Kamis, 11 Desember 2014

Kang Sobary: Orang-Orang Besar di Perpustakaan



Orang-Orang Besar di Perpustakaan
Oleh: Mohamad Sobary

Baik-buruknya perpustakaan, menentukan baik-buruknya manusia dan masyarakat di sekitarnya. Diperjelas; jika perpustakaan baik, manusia dan masyarakat di sekitarnya juga baik. Jika perpustakaan buruk, yang terjadi sebaliknya. Dilihat dari sudut yang berkebalikan: Manusia dan masyarakat baik jika perpustakaannya baik. Manusia dan masyarakat buruk jika kondisi perpustakaan sebaliknya. Dengan kata lain, ini menjelaskan betapa penting makna perpustakaan.

Apa Isi Perpustakaan?

“Buku-buku, yang menjadi sarana pengembangan pribadi manusia, dan kebebasan memilih buku-buku yang diinginkannya, yang di tempat lain tidak ada”. Orang boleh bebas sebebas-bebasnya mau membaca buku apa saja. Orang bebas memilih, mau mematangkan diri dengan ilmu-ilmu macam apa.

Mereka yang ingin memperoleh keterampilan teknis, boleh membaca buku-buku teknis yang diinginkan. Mereka yang ingin menjadi sufi dan tokoh-tokoh rohani terkemuka, di sana buku dalam bidang itu tersedia. Kita mengasumsikan anggaran tahunan perpustakaan kita besar. Bahkan mungkin “unlimited“ Dengan anggaran seperti itu, buku apa pun bisa dibeli untuk membuat warga masyarakat, perorangan maupun kelompok, menjadi orang baik, pandai, dan terampil di bidang-bidang ilmu keduniaan.

Selebihnya, warga masyarakat bisa menjadi orang mulia, dan terpuji secara rohaniah. Mereka itu merupakan modal sosial kita. Modal itu bisa diandalkan untuk mengangkat derajat dan martabat bangsa di mata bangsa-bangsa lain. Itu pun kita belum bicara guru, menteri, dan kebijakan pendidikan.

Tapi kenyataan di masyarakat kita tak seperti itu. Perpustakaan kita sepi. Pengunjung utamanya hanya kepala perpustakaan itu sendiri dan anak buahnya. Itu pun tidak untuk membaca buku, melainkan untuk rapat. Mereka sibuk rapat dan rapat melulu hingga semua lupa mengurus agar perpustakaan yang sunyi sepi itu bisa sedikit memberi tanda adanya kehidupan.

Memeriahkan Perpustakaan

Kita harus kreatif. Kita bikin ruang-ruang baca besar, misalnya cukup buat lima puluh orang. Bikinlah umpamanya, ruang Gusti Kanjeng Nabi Muhammad SAW, di mana tersedia segenap buku agama. Semua buku biografi beliau, hadis-hadis beliau, dan potret kesalehan beliau, yang tak tertandingi itu dihadirkan di sana.

Sediakan di ruang itu suatu tempat kecil, buat satu dua orang salat, lengkap dengan sajadahnya. Memang sudah ada musala, bahkan mungkin masjid besar. Tapi bagi orang yang terlalu getol membaca, siapa tahu memilih salat sendirian di tempat tersebut. Kita bikin pula ruang Socrates yang hebat itu. Di sana, pengunjung boleh membaca filsafat, boleh memilih buku lain.

Bila kelak di situ akan jadi ruang pembaca khusus filsafat, itu baik saja. Bikin pula ruang KH Ahmad Dahlan, atau hadratusyeikh KH Hasyim Asyary. Sebut mereka tokoh pemikir, pemimpin umat yang besar dan kreatif. Jangan sekedar disebut kiai. Tidak cukup. Mereka pemimpin besar, teladan umat. Bikin pula ruang Bung Karno.

Di situ orang bebas membaca, bahkan berdiskusi tentang politik dan pergerakan. Kita ambil hikmah dari beliau, tapi pergerakan yang kita diskusikan kita terapkan khusus untuk menata kehidupan bangsa kita yang sekarang terjajah lagi secara terang-terangan oleh pedagang asing, politik asing dan segala macam kepentingan asing. Kita belajar dari Bung Karno, cara membebaskan bangsa kita sekarang ini dari begitu banyak belenggu tadi. Bikin pula ruang Gus Dur.

Di sana orang harus ketawa dan membuat humor-humor segar, yang memancing tumbuhnya sikap bijaksana. Bangsa kita kurang humor. Kurang ketawa. Tak mengherankan kita tampak kusut, dan jarang di tengah kita hadir orang bijaksana. Tapi jangan lupa, di ruang Gus Dur juga harus ada yang membaca buku-buku kebudayaan dan politik etnisitas, dan keumatan, yang cemerlang.

Kita tampilkan bacaan yang menggambarkan pergaulan antar umat, antar etnis, antarsesama bangsa, yang tawaduk, penuh humor dan kearifan, dan penghormatan, maupun sikap toleran dan rendah hati, agar suasana politik keagamaan kita terasa nyaman, bebas dan terbuka tapi penuh ukhuwah insaniah yang saling memuliakan.

Di Asia Tenggara yang kecil ini, jangan bangsa lain yang terkemuka. Kitalah pemimpinnya. Bahkan di seluruh kawasan Asia, kita harus menjadi yang terbesar, terhormat, paling beradab dan makmur. Mustahil kita tak mampu mewujudkannya. Mustahil, selama kita punya perpustakaan, selama perpustakaan ada buku, selama perpustakaan dikelola dengan cara yang penuh kreativitas.

Hidup harus punya imajinasi yang sehat, dan berkeadaban. Tanpa itu, buku boleh lengkap, buku bisa numpuk, tapi buku hanya jadi kertas bisu jika perpustakaan. “rumah buku” tak dikelola dengan imajinasi yang berorientasi untuk maju, dan berkembang. Disediakan pula ruang lebih besar, yang memuat sekitar seratus orang, untuk diskusi tentang apa saja yang penting.

Syukur kalau anggota DPR, atau menteri, suka datang, dan bersedia ikut belajar bersama. Kehadiran mereka bakal menjadi cambuk bagi seluruh bangsa. Ini tidak sulit. Ketua perpustakaan harus gigih mendatangi para tokoh, agar mereka sudi membuang waktu ke perpustakaan. Syukur presiden, dan wakil presiden juga bersedia datang, sesekali dalam setahun. Gubernur wajib datang minimal sebulan sekali.

Dialah tuan rumah bagi perpustakaan daerah. Orang-orang besar di perpustakaan bakal menyemarakkan apa yang kita sebut pendidikan bangsa, dan memajukan kehidupan bangsa. Pak Gubernur, Pak Basuki Tjahaja Purnama, bisa menjadi cahaya perpustakaan. Gusti Kanjeng Nabi Muhammad SAW punya mukjizat sebuah buku, kitab suci, dan bukan pedang. Ini tanda kita diminta maju lewat buku.

Kita bisa menjadikan buku mukjizat kecil bagi pemimpin bangsa. Orang-orang besar datang ke perpustakaan, dan tinggal beberapa saat di sana, niscaya mampu merangsang, agar kita bisa menjadi bangsa besar. []

KORAN SINDO,  08 Desember 2014
Mohamad Sobary  ;   Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar