Watak dan Tingkah Laku Politik
Oleh: Mohamad Sobary
Watak, sifat, dan tingkah laku itu merupakan tiga unsur penting di
dalam kepribadian manusia. Ketiganya tidak sama persis. Tapi masing-masing
memiliki hubungan erat satu sama lain.
Boleh jadi tiap unsur tadi saling memperkuat. Dengan begitu,
ketiganya tak mungkin merupakan suatu jalinan makna yang kuat. Watak merupakan
ciri utama kepribadian yang di dalamnya mengandung unsur sifat. Sebaliknya,
sifat, membentuk apa yang disebut watak tadi. Sifat relatif mudah berubah oleh
pengaruh-pengaruh yang datang dari luar. Tetapi watak tidak.
Watak lebih solid, lebih keras, lebih menggumpal di dalam
kepribadian manusia sehingga sesuatu yang sudah merupakan watak, sangat sukar
berubah. Tak mengherankan orang Jawa memiliki lelucon getir: watuk, yaitu
batuk, bisa berubah, bisa disembuhkan. Tapi watak tidak. Ini ungkapan untuk
menyindir seseorang, yang tingkah lakunya buruk, dan menyimpang dari adat.
Dalam kearifan Melayu, orang seperti itu dicap tidak tahu adat.
Bisa juga disebut tidak beradat. Bahkan, dalam tingkat yang lebih tinggi, lebih
serius, dia disebut tidak beradab. Alias biadab. Apa lagi yang lebih buruk dari
sebutan ini? Kurang lebih, ini gambaran tentang watak, maksudnya watak buruk,
yang tak beradab atau biadab, yang sama sekali tak bisa disembuhkan oleh ahli
psikologi terkemuka atau psikiater yang paling hebat sekalipun.
Mungkin ada dukun, saya tidak tahu, yang memiliki tuah sangat
besar, yang bisa menolongnya, dan mengurangi sedikit keburukannya. Tapi dukun
pun dugaan saya tak berdaya mengubahnya secara total.
Bahkan andaikata dukun dan ahli-ahli rohani terkemuka yang
memiliki tuah besar itu bergabung menjadi satu, dan meruwat orang dengan jenis
watak seperti itu, mungkin mereka pun akan gagal mengubahnya. Ringkasnya,
ruwatan itu mungkin akan menjumpai kegagalan karena telah terlalu buruknya
watak itu. Watak buruk membuat sebutan-sebutan buruk telah menempel pada
kepribadiannya.
Apa yang aneh bila watak buruk itu diberi sebutan buruk? Mereka,
dalam adat, yang memberi sebutan itu hanya menyebut barang yang sudah ada. Dan
mereka tidak mengada-ada. Begitu pula mereka yang melakukan ruwatan tadi.
Mereka hanya prihatin melihat kondisi kejiwaan seseorang, lalu bertindak. Boleh
jadi tindakan mereka itu sebuah sinisme, sikap satire, atau ejekan yang sangat
menikam.
Boleh jadi mereka tak bermaksud menyembuhkannya, dan sama sekali
tak terpanggil untuk melakukannya. Kalau mereka tak terganggu oleh fenomena
kepribadian macam itu, bisa dipastikan mereka tak bakal berbuat apapun. Mereka
tak berniat mengejek, mengusik, atau menyindir orang lain bila di sekitarnya
tak ada orang yang menampilkan diri seperti itu. Atau tak ada jenis tingkah
laku seperti itu. Tingkah laku itu begitu meresahkan orang lain di sekitarnya.
Apa makna ketokohan seseorang, yang di masa lalu begitu gigih
menampilkan diri agar dikenal sebagai pemimpin umat, tapi kini tampil jenis
tingkah laku lain, yang disebut dengan segenap keburukan tadi? Kita tidak tahu
apa maknanya dulu itu. Dulu kita menyebutnya sebuah kesungguhan dalam sikap
yang disebut “fastabikul khairat“, berlomba dalam kebaikan, bersaing dengan Gus
Dur dan Cak Nur, dua tokoh besar dalam kepemimpinan umat.
Dulu dia juga ingin ikut besar. Tapi sekarang kedoknya terbuka,
bahwa ternyata dia tak ingin hidup dalam kepemimpinan umat yang sepi itu.
Tingkah laku politiknya tampak begitu partisan. Orientasi nilai utamanya
ternyata agak murahan: hanya kedudukan duniawi yang fana ini. Kepemimpinan umat
itu tak punya apa-apa. Di sana tak ada mobil dinas.
Tak ada fasilitas megah. Tak ada hura-hura politik yang memberinya
kesan glamor. Dulu pernah menikmati posisi penting di Jakarta, dan kenikmatan
itu dirasanya terlalu cepat berlalu. Sekarang dia haus akan kekuasaan seperti
itu. Dulu dia mengejek Pak Harto, sekarang ejekan itu kembali kepadanya. Dari
sumbersumber gosip politik yang begitu kuat beredar di masa itu, Pak Harto
sendiri dengan feeling-nya yang tajam, tak menaruh percaya sedikit pun padanya.
Pak Harto kabarnya menyebut namanya saja tak mau. Kecuali itu,
beredar pula gosip serius, yang tak begitu mudah diselidiki kebenarannya, bahwa
kabarnya, dalam tiap salat jamaah, sesudah imam selesai membaca surat “Al
Fatihah“, jamaah menjawab serentak; aamin ... Tapi Pak Harto menyambut dengan
ucapan lain: ya, ya, ya, semata untuk menghindarkan diri dari keharusan
menyebut “aamiin“ tadi.
Intinya, Pak Harto pun tak suka padanya. Tapi nama Cak Nur, di
mata beliau, harum. Cak Nur tak pernah dicurigai sebagai musuh. Dan Gus Dur?
Tergantung. Bagi Pak Harto, aroma politik Gus Dur kadang harum sekali. Tapi tak
jarang Gus Dur dianggap sebagai ancaman serius yang membuat beliau merasa tak
berbahagia.
Akhirnya, tingkah laku para tokoh politik di dalam konteks
kepemimpinan umat telah membuka mata kita siapa yang sungguh-sungguh tulus
berusaha mengabdikan diri untuk memimpin umat, siapa yang palsu, basa-basi dan
mencla-mencle. Dua tokoh dari Jombang, Cak Nur dan Gus Dur, telah pergi, dengan
nama harum di mata umat, dan bangsa Indonesia.
Gus Dur bahkan pergi dengan mengukuhkan derajat kewaliannya.
Pendek kata, kedua tokoh itu dikukuhkan posisinya sebagai pemimpin umat dan
guru bangsa hingga akhir hayat mereka. Sementara yang satu lagi, yang sejak dulu
hanya cemburu pada keduanya, menjadi jelas pula: dia sedang mengejar posisi
keduniaan, dan gagal. Setiap langkah laku politiknya salah.
Setiap ucapannya keliru. Wataknya dengan jelas membimbing tingkah
laku politiknya menuju pada apa yang serbasalah itu. Dan orang pun meruwatnya,
dengan sinisme, dengan satire, dan ejekan. Ini sebuah tragedi mengenaskan.
Teman-teman bisa membantu. Saya sendiri siap melakukannya. Tapi
adakah pada dirinya, niat mengubah watak, dan tingkah laku politiknya? Hanya
dia sendiri yang bisa memutuskannya. []
KORAN SINDO, 15 Desember 2014
Mohamad Sobary ; Esais,
Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi,
dan Promosi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar