Senin, 08 Desember 2014

Yudi Latif: Demokrasi yang Berkebudayaan



Demokrasi yang Berkebudayaan
Oleh: Yudi Latif

SEPANJANG akhir November hingga Desember ini, sebuah perhelatan akbar bertajuk Mufakat Budaya akan dilangsungkan di beberapa kota di Tanah Air. Salah satunya di Jakarta, pada 28-30 November, yang akan dihadiri ratusan budayawan, intelektual, dan aktivis budaya ternama dari berbagai penjuru negeri.

Salah satu faktor yang mendorong peristiwa budaya ini ialah keprihatinan yang mendalam atas centang perenang yang memaguti jagat politik kita. 

Perkembangan demokrasi Indonesia ibarat berlari di atas landasan yang goyah. Perubahan demi perubahan terus terjadi di atas patahan-patahan lempengan konstitusional yang belum mencapai titik keseimbangan. Politik sebagai teknik mengalami kemajuan, tetapi politik sebagai etik dan estetik mengalami kemunduran. Perkembangan demokrasi sebagai prosedur mengalami perubahan cepat dan masif, tapi demokrasi sebagai substansi seakan jalan di tempat.

Situasi seperti itu

Politik sebagai dimensi manusia secara keseluruhan memerlukan tautan harmonis antara individu dan masyarakat (mikrokosmos dan makrokosmos). Untuk pertautan itu, jembatan penghubungnya ialah logika, etika, dan estetika. Logika, etika, dan estetika membantu manusia untuk menentukan pilihan yang tepat dalam perkembangan abadi menuju kebaikan, kebenaran, keadilan, dan keindahan dalam kehidupan bersama. Politik yang baik dengan sendirinya harus merupakan politik yang berkebudayaan.

Setelah 15 tahun gerakan reformasi digulirkan, pelbagai langkah untuk mendemokratisasikan institusi dan prosedurprosedur politik Indonesia telah dilakukan dengan sejumlah transformasi yang nyata: pemerintahan terpilih, pemilu yang relatif bebas dan berkala (meski di sana sini masih ada masalah menyangkut asas fairness), kebebasan berkumpul dan berekspresi, keluasan akses informasi, desentralisasi dan otonominasi, pemilihan presiden dan pilkada secara lebih kompetitif.

Selain itu, Orde Reformasi berhasil menghadirkan sejumlah institusi baru yang relatif sukses menjadi tumpuan kepercayaan publik pada institusi-institusi negara, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi. Meski misi besar reformasi untuk memberantas korupsi masih jauh dari tuntas, kehadiran institusi ini masih mendapat dukungan publik. Dengan segala perkembangan awal yang menjanjikan itu, bisa dipahami jika banyak kalangan yang menilai perkembangan demokrasi di Indonesia sudah berada di jalan yang benar.

Meskipun terdapat sejumlah capaian positif, kita harus tetap waspada bahwa semua perkembangan ini hanyalah tahap awal dari proses panjang menuju konsolidasi demokrasi dan kemajuan bangsa. Tahap konsolidasi menghendaki perhatian pada segi-segi substantif. Di benak kebanyakan rakyat yang telah lama mengalami penindasan, ketidakadilan, dan kemiskinan, demokrasi melambangkan lebih dari sekadar penghapusan institusi-institusi politik yang represif dan penggantian pemimpin-pemimpin otoriter. Demokrasi menjanjikan kesempatan dan sumber daya bagi perbaikan kualitas hidup serta bagi kehidupan sosial yang lebih adil dan manusiawi. Oleh karena itu, konsolidasi demokratisasi harus menjamin terwujudnya esensi demokrasi, yakni pemberdayaan rakyat (popular empowerment) dan pertanggungjawaban sistemis (systemic responsiveness).

Usaha mewujudkan substansi demokrasi pada kenyataannya terkendala oleh hambatan-hambatan kultural, institusional, dan struktural. Pada tingkat kultural, selama era reformasi, politik sebagai teknik mengalami kemajuan, tetapi politik sebagai etik mengalami kemunduran. Perangkat keras--prosedur demokrasinya terlihat relatif lebih demokratis, tetapi perangkat lunak—budaya demokrasinya masih tetap nepotis-feodalistis; pemerintahan demokratis tidak diikuti meritokrasi (pemerintahan orang-orang berprestasi).

Pada tingkat institusional, desain institusi demokrasi terlalu menekankan kekuatan alokatif (sumber dana) ketimbang kekuatan otoritatif (kapasitas manusia); politik padat modal membuat biaya kekuasaan tinggi, mengakibatkan high cost economy; merebakkan korupsi; demokrasi yang ingin memperkuat daulat rakyat justru memperkuat segelintir orang; demokrasi yang ingin memperkuat cita-cita republikanisme dan civic nationalism justru menyuburkan tribalisme dan provinsialisme (putra daerahisme). Demokrasi, yang mestinya mengembangkan partisipasi, kepuasan, dan daulat rakyat, justru mengembangkan ketidaksertaan (disengagement), kekecewaan, dan ketidakberdayaan rakyat.

Pada tingkat struktural, kecenderungan untuk mengadopsi model-model demokrasi liberal tanpa menyesuaikannya secara saksama dengan kondisi sosial-ekonomi masyarakat Indonesia justru dapat melemahkan demokrasi. Dalam pembangunan demokrasi terdapat postulat, seperti diingatkan Seymour Martin Lipset, bahwa semakin setara dan sejahtera sebuah bangsa, semakin besar peluangnya untuk menopang demokrasi. Sebaliknya, ketidaksetaraan sosial yang ekstrem dapat mempertahankan oligarki atau tirani. Sementara itu, demokrasi menghendaki derajat kesetaraan dan kesejahteraan, pilihan desain demokrasi kita justru sering kali memperlebar ketidaksetaraan dan ketidakadilan.

Berbeda dengan masyarakat Amerika Serikat yang pada awal pertumbuhan demokrasinya ditandai derajat kesetaraan dalam ekonomi, pendidikan, dan dalam kemampuan mempertahankan diri (pemilikan senjata), prasyarat kesetaraan seperti itu belum hadir di negeri ini. Sebagai masyarakat pascakolonial yang terus terperangkap dalam dualisme ekonomi, ketimpangan sosial mewarnai negeri ini. Segelintir orang yang menguasai sektor modern menguasai perekonomian, membiarkan sebagian besar rakyat di sektor tradisional terus termarginalkan. Hal itu berimbas pada kesenjangan di bidang pendidikan--sekitar 70% warga masih berlatar pendidikan dasar. Bertahannya hierarki tradisional feodalisme juga melanggengkan ketidaksetaraan dalam otoritas legal dan kontrol warga atas pemerintah.

Dalam multidimensi ketidaksetaraan seperti itu, watak pemerintahan yang akan muncul, Indonesia belum bisa menjalankan demokrasi sejati, melainkan hanyalah oligarki dalam mantel demokrasi. Sementara demokrasi kita bercorak oligarkis, kebebasan sebagai paket demokratisasi tidak selalu mengarah pada ke setaraan, tetapi bisa juga memperlebar ketidaksetaraan.

Pertumbuhan ekonomi tidak diikuti pemerataan. Dalam memperkuat dominasi mereka, para pemodal bisa menginvasi prosedur demokrasi. Oligarki yang muncul hanyalah melayani kepentingan pemodal dan dirinya sendiri.

Singkat kata, 15 tahun Orde Reformasi, demokrasi Indonesia masih menyimpan banyak persoalan, yang jika tidak diatasi secara segera bisa menimbulkan keraguan umum mengenai kebaikan demokrasi.Meski rakyat bisa saja punya andil dalam menciptakan problem demokrasi ini, masalah utamanya tidaklah pada `sisi permintaan' (demand-side) seperti sering didalihkan politisi: rendahnya tingkat pendidikan rakyat, pragmatisme pemilih, serta kurangnya kesadaran politik. Sebaliknya, itu terletak pada kelemahan `sisi penawaran' (supply-side), dari ketidakmampuan aktor-aktor politik untuk membangkitkan kepercayaan rakyat.

Solusi kelemahan

Ketidakpercayaan rakyat pada politik timbul manakala partai dan para pemimpin politik tak mampu menjawab masalah-masalah kolektif.Masalah-masalah kolektif itu justru timbul ketika institusiinstitusi yang semula didesain untuk memperjuangkan kepentingan-kepentingan kolektif terdistorsikan oleh kepentingan memperjuangkan motif-motif perseorangan. Bahkan partai politik yang dasar mengadanya diorientasikan sebagai interface untuk menyatukan aspirasiaspirasi individual menjadi aspirasi kolektif dalam mempengaruhi kebijakan negara, sebagian besar justru dikuasai orang per orang (pemodal besar atau dinasti). Akibatnya tidak ada sandaran untuk memperjuangkan kepentingan kolektif.

Perundang-undangan yang mestinya merupakan `kontrak sosial' dengan warga negara terdistorsikan oleh kepentingan sempit-sesaat elite politik. Perubahan politik harus dimulai dari usaha memulihkan rasa saling percaya dan kepercayaan bahwa rasionalitas kepentingan individual tak akan dibayar irasionalitas kepentingan kolektif. Kepercayaan bahwa warga negara akan mendapatkan politik sesuai dengan perilakunya harus diubah dengan kepercayaan bahwa politik tepercaya akan mendapatkan partisipasi politik yang sepadan degannya. Sekali aktor politik menunjukkan sinyal bisa dipercaya, partisipasi dan kepercayaan rakyat pada politik akan menguat.

Pemulihan rasa saling percaya dan kerja sama itu diarahkan untuk mendorong lahirnya semangat restorasi dan transformasi politik demokratik ke arah yang lebih baik. Visi restoratif politik demokratik menekankan pentingnya menjangkarkan pembangunan politik dan demokrasi pada basis nilai bangsa, terutama nilai-nilai Pancasila. Desain institusi politik dan demokrasi harus dapat mengurasi `the cost of power' yang dapat mendorong korupsi politik. Politik dikembalikan kepada khitahnya sebagai seni untuk mencapai kebaikan dan kebahagiaan hidup bersama.

Solusi atas kelemahan demokrasi tidak ditempuh dengan jalan menguranginya, tetapi justru dengan jalan menambahnya agar lebih demokratis. Karena itu, perlu ada pendalaman dan perluasan demokrasi. Pendalaman demokrasi diarahkan untuk menyempurnakan institusi-institusi demokrasi agar lebih sesuai dengan tuntutan kepatutan etis, lebih responsif terhadap aspirasi dan kepentingan rakyat; mengurangi sifat narsisisme politik yang hanya melayani segelintir elit politik. Sementara itu, perluasan demokrasi diarahkan agar institusi demokrasi dan kebijakan politik punya dampak terhadap peningkatan kesejahteraan rakyat.

Secara singkat dapat dikatakan, ada dua tantangan besar dalam usaha untuk melakukan pendalaman dan perluasan demokrasi. Pertama, tantangan untuk mengembangkan demokrasi yang berkebudayaan. Kedua, tantangan untuk mengembangkan nilai-nilai budaya yang kondusif bagi pengembangan demokrasi.

Perhelatan `Mufakat Budaya' akan mendiskusikan bagaimana mengembalikan demokrasi pada landasan cita-cita kebudayaan bahwa demokrasi bukan sekadar alat teknis belaka, tetapi juga suatu ekspresi pikiran, perasaan, dan kepercayaan sesuai dengan kepribadian dan cita-cita kekeluargaankeadilan kebangsaan Indonesia; dengan cara mempertahankan nilai-nilai lama yang baik seraya mengembangkan nilai-nilai baru yang lebih baik. []

Yudi Latif  ;   Cendekiawan
MEDIA INDONESIA, 28 November 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar