Kontroversi Khilafah
Oleh: Komaruddin Hidayat
Berdirinya Negara Islam Irak dan Syria (NIIS) atau Islamic State
of Irak and Syria (ISIS) pada April 2013 telah menimbulkan kontroversi di
kalangan umat Islam sedunia. Ada yang kemudian tertarik dan bergabung, namun
banyak pula yang menentang karena dianggap tidak mewakili semangat dan karakter
Islam sebagai penyebar rahmat bagi semesta. ISIS dianggap sebagai anak kandung
Al-Qaeda yang menebarkan ketakutan dan terorisme bagi masyarakat dunia.
Kehadirannya mencoreng cita dan citra Islam yang mengajarkan hidup
rukun dan damai. Tidak tanggung-tanggung, ISIS bahkan mendeklarasikan dirinya
sebagai kekhalifahan Islam yang berpretensi sebagai pemimpin Islam sedunia.
Untuk mengetahui lebih jauh apa makna dan sejarah kekhalifahan dalam Islam,
saya tergerak mengontak beberapa teman yang secara intelektual memiliki pengetahuan
cukup, bahkan otoritatif, untuk membahas asal-usul pemerintahan politik dalam
Islam.
Lalu dikaitkan, bagaimana mestinya membangun hubungan antara ide
kekhalifahan dan negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Akhirnya
terbitlah buku Kontroversi Khilafah dengan subjudul, Islam, Negara, dan
Pancasila, diterbitkan oleh Mizan (2014) setebal 280 halaman, menghimpun
pemikiran dari 13 penulis. Saya berharap buku ini akan menjadi bahan pengantar
diskusi yang cerdas bagi mereka yang prokhilafah dan yang antikhilafah pada era
sekarang ini.
Bagi yang tidak setuju, mereka berpandangan bahwa khilafah yang
pernah hidup pada abad lampau itu tak lagi relevan pada zaman modern. Hanya
empat kekhalifahan sepeninggal Rasulullah yang masih teguh memegang nilai-nilai
agama. Saat itu pun, yaitu pada masa dua khalifah terakhir, terjadi perang
saudara sesama muslim karena dipicu persaingan ideologi dinastiisme.
Kemunculan Mazhab Sunni dan Syiah pun tak luput dari pengaruh
persaingan perebutan kekuasaan politik yang melibatkan pembenaran keagamaan
pasca-Rasulullah. Dengan kata lain, berbagai mazhab keagamaan yang sekarang
bertikai semua itu produk sejarah pasca- Rasulullah.
Jadi sesungguhnya umat Islam Indonesia tidak memiliki agenda
mempertahankan kekhalifahan atau kesultanan mengingat para sultan di Indonesia
justru melebur menjadi sponsor dan pejuang bagi lahir dan tegaknya negara
Republik Indonesia. Dalam berbagai seminar internasional seringkali muncul
pujian pada Indonesia, jumlah umat Islamnya yang jauh lebih besar dari dunia
Arab bisa bersatu dalam rumah bangsa dan negara Indonesia.
Sementara di Arab, mereka terbagi lebih dari 20 negara di bawah
kekuasaan sultanisme-dinastiisme. Di Timur Tengah, kesamaan bahasa, agama, dan
daratan tidak berarti menjadi ikatan kesatuan negara dan bangsa. Dalam kaitan
ini, menjadi logis jika negara Israel semakin berjaya meski Palestina
teriak-teriak minta tolong akibat agresi Israel mengingat sesama negara Arab
juga saling bertikai.
Idealnya, jika berdiri khalifah Islam sebagai pusat pemerintahan
Islam sedunia, betapa besar dan hebatnya dunia Islam. Tetapi, rasanya, itu
sebuah utopia belaka. Jangankan sedunia, di dunia Arab tempat lahir Islam saja
mereka bertikai. Benarkah ada doktrin sistem pemerintahan Islam tunggal dalam
ajaran Islam?
Para intelektual dan ulama mengatakan tidak ada, sebagaimana
dikutip dalam buku Kontroversi Khilafah. Salah satu keputusan Munas NU pada 1-2
November 2014 menyatakan, Islam tidak menentukan apalagi mewa-jibkan suatu
bentuk negara dan sistem pemerintahan tertentu bagi para pemeluknya.
Umat diberi kewenangan sendiri untuk mengatur dan merancang sistem
pemerintahan sesuai tuntutan perkembangan kemajuan zaman dan tempat (hal.149).
Prof Ahmad Syafii Maarif, mantan ketua Muhammadiyah, menulis testimoni untuk
buku ini: Sebutan negara Islam untuk Indonesia yang plural tidak lagi
diperlukan. Yang terpenting, moral Islam dapat menyinari masyarakat luas
melalui perkawinan perangkat hukum Islam dengan sistem hukum nasional melalui
proses demokratisasi.
Demikianlah, buku ini menyajikan sejarah kelahiran kekhalifahan
dalam sejarah Islam dan berbagai silang pendapat para ulama dan intelektual
Islam, terutama mengenai formula hubungan agama dan negara. Untuk konteks
Indonesia, kemunculan ideologi Pancasila dinilai sebagai ijtihad politik yang
jenius dan bijak, yang menetapkan Indonesia sebagai negara yang bertuhan,
sementara rakyatnya diberi kebebasan memilih agama dan kepercayaannya
masing-masing.
Agama memerlukan perlindungan dan fasilitas negara, di pihak lain
negara memerlukan landasan dan dukungan moral dari agama serta partisipasi umat
beragama untuk memajukan bangsa dan negaranya. Yang masih belum mapan adalah
tradisi membedakan dan menjaga etika pribadi, komunal, dan publik. Ruang publik
itu milik bersama, apa pun etnis dan keyakinan agama seseorang.
Ruang publik mesti dijaga bersama agar nyaman dan damai untuk
dihuni bersama. Tetapi, seringkali kelompok etnis dan agama menjarah dan
mengganggu ruang publik yang menjadi tugas dan tanggung jawab negara untuk
menjaganya.
Jika negara tidak hadir mengamankan, sementara kekuatan komunal
etnis atau agama agresif menjarah ruang publik, ini akan merongrong keindahan
dan eksistensi bangsa dan negara Indonesia yang plural. Kita jaga keadilan dalam
konteks kebinekaan, namun mesti solid dan kompak menjaga keikaan berbangsa dan
bernegara. []
KORAN SINDO, 05 Desember 2014
Komaruddin Hidayat ; Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar