Orang-Orang
Besar di Perpustakaan
Oleh: Mohamad
Sobary
Baik-buruknya
perpustakaan, menentukan baik-buruknya manusia dan masyarakat di sekitarnya.
Diperjelas; jika perpustakaan baik, manusia dan masyarakat di sekitarnya juga
baik. Jika perpustakaan buruk, yang terjadi sebaliknya. Dilihat dari sudut yang
berkebalikan: Manusia dan masyarakat baik jika perpustakaannya baik. Manusia
dan masyarakat buruk jika kondisi perpustakaan sebaliknya. Dengan kata lain,
ini menjelaskan betapa penting makna perpustakaan.
Apa Isi
Perpustakaan?
“Buku-buku,
yang menjadi sarana pengembangan pribadi manusia, dan kebebasan memilih
buku-buku yang diinginkannya, yang di tempat lain tidak ada”. Orang boleh bebas
sebebas-bebasnya mau membaca buku apa saja. Orang bebas memilih, mau
mematangkan diri dengan ilmu-ilmu macam apa.
Mereka
yang ingin memperoleh keterampilan teknis, boleh membaca buku-buku teknis yang
diinginkan. Mereka yang ingin menjadi sufi dan tokoh-tokoh rohani terkemuka, di
sana buku dalam bidang itu tersedia. Kita mengasumsikan anggaran tahunan perpustakaan
kita besar. Bahkan mungkin “unlimited“ Dengan anggaran seperti itu, buku apa
pun bisa dibeli untuk membuat warga masyarakat, perorangan maupun kelompok,
menjadi orang baik, pandai, dan terampil di bidang-bidang ilmu keduniaan.
Selebihnya,
warga masyarakat bisa menjadi orang mulia, dan terpuji secara rohaniah. Mereka
itu merupakan modal sosial kita. Modal itu bisa diandalkan untuk mengangkat
derajat dan martabat bangsa di mata bangsa-bangsa lain. Itu pun kita belum
bicara guru, menteri, dan kebijakan pendidikan.
Tapi
kenyataan di masyarakat kita tak seperti itu. Perpustakaan kita sepi.
Pengunjung utamanya hanya kepala perpustakaan itu sendiri dan anak buahnya. Itu
pun tidak untuk membaca buku, melainkan untuk rapat. Mereka sibuk rapat dan
rapat melulu hingga semua lupa mengurus agar perpustakaan yang sunyi sepi itu
bisa sedikit memberi tanda adanya kehidupan.
Memeriahkan
Perpustakaan
Kita
harus kreatif. Kita bikin ruang-ruang baca besar, misalnya cukup buat lima
puluh orang. Bikinlah umpamanya, ruang Gusti Kanjeng Nabi Muhammad SAW, di mana
tersedia segenap buku agama. Semua buku biografi beliau, hadis-hadis beliau,
dan potret kesalehan beliau, yang tak tertandingi itu dihadirkan di sana.
Sediakan
di ruang itu suatu tempat kecil, buat satu dua orang salat, lengkap dengan
sajadahnya. Memang sudah ada musala, bahkan mungkin masjid besar. Tapi bagi
orang yang terlalu getol membaca, siapa tahu memilih salat sendirian di tempat
tersebut. Kita bikin pula ruang Socrates yang hebat itu. Di sana, pengunjung
boleh membaca filsafat, boleh memilih buku lain.
Bila
kelak di situ akan jadi ruang pembaca khusus filsafat, itu baik saja. Bikin
pula ruang KH Ahmad Dahlan, atau hadratusyeikh KH Hasyim Asyary. Sebut mereka
tokoh pemikir, pemimpin umat yang besar dan kreatif. Jangan sekedar disebut
kiai. Tidak cukup. Mereka pemimpin besar, teladan umat. Bikin pula ruang Bung
Karno.
Di situ
orang bebas membaca, bahkan berdiskusi tentang politik dan pergerakan. Kita
ambil hikmah dari beliau, tapi pergerakan yang kita diskusikan kita terapkan
khusus untuk menata kehidupan bangsa kita yang sekarang terjajah lagi secara
terang-terangan oleh pedagang asing, politik asing dan segala macam kepentingan
asing. Kita belajar dari Bung Karno, cara membebaskan bangsa kita sekarang ini
dari begitu banyak belenggu tadi. Bikin pula ruang Gus Dur.
Di sana
orang harus ketawa dan membuat humor-humor segar, yang memancing tumbuhnya
sikap bijaksana. Bangsa kita kurang humor. Kurang ketawa. Tak mengherankan kita
tampak kusut, dan jarang di tengah kita hadir orang bijaksana. Tapi jangan
lupa, di ruang Gus Dur juga harus ada yang membaca buku-buku kebudayaan dan
politik etnisitas, dan keumatan, yang cemerlang.
Kita
tampilkan bacaan yang menggambarkan pergaulan antar umat, antar etnis,
antarsesama bangsa, yang tawaduk, penuh humor dan kearifan, dan penghormatan,
maupun sikap toleran dan rendah hati, agar suasana politik keagamaan kita
terasa nyaman, bebas dan terbuka tapi penuh ukhuwah insaniah yang saling
memuliakan.
Di Asia
Tenggara yang kecil ini, jangan bangsa lain yang terkemuka. Kitalah
pemimpinnya. Bahkan di seluruh kawasan Asia, kita harus menjadi yang terbesar,
terhormat, paling beradab dan makmur. Mustahil kita tak mampu mewujudkannya.
Mustahil, selama kita punya perpustakaan, selama perpustakaan ada buku, selama
perpustakaan dikelola dengan cara yang penuh kreativitas.
Hidup
harus punya imajinasi yang sehat, dan berkeadaban. Tanpa itu, buku boleh
lengkap, buku bisa numpuk, tapi buku hanya jadi kertas bisu jika perpustakaan.
“rumah buku” tak dikelola dengan imajinasi yang berorientasi untuk maju, dan
berkembang. Disediakan pula ruang lebih besar, yang memuat sekitar seratus
orang, untuk diskusi tentang apa saja yang penting.
Syukur
kalau anggota DPR, atau menteri, suka datang, dan bersedia ikut belajar
bersama. Kehadiran mereka bakal menjadi cambuk bagi seluruh bangsa. Ini tidak
sulit. Ketua perpustakaan harus gigih mendatangi para tokoh, agar mereka sudi
membuang waktu ke perpustakaan. Syukur presiden, dan wakil presiden juga
bersedia datang, sesekali dalam setahun. Gubernur wajib datang minimal sebulan
sekali.
Dialah
tuan rumah bagi perpustakaan daerah. Orang-orang besar di perpustakaan bakal
menyemarakkan apa yang kita sebut pendidikan bangsa, dan memajukan kehidupan
bangsa. Pak Gubernur, Pak Basuki Tjahaja Purnama, bisa menjadi cahaya
perpustakaan. Gusti Kanjeng Nabi Muhammad SAW punya mukjizat sebuah buku, kitab
suci, dan bukan pedang. Ini tanda kita diminta maju lewat buku.
Kita bisa
menjadikan buku mukjizat kecil bagi pemimpin bangsa. Orang-orang besar datang
ke perpustakaan, dan tinggal beberapa saat di sana, niscaya mampu merangsang,
agar kita bisa menjadi bangsa besar. []
KORAN
SINDO, 08 Desember 2014
Mohamad Sobary ; Anggota
Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan
Promosi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar