KHUTBAH JUMAT BULAN SHAFAR
Pilihan Terbaik dalam Mengisi Kemerdekaan RI
Khutbah I
الحَمْدُ
للهِ الّذِي لَهُ مَا فِي السمَاوَاتِ وَمَا فِي اْلأَرْضِ وَلَهُ الحَمْدُ فِي الآخرَة
الْحَكِيمُ الْخَبِيرُ يَعْلَمُ مَا يَلِجُ فِي الْأَرْضِ وَمَا يَخْرُجُ مِنْهَا وَمَا
يَنزِلُ مِنَ السَّمَاءِ وَمَا يَعْرُجُ فِيهَا وهو الرّحِيم الغَفُوْر
أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ ، وَأَشْهَدُ أَنَّ
سَيِّدنا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى بِقَوْلِهِ وَفِعْلِهِ إِلَى
الرَّشَادِ
اَللَّهُمَّ فَصَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَاِبهِ
الهَادِيْنَ لِلصَّوَابِ وَعَلَى التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ اْلمَآبِ
اَمَّا بَعْدُ، فَيَااَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، اِتَّقُوْااللهَ حَقَّ تُقَاتِه وَلاَتَمُوْتُنَّ
اِلاَّوَأَنـْتُمْ مُسْلِمُوْنَ فَقَدْ قَالَ اللهُ تَعَالىَ فِي كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ:
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ
إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ
Jamaah Shalat Jumat Rahimakumullah
Di kesempatan yang sangat istimewa ini saya mengingatkan diri sendiri dan
jamaah yang hadir untuk berupaya meningkatkan takwallah. Caranya dengan
menjalankan perintah dan menjauhi yang dilarang. Diharapkan takwa tersebut
semakin hari kian kokoh sebagai bekal kita selama di dunia, juga tentu saja
berharap kebahagiaan kelak di alam akhirat, amin ya rabbal alamin.
Hadirin yang Berbahagia
Suatu ketika, khalifah kedua, Sayyidina Umar
bin Khattab Radliyallahu 'Anh pernah melontarkan kalimat berikut ini:
مَتَى
اسْتَعْبَدْتُم النَّـــــــــاسَ وَقَدْ وَلَدَتْهُمْ أُمَّهَاتُهُمْ أَحْرَارًا؟
Artinya: Sejak kapan kalian memperbudak manusia, sedangkan ibu-ibu mereka
melahirkan mereka sebagai orang-orang merdeka. (Kitab Al-Wilâyah ‘alal
Buldân fî ‘Ashril Khulafâ’ ar-Râsyidîn)
Sayyidina Umar memang menyampaikannya dengan nada bertanya, namun sesungguhnya
sedang mengorek kesadaran kita tentang hakikat manusia. Menurutnya, manusia
secara fitrah adalah merdeka. Bayi yang lahir ke dunia tak hanya dalam keadaan
suci, tapi juga bebas dari segala bentuk ketertindasan.
Sebagai konsekuensinya, penjajahan sesungguhnya adalah proses pengingkaran akan
sifat hakiki manusia. Karena itu Islam mengizinkan membela diri ketika
kezaliman menimpa diri. Bahkan, pada level penjajahan yang mengancam jiwa, umat
Islam secara syar'i diperbolehkan mengobarkan perang. Perang dalam konteks ini
adalah untuk kepentingan mempertahankan diri atau defensif, bukan perang dengan
motif asal menyerang yakni ofensif.
Hal ini pula yang dilakukan para ulama, santri, dan umat Islam bangsa ini
ketika menghadapi penjajahan Belanda dan Jepang pada masa lalu. Perjuangan
mereka lakukan bersama berbagai elemen bangsa lain yang tidak hanya beda suku
dan daerah, tapi juga agama dan kepercayaan. Sebab, kemerdekaan memang menjadi
persoalan manusia secara keseluruhan, bukan cuma golongan tertentu. Islam
mengakuinya sebagai nilai yang universal.
Jamaah Shalat Jumat Rahimakumullah
Tanah air menjadi elemen penting dalam perjuangan tersebut. Tanah air tidak
ubahnya rumah yang dihuni jutaan bahkan ratusan juta manusia. Islam mengakui
hak atas keamanan tempat tinggal dan memperbolehkan melakukan pembelaan bila
terjadi ancaman yang membahayakannya.
Al-Qur’an bahkan secara tersirat menyejajarkan posisi agama dan tanah air dalam
surat Al-Mumtahanan ayat 8 sebagai berikut:
لَا
يَنْهَاكُمُ اللهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ
مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ ۚ إِنَّ اللهَ يُحِبُّ
الْمُقْسِطِينَ
Artinya: Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap
orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu
dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku
adil. (Al-Mumtahanah: 8)
Seorang pakar ilmu tafsir, KH Quraish Shihab menjelaskan bahwa ayat tersebut
memberi pesan bahwa Islam menyejajarkan antara agama dan tanah air. Oleh
Al-Qur’an, keduanya dijadikan alasan untuk tetap berbuat baik dan berlaku adil.
Al-Qur’an memberi jaminan kebebasan beragama sekaligus jaminan bertempat
tinggal secara merdeka. Tidak heran bila sejumlah ulama memunculkan
jargon hubbul wathan minal iman yakni cinta tanah air sebagian dari
iman.
Jamaah Shalat Jumat yang Mulia
Dengan demikian, cara pertama yang bisa dilakukan untuk mengisi kemerdekaan ini
adalah mensyukuri secara sungguh-sungguh dan sepenuh hati atas anugerah
keamanan atas agama dan negara kita dari belenggu penjajahan yang
menyengsarakan. Sebab, nikmat agung setelah iman adalah aman atau a’dhamun
ni‘ami ba‘dal îmân billâh ni‘matul aman.
Lalu, bagaimana cara kita mensyukuri kemerdekaan ini?
Pertama, mengisi kemerdekaan dengan meningkatkan ketakwaan kepada Allah.
Menjalankan syariat secara tenang adalah anugerah yang besar di tengah sebagian
saudara-saudara kita di belahan dunia lain berjuang mencari kedamaian. Umat
Islam Indonesia harus mensyukurinya dengan senantiasa mendekatkan diri kepada
Sang Khaliq dan berbuat baik kepada sesama. Perlombaan yang paling bagus adalah
perlombaan menuju pribadi paling takwa karena di situlah kemuliaan dapat
diraih.
يَا
أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا
وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ
اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Artinya: Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki
dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di
antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS Al-Hujurat: 13)
Yang kedua, mencintai negeri ini dengan memperhatikan berbagai kemaslahatan dan
kemudaratan bagi eksistensinya. Segala upaya yang memberikan manfaat bagi
rakyat luas kita dukung, sementara yang merugikan masyarakat banyak kita tolak.
Dukungan terhadap kemaslahatan publik bisa dimulai dari diri sendiri yang
berpatisipasi terhadap proses kemajuan di masyarakat, andil bergotong royong,
atau patuh terhadap peraturan yang berlaku. Sebaliknya, mencegah mudarat
berarti menjauhkan bangsa ini dari berbagai marabahaya, seperti bencana,
korupsi, kriminalitas, dan lain sebagainya.
Inilah pengejawantahan dari sikap amar ma’ruf nahi munkar dalam pengertian yang
luas. Ajakan kebaikan dan pengingkaran terhadap kemungkaran dipraktikkan dalam
konteks pembangunan masyarakat. Tujuannya, menciptakan kehidupan yang lebih
harmonis, adil, dan sejahtera. Termasuk dalam praktik ini adalah mengapresiasi
pemerintah bila kebijakan yang dijalankan berguna dan mengkritiknya tanpa segan
ketika kebijakan pemerintah melenceng dari kemaslahatan bersama.
Hadirin yang Mulia
Al-Imam Hujjatul Islam Abu Hamid al-Ghazali dalam Ihyâ’ ‘Ulûmid Dîn mengatakan
sebagai berikut:
المُلْكُ
وَالدِّيْنُ تَوْأَمَانِ فَالدِّيْنُ أَصْلٌ وَالسُّلْطَانُ حَارِسٌ وَمَا لَا أَصْلَ
لَهُ فَمَهْدُوْمٌ وَمَا لَا حَارِسَ لَهُ فَضَائِعٌ
Artinya: Kekuasaan (negara) dan agama merupakan dua saudara kembar. Agama
adalah landasan, sedangkan kekuasaan adalah pemelihara. Sesuatu tanpa landasan
akan roboh. Sedangkan sesuatu tanpa pemelihara akan lenyap.
Al-Ghazali dalam pernyataan itu seolah ingin menegaskan bahwa ada hubungan
simbiosis yang tak terpisahkan antara agama dan negara. Alih-alih bertentangan,
keduanya justru hadir dalam keadaan saling menopang. Negara membutuhkan
nilai-nilai dasar yang terkandung dalam agama, sementara agama memerlukan
“rumah” yang mampu merawat keberlangsungannya secara aman dan damai.
Indonesia adalah sebuah nikmat yang sangat penting. Kita bersyukur dasar negara
kita senafas dengan substansi ajaran Islam. Kemerdekaan memang belum diraih
secara tuntas dalam segala bidang. Namun, itulah tugas kita sebagai warga
negara yang baik untuk tak hanya mengeluhkan keadaan tapi juga harus turut
serta memperbaikinya sebagai bagian dari ekspresi hubbul wathan. Semoga
Allah Subhânahu Wa Ta‘âlâ senantiasa menjaga negara dan agama kita
dari malapetaka hingga bisa kita wariskan ke generasi-generasi berkutnya, amin
ya rabbal alamin.
بَارَكَ
الله لِي وَلَكُمْ فِى اْلقُرْآنِ اْلعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِي وَإِيَّاكُمْ بِمَافِيْهِ
مِنْ آيَةِ وَذِكْرِ الْحَكِيْمِ وَتَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ
وَإِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ العَلِيْمُ، وَأَقُوْلُ قَوْلِي هَذَا فَأسْتَغْفِرُ اللهَ
العَظِيْمَ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْم
Khutbah II
اَلْحَمْدُ
للهِ عَلىَ إِحْسَانِهِ وَالشُّكْرُ لَهُ عَلىَ تَوْفِيْقِهِ وَاِمْتِنَانِهِ. وَأَشْهَدُ
أَنْ لاَ اِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أنَّ
سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى إلىَ رِضْوَانِهِ. اللهُمَّ
صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وِعَلَى اَلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا
كِثيْرًا
أَمَّا
بَعْدُ فَياَ اَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوااللهَ فِيْمَا أَمَرَ وَانْتَهُوْا عَمَّا
نَهَى وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَـنَى
بِمَلآ ئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ
وَقَالَ تَعاَلَى إِنَّ اللهَ وَمَلآئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِى يآ اَيُّهَا
الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا
اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلِّمْ وَعَلَى
آلِ سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَنْبِيآئِكَ وَرُسُلِكَ وَمَلآئِكَةِ اْلمُقَرَّبِيْنَ
وَارْضَ اللّهُمَّ عَنِ اْلخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ أَبِى بَكْرٍ وَعُمَر وَعُثْمَان
وَعَلِى وَعَنْ بَقِيَّةِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَتَابِعِي التَّابِعِيْنَ
لَهُمْ بِاِحْسَانٍ اِلَىيَوْمِ الدِّيْنِ وَارْضَ عَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا
أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ
اَللهُمَّ
اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءُ
مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ اللهُمَّ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ
الشِّرْكَ وَاْلمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ اْلمُوَحِّدِيَّةَ وَانْصُرْ مَنْ
نَصَرَ الدِّيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ اْلمُسْلِمِيْنَ وَ دَمِّرْ أَعْدَاءَ الدِّيْنِ
وَاعْلِ كَلِمَاتِكَ إِلَى يَوْمَ الدِّيْنِ. اللهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ
وَالزَّلاَزِلَ وَاْلمِحَنَ وَسُوْءَ اْلفِتْنَةِ وَاْلمِحَنَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا
بَطَنَ عَنْ بَلَدِنَا اِنْدُونِيْسِيَّا خآصَّةً وَسَائِرِ اْلبُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ
عآمَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ. رَبَّنَا آتِناَ فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى
اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا ظَلَمْنَا اَنْفُسَنَا وَاإنْ
لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ اْلخَاسِرِيْنَ
عِبَادَاللهِ ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُنَا بِاْلعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِي
اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْي يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ
تَذَكَّرُوْنَ وَاذْكُرُوا اللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ
يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرْ
Ustadz Mahbib Khairon
Tidak ada komentar:
Posting Komentar