Senin, 15 Desember 2014

(Buku of the Day) Al Qaeda: Kajian Sosial Politik, Ideologi dan Sepak Terjangnya



Al Qaeda: Dari Perang Afganistan sampai ISIS

Judul                : Al Qaeda: Kajian Sosial Politik, Ideologi dan Sepak Terjangnya
Penulis             : DR H As’ad Said Ali
Penerbit            : LP3ES Jakarta
Tahun               : Cetakan I, September 2014
Tebal                : xxvi + 438 hlm
ISBN                 : 978-602-7984-11-0
Harga               : Rp. 80.000,-
Peresensi          : A.Khoirul Anam

Buku Al Qaeda: Kajian Sosial Politik, Ideologi dan Sepak Terjangnya (2014) merupakan kelanjutan dari buku “Ideologi-Ideologi Pasca Reformasi” yang diterbitkan tahun 2012. Menurut penulisnya, As’ad Said Ali, kedua buku itu berangkat dari ambisi pribadnya untuk melakukan kajian menyeluruh tentang gerakan-gerakan radikal.

Buku Al Qaeda terdiri dari 9 bab yang dimulai dengan cerita mengenai pengalaman pribadi penulis saat bertugas sebagai pejabat Badan Intelijen Negara (BIN) di Timur Tengah pada 1982 sampai 1990. Selanjutnya penulis menyampaikan uraian panjang lebar mengenai ideologi kaum jihadi dan Al Qaeda secara khusus. Pertemuannya secara tidak sengaja dan perkenalannya dengan pemimpin Al Qaeda Osama bin Laden menjadi titik poin tersendiri. As’ad Ali mencatat bahwa Perang Afghanistan sebagai sebuah permulaan terbentuknya jaringan jihad internasional dan mengenai gagasan pembentukan Al Qaeda. Penulis juga mengungkap pola pengorganisasiannya, serta operasi-operasinya pada tahap awal.

Bab 5 penulis menyampaikan uraian tambahan mengenai Jamaah Islamiyah dan hubungannya dengan Al Qaeda mengingat banyak orang salah kaprah, termasuk opini di sejumlah media, dalam memahami hubungan kedua organisasi ini. Bagaimana jaringan operasi dan rentetan aksi teror bom yang dilakukan Al Qaeda, disajikan dalam Bab 6 dan 7. Uraian dalam dua bab ini meliputi wilayah yang relatif luas, yakni Indonesia dan sejumlah negara di Asia Tenggara. Bab ini menggambarkan cukup menyeluruh mengenai operasi Al Qaeda di Asia Tenggara, dan bagaimana Asia Tenggara dijadikan pangkalan untuk menyerang sejumlah negara di kawasan lain.

Bab 8, merupakan bagian paling penting yang menyoroti generasi pasca Osama dan bagaimana dinamikanya. Osama tewas ditembak anggota pasukan elit Navy SEAL Amerika Serikat di Pakistan, pada Mei 2011. Pada bab ini penulis memulai pembahasan dengan menanyakan apakah setelah kematiannya itu, apakah Al Qaeda ikut hancur dan mati? Bagaimana dengan gerakan-gerakan jihad lainnya? Kenyataannya, kaum jihadi kini menemukan medan jihad baru di Syria, Iraq, dan kawasan Afrika. Bahkan telah lahir ISIS/ISIL (The Islamic State of Iraq and the Levant).

Bab terakhir, Bab 9 berisi uraian reflektif mengenai apa sesungguhnya penyebab Al Qaeda melakukan perlawanan global, dan mengapa akhirnya memilih cara kekerasan. Pada pagian epilog ini, penulis mengajukan rekomendasi, sebuah visi yang perlu dibangun untuk mengelola dan menciptakan perdamaian dunia. As’ad Said Ali yang juga Wakil Ketua Umum PBNU menilai bahwa masalah Al Qaeda sesungguhnya tidak bisa dipandang sekedar sebagai persoalan eksklusif negara semata. Atau lebih sempit lagi, urusan aparat keamanan. Al Qaeda adalah sebuah gerakan politik, dengan ideologi jihad yang kuat, mempunyai jaringan global dan skill militer. Visi politiknya terumuskan dalam sebuah kalimat yang sederhana: “menegakkan Islam dan melindungi kaum muslimin.”

Esensi ideologi Al Qaeda adalah jihad, dan pembentukan khilafah Islamiyah adalah suatu yang mutlak. Dengan ideologi seperti itu, kaum jihadi menyalahkan pemaknaan para ulama yang telah menjadi ijma’ selama berabad-abad, yang mengartikan jihad dalam arti qital (perang) hanyalah salah satu jenis saja dari jihad. Menurut As’ad, jihad yang lebih besar adalah mewujudkan Islam sebagai rahmatan lil alamin. Al Qaeda menganggap jihad qital (perang) adalah fardhu ‘ain, sebagai satu-satunya jihad yang berlaku mutlak sejak turunnya surat At Taubah. Sedangkan ayat-ayat lain, yang mengandung perintah jihad lainnya, telah terhapus. Ini berati, khususnya masalah jihad, Al Qaeda menganggap mayoritas umat Islam mengikuti ajaran yang salah.

Kaum jihadi juga beranggapan bahwa pembentukan khilafah islamiyah adalah mutlak. Mereka menilai agama Islam tidak bisa dilaksanakan dengan sempurna jika tidak melalui Daulah Islamiyah (pemerintah Islam). Dengan demikian terbentuknya Daulah Islamiyah akan menjadi menara api yang akan mengumpulkan kaum muslimin dari semua tempat menjadi satu kesatuan di bawah pemimpin khalifah, meskipun  memang tidak ada kesatuan pandangan di kalangan mereka sendiri mengenai apa yang dimaksud khilafah. Namun doktrin kekhalifahan tersebut telah menghasilkan doktrin lanjutan lainnya yang menyeramkan, yakni pengkafiran terhadap umat Islam yang tidak mendukung prinsip kekhalifahan tersebut. Padahal, umumnya para ulama berpendapat bahwa kata-kata khalifah atau khilafah yang terdapat dalam Al-Qur’an berarti “kepemimpinan umat” dalam arti yang luas, tidak berarti model pemerintahan.

Sementara itu fakta menunjukkan bahwa negara-negara muslim masih banyak yang belum berhasil membangun sistem politik yang  dapat menggabungkan secara harmonis antara gagasan negara-bangsa dengan ajaran Islam. Barangkali baru sebagian saja yang berhasil. Itupun masih dalam proses, di antaranya adalah Indonesia dan sejumlah kecil negara Arab. Indonesia  adalah contoh unik, bagaimana para ulama madzhab (madhzab maslahat) khususnya, NU, Muhammdiyah dan ormas lainnya, bersama tokoh-tokoh nasionalis, Muslim maupun Non Muslim, mampu merumuskan suatu dasar negara yang secara esensial sama sekali tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip agama. Bahkan dapat dikatakan pada basis prinsip-prinsip itulah negara ini ditegakkan atas dasar pesan moral rahmatan lil-‘alamin. Itulah Pancasila, sebuah rumusan cerdas mengatasi problem dikotomis, sekuler versus  teokrasi, yang dihadapi dunia Islam saat itu. Meski demikian, negara-negara yang relatif berhasil itupun kini dihadapkan dengan tantangan-tantangan barunya.

Penting dicatat, bahwa gerakan jihadis dan gerakan-gerakan ideologis Islam radikal lainnya, kelahirannya juga dirangsang oleh, dan sebagai respon atas, kekecewaan yang mendalam terhadap negerinya, yang dinilai telah terseret ke dalam situasi amoral, sekuler, libertarianisme dan semakin jauh dari cita-cita masyarakat teokratis. Sementara, kaum pembaharu Islam yang mulai berkibar menjelang runtuhnya khalifah Usmaniyah Turki, dinilai telah gagal membangun sistem politik yang memadai dengan situasi baru pasca perang dunia I. Derita Palestina dan sejumlah kawasan Islam lainnya, juga ditunjuk sebagai bukti bahwa penguasa-penguasa negeri muslim secara politik makin lemah dan kehilangan sikap independen; kemudian dicap sebagai thoghut yang mesti diperanginya.

Dengan demikian, dilihat dari sisi ini, secara moral lahirnya gerakan-gerakan radikal tidak dapat dipersalahkan. Sama halnya kita tidak dapat mempersalahkan lahirnya gerakan-gerakan liberal-sekuler. Keduanya adalah produk sejarah, yakni modernisasi.

Menurut As’ad, tugas penyelenggara negara dan kaum intelektual adalah menumbuhkan sistem politik yang mampu memperbaharui dirinya secara terus-menerus, untuk merespons kritik dan tuntutan-tuntutan baru yang juga terus lahir. Dalam kasus Indonesia, reformasi jangan justru menimbulkan disorientasi pada bangsa ini. Ini bukan sekedar persoalan membangun hubungan antara inisiatif pemerintah dengan partisispasi rakyat, atau bagaimana membangun tingkat kemampuan sistem politik mendorong proses perkembangan di bidang lain, namun semacam proses nation and character building dengan kedalaman dan dimensi yang lebih kekinian. []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar