Century dan Memori Publik
Oleh: Bambang Soesatyo
Lima tahun sudah mega skandal Bank Century mewarnai jagat isu
negara ini. Luar biasa, karena publik bukan hanya tidak bosan, melainkan masih
penasaran.
Untuk menunjukkan ketajaman pisau hukum di negara hukum ini,
publik akan terus mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuntaskan
proses hukum kasus ini tanpa pandang bulu atau status. Dalam nada penuh tanya,
publik sering mendiskusikan mengenai seperti apa ujung dari proses hukum kasus
Bank Century?
Berakhir pada vonis pengadilan Tipikor Jakarta terhadap mantan
deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Budi Mulya? Atau, proses hukum akan
berlanjut pada sejumlah nama yang selama ini diyakini tidak bisa dipisahkan
dari aspek penyalahgunaan wewenang pada jabatannya masing-masing?
Pertanyaan seperti ini wajar saja karena operasi penyelamatan dan
penyalahgunaan dana bailout melibatkan wewenang penguasa politik dan wewenang
penguasa sektor moneter. Menurut asumsi banyak orang yang awam hukum pidana
maupun awam hukum tata negara, sangat tidak mudah menjerat figur-figur seperti
itu, walaupun mereka kini berstatus mantan penguasa.
Namun, tanpa bermaksud memaksakan kehendak, publik berharap proses
hukum kasus Bank Century tidak berakhir di area abu-abu alias tanpa kejelasan
sama sekali, seperti halnya nasib beberapa kasus besar yang pernah terjadi di
negara ini. Sebutlah dari kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) hingga
kasus kartel daging sapi yang konon melibatkan seorang perempuan berjuluk Bunda
Putri itu.
Mengacu pada harapan publik itu, semoga KPK tidak kompromistis
dalam melanjutkan proses hukum kasus Bank Century. Bagaimanapun, publik akan
menjadikan kasus ini sebagai alat untuk menguji ketajaman pisau hukum di negara
hukum ini. Jika proses hukum kasus Bank Century terhenti pada terdakwa Budi
Mulya, publik akan menilai semua institusi penegak hukum tidak kredibel.
Dan, karena itu, jangan pernah lagi mengklaim Indonesia sebagai
negara hukum. Sejak pekan pertama November 2014, sejumlah kalangan mengungkit
kembali kenangan mereka akan gerakan politik sejumlah anggota DPR menggagas Hak
Angket kasus Century pada 12 November 2009. Dimotori Tim Sembilan, usul Hak
Angket Century yang awalnya ditandatangani 139 anggota DPR periode 2009-2014
dari delapan fraksi itu diserahkan ke pimpinan DPR RI dan disetujui.
Penggunaan Hak Angket DPR itu membuahkan kesepakatan tentang
urgensi penyelidikan oleh DPR. Maka, terbentuklah Panitia Khusus (Pansus) DPR
untuk kasus bailout Bank Century. Kenangan itu rupanya berkait dengan rencana
peluncuran buku baru berjudul Tim Sembilan, Membongkar Skandal Century karya
Monang Sinaga.
Tak pelak, rencana peluncuran buku ini mendorong publik untuk
mempertanyakan kelanjutan proses hukum mega skandal ini. Menariknya, di
sela-sela kenangan dan perbincangan mengenai buku itu, beredar pula isu baru
yang cukup menghentak banyak kalangan sepanjang Kamis (4/12) malam hingga
keesokan harinya. Isunya, KPK telah menetapkan mantan Wakil Presiden Boediono
sebagai tersangka kasus Bank Century.
Isu ini pun buru-buru dibantah KPK. KPK menegaskan bahwa belum ada
ekspose tentang status Boediono. Kelanjutan penyidikan kasus ini harus menunggu
keputusan tetap (inkracht) dari banding yang diajukan terdakwa Budi Mulya.
Dengan begitu, sejauh ini belum ada penambahan jumlah tersangka dalam kasus
Century ini. Status Boediono pun masih sebagai saksi.
Tidak ada yang tahu apakah isu itu direkayasa untuk memberi warna
khusus pada kenangan akan sepak terjang Tim Sembilan, atau hanya kebetulan
belaka. Namun, dari mana pun isu itu bersumber, dia menjadi bukti tentang kuatnya
memori publik pada proses hukum kasus Bank Century.
Melalui isu seperti itu, pesannya sangat jelas bahwa publik ingin
mempertanyakan kelanjutan proses hukum kasus Bank Century. KPK sudah
menjawabnya, dan publik pun menghargai serta percaya pada jawaban itu. Namun,
perlu dicamkan oleh KPK bahwa pada waktunya nanti, pertanyaan itu akan
disuarakan lagi.
Terus Mengawal
Sudah terbukti bahwa skandal Bank Century adalah kasus hukum yang
akan terus menyedot perhatian publik. Karena itu, status hukum Boediono pun
akan terus menjadi pergunjingan. Wajar jika publik yang awam beranggapan bahwa
kelanjutan proses hukum kasus Bank Century terkesan lamban, khususnya
pascapenetapan vonis terdakwa Budi Mulya.
Maka itu, rumor dengan topik “Boediono berstatus tersangka” yang
berseliweran baru-baru ini hendaknya dipahami sebagai aspirasi publik kepada
KPK untuk segera menuntaskan proses hukum skandal Century. Tanpa terasa, kasus
hukum ini telah berproses selama lima tahun, dan rentang waktu sepanjang itu
terasa sangat lama. Bukti-bukti sudah lebih dari cukup.
Pisau hukum mestinya tidak boleh tumpul di hadapan bukti-bukti
itu. Memang, banyak kalangan prihatin mengingat Boediono berstatus mantan wakil
presiden yang patut dihormati. Maka agar status hukum Boediono tidak terus
terombang-ambing seperti sekarang, percepatan proses hukum, termasuk banding
yang diajukan Budi Mulya, menjadi sangat beralasan.
Seperti diketahui, setelah Majelis Hakim Tipikor Jakarta
menjatuhkan vonis untuk terdakwa Budi Mulya, kelanjutan proses hukum untuk
menuntaskan mega skandal Bank Century menjadi sebuah konsekuensi logis, sesuai
bunyi dakwaan Jaksa penuntut dari KPK. Menurut Jaksa Penuntut KPK, Budi Mulya
terbukti melakukan korupsi terkait FPJP dan penetapan Bank Century sebagai bank
gagal berdampak sistemik.
Budi dinilai melanggar Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 UU Tindak
Pidana Korupsi No 20/ 2001 jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo Pasal 64 ayat 1 KUHP
sebagaimana dakwaan primer. Penuntut KPK juga menegaskan, “Terdakwa selaku
deputi gubernur BI menyalahgunakan wewenang dalam jabatannya secara
bersama-sama dengan Boediono selaku gubernur BI, Miranda S Goeltom selaku
deputi senior BI, Siti Fadjriah selaku deputi gubernur bidang 6, Budi Rochadi,
almarhum selaku deputi gubernur bidang 7, Robert Tantular, dan Harmanus H
Muslim.”
Dari argumentasi itu, mudah untuk ditarik kesimpulan bahwa masih
ada beberapa nama yang juga perlu menjalani proses hukum untuk kejelasan prinsip
siapa bertanggung jawab atas apa yang menjadi kewenangannya dalam kasus ini.
Harap diingat, Budi Mulya itu hanya seorang deputi gubernur BI.
Dia mengambil keputusan berdasarkan masukan dari deputi gubernur
BI lainnya, dan tentu saja berdasarkan restu Gubernur BI saat itu. Bukankah
berlaku ketentuan Kolektif Kolegial dalam mekanisme pengambilan keputusan pada
forum Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI? Tim Sembilan memang telah bubar dengan
sendirinya.
Namun, tidak berarti pengawalan terhadap proses hukum kasus ini
terhenti. Secara moral, semua anggota Tim Sembilan bersama publik tentunya akan
terpanggil untuk terus mengawal dan juga mengkritisi. Bahkan, kalau perlu,
setiap anggota Tim Sembilan akan berkreasi melalui tindakan dan pernyataan
untuk terus menyegarkan memori publik pada kasus ini.
Tidak ada tujuan lain kecuali mendorong institusi penegak hukum
untuk secara berkesinambungan mempertajam pisau hukum di hadapan segenap warga
negara, tanpa pengecualian. Proses hukum Kasus Century yang masih berjalan saat
ini jelas-jelas belum memuaskan dahaga publik akan keadilan. Proses hukumnya
harus berakhir dengan tuntas, jelas dan berkepastian. []
KORAN SINDO, 12 Desember 2014
Bambang Soesatyo ; Sekretaris
Fraksi Partai Golkar DPR RI; Anggota Tim-9; Inisiator Kasus Bank Century
Tidak ada komentar:
Posting Komentar