجِنَايَةُ أَفْحَشَ، وَإِنْ نُفِخَ فِيْهِ الرُّوْحُ
وَاسْتَوَتِ الْخِلْقَةُ اِزْدَادَتِ الْجِنَايَةُ تَفَاحُشًا، وَمُنْتَهَى
التَّفَاحُشِ فِي الْجِنَايَةِ بَعْدَ الْاِنْفِصَالِ حَيًّا
Tuhfatul Muhtaj, 29/169:
وَاخْتَلَفُوْا
فِيْ جَوَازِ التَّسَبُّبِ إلَى إلْقَاءِ النُّطْفَةِ بَعْدَ اسْتِقْرَارِهَا فِي
الرَّحِمِ فَقَالَ أَبُوْ إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ يَجُوْزُ إلْقَاءُ النُّطْفَةِ
وَالْعَلَقَةِ وَنَقَلَ ذَلِكَ عَنْ أَبِي حَنِيفَةَ وَفِي الْإِحْيَاءِ فِيْ
مَبْحَثِ الْعَزْلِ مَا يَدُلُّ عَلَى تَحْرِيْمِهِ ، وَهُوَ الْأَوْجَهُ ؛
لِأَنَّهَا بَعْدَ الْاِسْتِقْرَارِ آيِلَةٌ إلَى التَّخَلُّقِ الْمُهَيَّأِ
لِنَفْخِ الرُّوْحِ وَلَا كَذَلِكَ الْعَزْلُ
Tuhfatul Muhtaj, 38/12
( فَرْعٌ )
أَفْتَى أَبُوْ إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ بِحِلِّ سَقْيِهِ أَمَتَهُ دَوَاءً
لِتُسْقِطَ وَلَدَهَا مَا دَامَ عَلَقَةً أَوْ مُضْغَةً وَبَالَغَ الْحَنَفِيَّةُ
فَقَالُوْا يَجُوْزُ مُطْلَقًا وَكَلَامُ الْإِحْيَاءِ يَدُلُّ عَلَى
التَّحْرِيْمِ مُطْلَقًا وَهُوَ الْأَوْجَهُ كَمَا مَرَّ وَالْفَرْقُ بَيْنَهُ
وَبَيْنَ الْعَزْلِ وَاضِحٌ
( قَوْلُهُ
وَكَلَامُ الْإِحْيَاءِ يَدُلُّ عَلَى التَّحْرِيْمِ مُطْلَقًا إلَخْ ) ذَكَرَ
الشَّارِحُ فِيْ بَابِ النِّكَاحِ مَا يُفِيْدُ أَنَّ كَلَامَ الْإِحْيَاءِ دَالٌّ
عَلَى حُرْمَةِ إلْقَاءِ النُّطْفَةِ بَعْدَ اسْتِقْرَارِهَا فِي الرَّحِمِ
فَرَاجِعْهُ
Semua dokter harus mentaati sumpah jabatan
dan kode etik profesi dokter. Melakukan aborsi tidak diperbolehkan kecuali
terhadap aborsi yang sudah memenuhi syarat kedaruratan medis dan kehamilan
akibat perkosaan berdasarkan ketentuan-ketentuan. []
Sumber:
Hasil Keputusan Komisi Bahtsul Masail Diniyah
Musyawarah Nasional Alim Ulama NU 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar