Al Qaeda: Dari Perang Afganistan sampai ISIS
Judul
: Al Qaeda: Kajian Sosial Politik, Ideologi dan Sepak Terjangnya
Penulis
: DR H As’ad
Said Ali
Penerbit
: LP3ES Jakarta
Tahun
: Cetakan I, September 2014
Tebal
: xxvi + 438 hlm
ISBN
: 978-602-7984-11-0
Harga
: Rp. 80.000,-
Peresensi
: A.Khoirul Anam
Buku “Al Qaeda: Kajian Sosial Politik, Ideologi dan
Sepak Terjangnya” (2014) merupakan kelanjutan dari buku “Ideologi-Ideologi
Pasca Reformasi” yang diterbitkan tahun 2012. Menurut penulisnya, As’ad Said
Ali, kedua buku itu berangkat dari ambisi pribadnya untuk melakukan kajian
menyeluruh tentang gerakan-gerakan radikal.
Buku Al Qaeda terdiri dari 9 bab yang dimulai
dengan cerita mengenai pengalaman pribadi penulis saat bertugas sebagai pejabat
Badan Intelijen Negara (BIN) di Timur Tengah pada 1982 sampai 1990. Selanjutnya
penulis menyampaikan uraian panjang lebar mengenai ideologi kaum jihadi dan Al
Qaeda secara khusus. Pertemuannya secara tidak sengaja dan perkenalannya dengan
pemimpin Al Qaeda Osama bin Laden menjadi titik poin tersendiri. As’ad Ali
mencatat bahwa Perang Afghanistan sebagai sebuah permulaan terbentuknya jaringan
jihad internasional dan mengenai gagasan pembentukan Al Qaeda. Penulis juga
mengungkap pola pengorganisasiannya, serta operasi-operasinya pada tahap awal.
Bab 5 penulis menyampaikan uraian tambahan
mengenai Jamaah Islamiyah dan hubungannya dengan Al Qaeda mengingat banyak
orang salah
kaprah, termasuk opini di sejumlah media, dalam memahami
hubungan kedua organisasi ini. Bagaimana jaringan operasi dan rentetan aksi
teror bom yang dilakukan Al Qaeda, disajikan dalam Bab 6 dan 7. Uraian dalam
dua bab ini meliputi wilayah yang relatif luas, yakni Indonesia dan sejumlah
negara di Asia Tenggara. Bab ini menggambarkan cukup menyeluruh mengenai
operasi Al Qaeda di Asia Tenggara, dan bagaimana Asia Tenggara dijadikan
pangkalan untuk menyerang sejumlah negara di kawasan lain.
Bab 8, merupakan bagian paling penting yang
menyoroti generasi pasca Osama dan bagaimana dinamikanya. Osama tewas ditembak
anggota pasukan elit Navy SEAL Amerika Serikat di Pakistan, pada Mei 2011. Pada
bab ini penulis memulai pembahasan dengan menanyakan apakah setelah kematiannya
itu, apakah Al Qaeda ikut hancur dan mati? Bagaimana dengan gerakan-gerakan
jihad lainnya? Kenyataannya, kaum jihadi kini menemukan medan jihad baru di
Syria, Iraq, dan kawasan Afrika. Bahkan telah lahir ISIS/ISIL (The Islamic State
of Iraq
and the Levant).
Bab terakhir, Bab 9 berisi uraian reflektif
mengenai apa sesungguhnya penyebab Al Qaeda melakukan perlawanan global, dan
mengapa akhirnya memilih cara kekerasan. Pada pagian epilog ini, penulis
mengajukan rekomendasi, sebuah visi yang perlu dibangun untuk mengelola dan
menciptakan perdamaian dunia. As’ad Said Ali yang juga Wakil Ketua Umum PBNU
menilai bahwa masalah Al Qaeda sesungguhnya tidak bisa dipandang sekedar
sebagai persoalan eksklusif negara semata. Atau lebih sempit lagi, urusan
aparat keamanan. Al Qaeda adalah sebuah gerakan politik, dengan ideologi jihad
yang kuat, mempunyai jaringan global dan skill militer. Visi politiknya
terumuskan dalam sebuah kalimat yang sederhana: “menegakkan Islam dan melindungi
kaum muslimin.”
Esensi ideologi Al Qaeda adalah jihad, dan
pembentukan khilafah Islamiyah adalah suatu yang mutlak. Dengan ideologi
seperti itu, kaum jihadi menyalahkan pemaknaan para ulama yang telah menjadi ijma’
selama berabad-abad, yang mengartikan jihad dalam arti qital (perang)
hanyalah salah satu jenis saja dari jihad. Menurut As’ad, jihad yang lebih
besar adalah mewujudkan Islam sebagai rahmatan lil alamin. Al Qaeda menganggap jihad qital
(perang) adalah fardhu ‘ain, sebagai satu-satunya jihad yang berlaku mutlak
sejak turunnya surat At Taubah. Sedangkan ayat-ayat lain, yang mengandung
perintah jihad lainnya, telah terhapus. Ini berati, khususnya masalah jihad, Al
Qaeda menganggap mayoritas umat Islam mengikuti ajaran yang salah.
Kaum jihadi juga beranggapan bahwa
pembentukan khilafah islamiyah adalah mutlak. Mereka menilai agama Islam tidak
bisa dilaksanakan dengan sempurna jika tidak melalui Daulah Islamiyah
(pemerintah Islam). Dengan demikian terbentuknya Daulah Islamiyah akan menjadi
menara api yang akan mengumpulkan kaum muslimin dari semua tempat menjadi satu
kesatuan di bawah pemimpin khalifah, meskipun memang tidak ada kesatuan
pandangan di kalangan mereka sendiri mengenai apa yang dimaksud khilafah. Namun
doktrin kekhalifahan tersebut telah menghasilkan doktrin lanjutan lainnya yang
menyeramkan, yakni pengkafiran terhadap umat Islam yang tidak mendukung prinsip
kekhalifahan tersebut. Padahal, umumnya para ulama berpendapat bahwa kata-kata
khalifah atau khilafah yang terdapat dalam Al-Qur’an berarti “kepemimpinan
umat” dalam arti yang luas, tidak berarti model pemerintahan.
Sementara itu fakta menunjukkan bahwa
negara-negara muslim masih banyak yang belum berhasil membangun sistem politik
yang dapat menggabungkan secara harmonis antara gagasan negara-bangsa
dengan ajaran Islam. Barangkali baru sebagian saja yang berhasil. Itupun masih
dalam proses, di antaranya adalah Indonesia dan sejumlah kecil negara Arab.
Indonesia adalah contoh unik, bagaimana para ulama madzhab (madhzab
maslahat) khususnya, NU, Muhammdiyah dan ormas lainnya, bersama tokoh-tokoh
nasionalis, Muslim maupun Non Muslim, mampu merumuskan suatu dasar negara yang
secara esensial sama sekali tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip agama.
Bahkan dapat dikatakan pada basis prinsip-prinsip itulah negara ini ditegakkan
atas dasar pesan moral rahmatan lil-‘alamin. Itulah Pancasila, sebuah
rumusan cerdas mengatasi problem dikotomis, sekuler versus teokrasi, yang
dihadapi dunia Islam saat itu. Meski demikian, negara-negara yang relatif
berhasil itupun kini dihadapkan dengan tantangan-tantangan barunya.
Penting dicatat, bahwa gerakan jihadis dan
gerakan-gerakan ideologis Islam radikal lainnya, kelahirannya juga dirangsang
oleh, dan sebagai respon atas, kekecewaan yang mendalam terhadap negerinya,
yang dinilai telah terseret ke dalam situasi amoral, sekuler, libertarianisme
dan semakin jauh dari cita-cita masyarakat teokratis. Sementara, kaum pembaharu
Islam yang mulai berkibar menjelang runtuhnya khalifah Usmaniyah Turki, dinilai
telah gagal membangun sistem politik yang memadai dengan situasi baru pasca
perang dunia I. Derita Palestina dan sejumlah kawasan Islam lainnya, juga
ditunjuk sebagai bukti bahwa penguasa-penguasa negeri muslim secara politik makin
lemah dan kehilangan sikap independen; kemudian dicap sebagai thoghut
yang mesti diperanginya.
Dengan demikian, dilihat dari sisi ini,
secara moral lahirnya gerakan-gerakan radikal tidak dapat dipersalahkan. Sama
halnya kita tidak dapat mempersalahkan lahirnya gerakan-gerakan
liberal-sekuler. Keduanya adalah produk sejarah, yakni modernisasi.
Menurut As’ad, tugas penyelenggara negara dan
kaum intelektual adalah menumbuhkan sistem politik yang mampu memperbaharui
dirinya secara terus-menerus, untuk merespons kritik dan tuntutan-tuntutan baru
yang juga terus lahir. Dalam kasus Indonesia, reformasi jangan justru
menimbulkan disorientasi pada bangsa ini. Ini bukan sekedar persoalan membangun
hubungan antara inisiatif pemerintah dengan partisispasi rakyat, atau bagaimana
membangun tingkat kemampuan sistem politik mendorong proses perkembangan di
bidang lain, namun semacam proses nation and character building dengan kedalaman
dan dimensi yang lebih kekinian. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar