Citra Diri Itu Mahal
Oleh: Komaruddin Hidayat
Terdapat perbedaan mendasar antara aktualisasi diri dan citra
diri. Yang pertama merupakan pertumbuhan kepribadian seseorang dari potensi ke
actus. Dalam filsafat, pertumbuhan ini sering dijelaskan dengan perumpamaan,
misalnya pertumbuhan dari benih biji mangga yang kemudian berkembang menjelma
menjadi pohon mangga yang besar, rindang, dan berbuah.
Semua pohon besar-besar itu semula berada dalam biji benih yang
kecil dan rapuh. Atau dengan ungkapan lain, dalam sebuah biji yang kecil dan
rapuh itu, terdapat potensi pohon besar yang gagah perkasa. Demikianlah,
seseorang dikatakan sudah sampai pada tahapan aktualisasi diri ketika sudah
menemukan jati dirinya yang kemudian dimanifestasikan dalam karya, prestasi,
dan perilaku yang dijalani secara istikamah (mantap dan konsisten).
Aktualisasi diri muncul dari kekuatan dan dorongan pribadi yang
datang dari dalam (inner power) sehingga seseorang menemukan kepercayaan diri
yang autentik. Apa bedanya dengan citra diri? Citra lebih memperhatikan apa
yang menjadi pandangan, persepsi, dan harapan orang lain terhadap diri kita.
Ini bisa dengan mudah dijelaskan dengan melihat malam
penganugerahan Piala Citra terhadap insan perfilman. Mereka yang dianggap
hebat, berhasil, dan memperoleh Piala Citra berdasarkan peran yang dimainkan,
lalu dinilai oleh penonton. Jadi, yang sangat menentukan kemenangannya adalah
penampilan luar dan adegan panggung yang berhasil memukau penonton, bukannya
kualitas dan perilaku aktor sehari-hari yang apa adanya di luar sorotan kamera.
Citra diri itu sangat penting, dan banyak orang yang sangat
memperhatikan dan rela mengeluarkan biaya tinggi untuk mendapatkannya. Kalangan
politisi, saya kira sangat sadar bagaimana menjaga citra diri di hadapan
rakyat. Meskipun, lagi-lagi, citra diri kadang kala lebih menekankan aksesori,
atau kemasan luarnya saja.
Hidup di era visual, sebuah era yang sangat peduli pada gambar,
foto, dan adegan panggung, orang dituntut untuk selalu memperhatikan penampilan
luar. Tetapi jika citra diri tidak disertai integritas (inner quality), citra
diri hanya akan menipu orang lain dan juga diri sendiri.
Mungkin saja ada orang-orang yang karena kurang percaya diri lalu
berusaha menutupinya dengan membeli barang-barang mewah dengan harga mahal,
misalnya kendaraan mobil, rumah, dan aksesori lainnya. Kalau itu terjadi pada
politisi, pejabat pemerintah, atau pegawai negeri sipil, jangan-jangan perilaku
itulah yang telah mendorong korupsi besar-besaran di negeri ini.
Mereka ramai-ramai membeli citra diri, bukannya aktualisasi diri.
Fenomena lain yang cukup menarik terjadi di Korea Selatan (Korsel). Di negeri
itu, lebih dari 70% remajanya diberitakan rela melakukan operasi bedah plastik
demi mempercantik parasnya. Konon ceritanya, fenomena itu bermula dari bedah
plastik agar matanya tidak sipit, yang ternyata berhasil gemilang.
Maka kita jarang melihat remaja Korsel yang bermata sipit. Dari
operasi mata itu lalu berkembang ke bedah plastik mempercantik wajah dan bagian
tubuh lain agar berubah semakin cantik atau tampan. Kalau kita jalan-jalan ke
Korea atau melihat filmnya, remajanya hampir seragam postur badannya dan
wajahnya. Teknologi bedah plastik ini dianggap sangat berhasil sehingga menarik
minat orang-orang Barat datang ke Korea untuk mempercantik diri.
Kita belum tahu efek apa yang ditimbulkan di hari tua nanti akibat
permak wajah ini. Tapi terbayang, betapa mereka selalu memperhatikan penampilan
dirinya agar senantiasa cantik atau tampan. Citra diri begitu sangat penting
dan mahal bagi mereka. Ongkosnya tidak saja uang, tetapi pasti pikiran dan
emosi.
Jadi, mereka tidak sekadar membeli kemasan berupa mobil atau rumah
mewah untuk membangun citra diri, tetapi lebih intens lagi format wajah dan
kulitnya yang diubah agar terlihat keren dan mengundang decak kagum. Wow ..
Akhir-akhir ini kita sering kali disuguhi tema politik ”revolusi mental” yang
kemudian menjadi tema diskusi dan workshop di berbagai departemen pemerintah.
Saya sendiri punya harapan dan kekhawatiran. Saya berharap ini
akan menjadi momentum dan gerakan yang serius, programatis, dan dikawal secara
konsisten baik secara intelektual maupun kebijakan politik sehingga mendorong
tahapan aktualisasi diri bagi para pejabat tinggi negara serta politisi.
Revolusi mental akan berhasil jika dimulai dan digerakkan serta memperoleh
contoh dari atas sebagai role model.
Tetapi saya khawatir kalau tema ini akan jatuh dan berhenti
sekadar sebagai jargon politik dan citra diri yang semu, tidak autentik, tanpa
akar kedalaman konseptual. Bahkan bisa jadi tema luhur ini tidak menjadi
kepribadian yang autentik (inner power) di lingkungan elite birokrat dan
politisi.
Kalau itu yang terjadi, nantinya akan jadi ungkapan sinikal.
Sekian puluh tahun lalu Erich Fromm menulis buku yang menjadi perbincangan di
kalangan akademisi, judulnya: To Have or To Be. Dia membedakan antara having
mode dan being mode. Yang pertama, orang mengejar sukses dan kebanggaan diri
dengan memiliki sebanyak mungkin kekayaan dan jabatan (to have more and more).
I am what I have, tulisnya. Orang akan melihat dirinya hebat
karena berkaitan dengan apa yang dimiliki. Sesuatu yang berada di luar atau
yang menempel pada dirinya. Sedangkan pribadi kedua, being mode, lebih
menekankan kualitas diri yang autentik atau yang melekat pada kepribadiannya.
Being a religious person is different from having a religion.
Demikianlah, jika ditanya mana yang lebih penting, tentu aktualisasi diri jauh
lebih penting yang pada urutannya pasti akan melahirkan citra diri yang lebih
kokoh dan autentik. []
KORAN SINDO, 28 November 2014
Komaruddin Hidayat ; Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar