PDRI danTonggak Revolusi
Oleh: Ahmad Syafii Maarif
SEKIRANYA Belanda mau memahami gerak sejarah setelah Perang Dunia
II bulan Agustus 1945, ambisi kolonialnya untuk kembali menjajah Indonesia
tidak akan terjadi. Namun, bersamaan dengan itu, meledaknya revolusi nasional
Indonesia berupa perang merebut kemerdekaan justru sebagai jawaban heroik
terhadap kenekatan Belanda yang gagal membaca perubahan mendasar yang sedang
berlaku pada saat itu dalam konstelasi politik global.
Akibat Perang Dunia II, era kolonialisme menemui titik ujungnya
yang dramatis dan hina. Belanda yang dibantu Inggris masih saja berpikir dalam
bingkai kolonialisme: Indonesia tidak boleh merdeka, sebuah angan-angan yang
basi dan busuk. ”Bahwa bangunan kolonial,” Bung Hatta mengutip majalah
Indonesia Merdeka (No 4-5, Tahun 1925, hlm 61), ”pada suatu waktu akan roboh,
bagi kami hal itu sudah pasti. Persoalannya hanyalah waktu, cepat atau lambat,
dan bukan ya atau tidak. Pasang yang menaik tidak dapat ditolak; masa depan
adalah ibarat laut yang tidak mengenal pasang surut.”
Tonggak-tonggak revolusi
Revolusi Indonesia telah melahirkan banyak peristiwa yang menjadi
tonggak-tonggak penting dan menentukan dalam upaya merebut dan mempertahankan
kemerdekaan Tanah Air dalam tenggang waktu 1945 hingga 1949. Ada perjuangan
heroik di Surabaya pada 10 November 1945, ada diplomasi politik St Sjahrir,
Amir Sjarifuddin, dan Hatta, ada perlawanan Jenderal Soedirman yang tidak bisa
menerima kapitulasi Soekarno-Hatta pada 19 Desember 1948 kepada pasukan Belanda
di Yogyakarta. Dan jangan lupa, salah satu tonggak yang menyatu dengan roh dan
napas revolusi Indonesia adalah lahirnya Pemerintah Darurat Republik Indonesia
(PDRI) pimpinan Sjafruddin Prawiranegara di sebuah desa kecil Halaban dalam
wilayah Kabupaten Limapuluh Kota, Sumatera Barat, pada 22 Desember 1948.
Sebelum Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta
diangkut pasukan Belanda pada 19 Desember 1948, kawat masih sempat dikirimkan
kepada Menteri Kemakmuran Sjafruddin Prawiranegara dalam Kabinet Hatta yang
sedang berada di Bukittinggi dan kepada Dr Sudarsono, LN Palar, dan AA Maramis
di India. Isi kawat agar dibentuk segera pemerintah darurat di Sumatera atau
pemerintah dalam pengasingan di India, sekiranya perjuangan dalam negeri gagal.
Karena Bukittinggi sudah tak aman, Sjafruddin dan banyak tokoh
pejuang lain harus menyingkir ke kawasan yang lebih aman. Sekalipun kawat tak
sampai karena komunikasi telah dirusak, Sjafruddin dan para pejuang yang lain
dengan cekatan dan penuh rasa tanggung jawab membentuk PDRI dalam kesunyian
lingkungan desa, tiga hari setelah Soekarno-Hatta tidak bisa berfungsi lagi
sebagai presiden dan wakil presiden. Pemerintah pusat lumpuh. Terjadi
kekosongan kekuasaan pada tingkat tertinggi selama tiga hari itu (19-22
Desember). Dengan lahirnya PDRI yang mendapat dukungan sepenuhnya dari Jenderal
Soedirman, kekosongan itu cepat terisi dengan mandat sah: ”…kami (Presiden”
menguasakan kepada Mr Sjafruddin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran Republik
Indonesia, untuk membentuk Pemerintah Darurat di Sumatera.” Indonesia tidak
runtuh, sebagaimana kicauan pongah Belanda dan pendukungnya dari kubu
kolonialisme global.
Sehari setelah PDRI dibentuk, Sjafruddin Prawiranegara sebagai
ketuanya menyampaikan pidato radio yang isinya antara lain ”Negara Republik
Indonesia tidak tergantung kepada Soekarno-Hatta sekalipun kedua pemimpin itu
adalah sangat berharga bagi bangsa kita. Patah tumbuh hilang berganti. Hilang
pemerintah Soekarno-Hatta, sementara atau untuk selama-lamanya, rakyat
Indonesia akan mendirikan pemerintahan yang baru, hilang pemerintah ini akan
timbul yang baru lagi.” Pidato yang penuh optimisme dari seorang
patriot-nasionalis yang tidak pernah percaya bahwa Belanda akan berkuasa
kembali di Indonesia. Tekad ini adalah tekad para pejuang yang mendapat
dukungan dari seluruh rakyat yang tidak mau dijajah lagi.
Karena Belanda selalu mengincar pimpinan PDRI, watak perlawanan
yang dikembangkan adalah bergerilya dari satu kawasan ke kawasan yang lain
dengan segala suka duka yang menyertainya, termasuk harus berjalan kaki
sepanjang ratusan kilometer. Hutan dan desa-desa di Sumatera Barat telah
melindungi pimpinan PDRI selama tujuh bulan (22 Desember 1948-13 Juli 1949).
Tak seorang pun yang dapat ditangkap pasukan kolonial. Desa-desa yang pernah
menjadi pusat pemerintahan PDRI adalah Bidar Alam (Solok Selatan), Koto Tinggi
(Limapuluh Kota), dan Sumpur Kudus (sekarang dalam Kabupaten Sijunjung).
Rakyat di semua desa ini demikian menyatu dengan PDRI. Apa pun
mereka korbankan demi ongkos kemerdekaan yang ingin dihancurkan lagi oleh
Belanda. Pada hari-hari itu, patriotisme dan nasionalisme Indonesia sedang
berada di puncak-puncaknya yang tertinggi. Pilihannya: merdeka atau mati!
Semangat ini telah menjalar sampai ke pelosok-pelosok tersuruk yang jauh dari
Jakarta atau Yogyakarta. Belanda tidak mau mengerti tentang semangat perlawanan
rakyat ini. Nafsu kolonialnya yang tak terbendung telah membutakan hati dan
melumpuhkan akal sehat Belanda. Terlalu amat berat bagi penjajah untuk melepaskan
Indonesia yang telah dieksploitasinya dalam rentang waktu yang lama.
PDRI dalam ketatanegaraan Indonesia
Sekarang, bagaimana status ketatanegaraan PDRI setelah mengeram
dalam ingatan kolektif kita selama 65 tahun tahun (1949-2014)? Memang Sjafruddin
Prawiranegara tahun 1998 telah menerima ”Bintang RI Adipradana” dari Presiden
BJ Habibie dengan Keppres No 110/TK/1998 tertanggal 6 November 1998. Juga
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan Keppres No 28 Tahun 2006 telah
menetapkan tanggal 19 Desember sebagai Hari Bela Negara. Bagi saya, semuanya
itu belum cukup. Seolah-olah PDRI itu bukan merupakan salah satu tonggak utama
revolusi Indonesia di saat yang sangat-sangat genting. Jenderal Soedirman
memahami benar peran kritikal PDRI ini.
Dapatkan tuan dan puan membayangkan nasib RI. Tanpa PDRI di tengah
hantaman propaganda Belanda yang sangat gencar bahwa negara Indonesia telah
lenyap dengan tertangkapnya Soekarno-Hatta? Sjafruddin Prawiranegara telah
menjawab kebohongan itu dalam perbuatan nyata sebagaimana tecermin dalam pidato
di atas. Maka ada baiknya para ahli hukum tata negara membaca kembali dengan
kepala dingin dan melalui pertimbangan yang jernih, demi pelurusan sejarah
bangsa, tentang peran PDRI ini untuk kemudian mengusulkan kepada presiden dan
MPR agar Sjafruddin Prawiranegara ditetapkan sebagai presiden kedua Republik
Indonesia. Para sejarawan dapat membantu ahli hukum tata negara kita dalam
kerja besar ini. Arsip sejarah cukup tersedia untuk keperluan itu. []
KOMPAS, 13 Desember 2014
Ahmad Syafii Maarif ; Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar