Kamis, 06 Januari 2022

(Ngaji of the Day) Relevansi Kajian Ilmu Hadits dan Faedahnya

Ilmu hadits termasuk ilmu yang tidak banyak ditekuni orang, diminati pun tidak terlalu. Bahkan, sebagian orang ada yang beranggapan bahwa belajar ilmu hadis tidak memberi faedah secara konkret dan tidak begitu relevan untuk zaman sekarang. Bukankah kitab-kitab hadits sudah ratusan atau mungkin ribuan jumlahnya? Untuk menjawabnya, mari kita bahas secara runtut.

 

Perlu kita ketahui, ilmu hadits sebenarnya mempunyai tiga makna. Pertama, bermakna meriwayatkan hadits. Kedua, bermakna metode yang digunakan menelaah kesinambungan (ittishâl) hadits dari sisi sanad dan periwayatnya. Ketiga, bermakna memahami makna hadits sesuai kaidah bahasa Arab, ketentuan-ketentuan (dlawâbith) syariat, dan kepribadian Nabi saw. Hal ini disampaikan Sayyid Muhammad Al-Maliki (w. 1425 H) dalam al-Manhalul Lathif.

 

Pembagian Ilmu Hadits

 

Namun yang banyak dijumpai dalam kitab-kitab ilmu hadits, adalah klasifikasi ilmu hadis dibagi menjadi dua macam. Ilmu riwayâh, dan ilmu dirâyah, atau juga dikenal dengan ‘ilmu ushûlul hadîts dan ‘ilmu musthalah hadîts. Menurut Sayyid Muhammad, makna pertama dan ketiga termasuk ilmu riwâyah, makna kedua termasuk ilmu dirâyah.

 

ولكن المشهور في كتب هذا الفن هو تقسيم الحديث إلى دراية ورواية، كأنهم يجعلون القسم الأول شاملا للقسم الثالث

 

Artinya, "Akan tetapi yang masyhur dijumpai dalam kitab-kitab ilmu hadits ialah membaginya menjadi dua; dirâyah dan riwâyah. Sepertinya para ulama memasukkan makna ketiga ke dalam ilmu riwâyah." (Muhammad bin Alawi al-Maliki, al-Manhalul Lathif, [Beirut, Dârul Hâwi, 2019], halaman 41).

 

Imam Abu Syamah (wafat 665 H) memetakan ketiga makna seperti yang disebutkan Sayyid Muhammad di atas menjadi tiga tingkatan.

 

ﻓﺎﻋﻠﻢ ﺃﻥ ﻋﻠﻮﻡاﻟﺤﺪﻳﺚ اﻵﻥ ﻋﻠﻰ ﺛﻼﺙ ﺩﺭﺟﺎﺕ. اﻟﺪﺭﺟﺔ اﻷﻭﻟﻰ: ﺃﻋﻼﻫﺎ ﻭﺃﺷﺮﻓﻬﺎ ﻭﻫﻲ ﺣﻔﻆ ﻣﺘﻮﻧﻪ ﻭﻣﻌﺮﻓﺔ ﻏﺮﻳﺒﻬﺎ ﻭالتفقه ﻓﻴﻬﺎ ... اﻟﺪﺭﺟﺔ اﻟﺜﺎﻧﻴﺔ: ﺣﻔﻆ ﺃﺳﺎﻧﻴﺪﻫﺎ ﻭﻣﻌﺮﻓﺔ ﺭﺟﺎﻟﻬﺎ ﻭﺗﻤﻴﻴﺰ ﺻﺤﻴﺤﻬﺎ ﻣﻦ ﺳﻘﻴﻤﻬﺎ ... اﻟﺪﺭﺟﺔ اﻟﺜﺎﻟﺜﺔ: اﻻﺷﺘﻐﺎﻝ ﺑﺠﻤﻌﻪ ﻭﻛﺘﺎﺑﺘﻪ ﻭﺳﻤﺎﻋﻪ ﻭﺗﻄﺮﻳﻘﻪ ﻭﻃﻠﺐ اﻟﻌﻠﻮ ﻓﻴﻪ ﻭاﻟﺮﺣﻠﺔ ﻓﻲ ﺫﻟﻚ

 

Artinya, "Ketahuilah bahwa sekarang ilmu hadits terbagi menjadi tiga tingkatan. Tingkatan pertama, yaitu tingkatan tertinggi dan paling mulia, adalah menghafalkan matan hadits, mengetahui lafalnya yang asing, dan mendalami maknanya. Tingkatan kedua, menghafalkan sanad, mengetahui para periwayatnya, dan mengetahui mana hadits yang sahih dan mana yang cacat. Tingkatan ketiga, mengumpulkan hadist, menulisnya, mendengarkannya, mencari sanad yang tinggi, dan berkelana untuk itu semua". (Abdurrahman Abu Syamah, Syarhul Hadîtsil Muqtafâ fî Mab'atsin Nabiyyil Mushtafâ, [Maktabatul 'Umarainil 'Ilmiyyah, 1999], halaman 45-47).

 

Ilmu Riwâyah

 

Kita mulai dari ilmu riwâyah. Karena ilmu riwâyah mencakup dua hal, yaitu meriwayatkan hadits dan memahami maknanya, maka kita akan mendapatkan dua faedah. Pertama, dari meriwayatkan hadits, kita akan mendapatkan sanad dari guru kita hingga Rasulullah saw. Tidak asing lagi ucapan Imam Abdullah bin Mubarak (wafat 181 H):

 

لولا الإسناد لقال من شاء ما شاء

 

Artinya, "Andaikan tidak ada sanad, niscaya siapapun bisa berbicara (masalah agama) dengan apapun yang ia kehendaki."

 

Juga ucapan Imam Sufyan Ats-Tsauri (wafat 161 H):

 

الإسناد زين الحديث، فمن اعتنى به فهو السعيد

 

Artinya, "Sanad adalah penghias hadits, siapapun yang menekuninya, dialah orang yang beruntung." (Ibn Hajar Al-Haitami, Tsabatu Ibni Hajar al-Haitami, [Amman, Dârul Fath: 2013], halaman 221).

 

Kedua, dengan memahami makna hadis, kita bisa tahu apa maksud dari sebuah hadis, dan bagaimana cara mengamalkannya dengan tepat. Bahkan hal ini adalah tujuan utama dari belajar hadis. Tentu tujuan Rasulullah saw bersabda adalah agar diamalkan oleh umatnya. Bagaimana bisa mengamalkan hadis jika tidak tahu maknanya? Tidak heran Imam Abu Syamah menempatkan "memahami makna hadis" pada tingkat pertama.

 

Ilmu Dirâyah

 

Selanjutnya kita masuk pada pembahasan ilmu dirayah, apa faedahnya? Tentu mudah ditebak, bahwa faedah belajar musthalah hadits adalah untuk dapat membedakan mana hadits sahih, mana yang cacat.

 

وأما الثاني ففائدته معرفة درجات الأحاديث وتمييز الصحيح والحسن من السقيم والدخيل

 

"Kedua, yakni faedah belajar ilmu hadis, adalah mengetahui derajat-derajat hadis dan membedakan yang sahih dan hasan, dengan yang cacat dan asing." (Al-Maliki, al-Manhalul Lathif, halaman 40).

 

Tapi agaknya jawaban ini mudah dielak. Kembali ke pertanyaan awal, bukankah kitab-kitab hadits sudah sangat banyak?

 

Sebenarnya pernyataan seperti ini bukanlah hal baru. Imam Abu Syamah sendiri mengatakan hal senada dalam kitab al-Mab'ats ketika menjelaskan tingkatan kedua, yaitu menghafalkan sanad, mengetahui para periwayat hadits, dan mengetahui mana hadits yang sahih dan mana yang cacat. Seperti keterangan yang telah disebutkan sebelumnya, Abu Syamah mengklarifikasi ilmu hadits menjadi tiga tingkatan. Setelah menjelaskan tingkatan pertama dan mengatakannya sebagai tingkatan tertinggi dan paling mulia, beliau melanjutkan:

 

اﻟﺪﺭﺟﺔ اﻟﺜﺎﻧﻴﺔ: ﺣﻔﻆ ﺃﺳﺎﻧﻴﺪﻫﺎ ﻭﻣﻌﺮﻓﺔ ﺭﺟﺎﻟﻬﺎ ﻭﺗﻤﻴﻴﺰ ﺻﺤﻴﺤﻬﺎ ﻣﻦ ﺳﻘﻴﻤﻬﺎ، ﻭﻫﺬا ﻛﺎﻥ اﻷﻫﻢ ﻓﻲ اﻟﺰﻣﻦ اﻷﻭﻝ ﺣﻴﺚ ﻟﻢ ﺗﻜﻦ ﻛﺘﺐ ﻣﺴﻄﺮﺓ، ﻭﻻ ﺃﻣﻮﺭ ﻣﺤﺮﺭﺓ، ﻭﻗﺪ كُفِيَ اﻟﻤﺸﺘﻐﻞُ ﺑﺎﻟﻌﻠﻢ ﻫﺬا اﻟﺘﻌﺐَ ﺑﻤﺎ ﻗﺪ ﺻﻨﻒ ﻭﺃﻟﻒ ﻣﻦ اﻟﻜﺘﺐ

 

Artinya, "Tingkatan kedua, menghafalkan sanad, mengetahui para periwayatnya, dan mengetahui mana hadits yang sahih dan mana yang cacat. Hal ini menjadi aspek paling penting di masa awal, ketika belum ada kitab-kitab yang ditulis. Sekarang pelajar sudah tercukupi dengan adanya kitab-kitab yang ditulis dan disusun." (Abu Syamah, Syarhul Haditsil Muqtafa, halaman 46).

 

Tentu mengherankan mendengar kalimat seperti itu dari seorang ulama sekaliber Abu Syamah, mantan guru besar Dârul Hadîts al-Ayrafiyyah, Damaskus. Tak ayal pernyataan ini mendapat kritik dari al-Hâfidh Ibn Hajar (wafat 852 H).

 

ﺇﻥ ﻛﺎﻥاﻟﺘﺼﻨﻴﻒ ﻓﻲ اﻟﻔﻦ ﻳﻮﺟﺐ اﻻﺗﻜﺎﻝ ﻋﻠﻰ ﺫﻟﻚ ﻭﻋﺪﻡ اﻻﺷﺘﻐﺎﻝ ﺑﻪ، ﻓﺎﻟﻘﻮﻝ ﻛﺬﻟﻚ ﻓﻲ اﻟﻔﻦ اﻷﻭﻝ. ﻓﺈﻥ ﻓﻘﻪ اﻟﺤﺪﻳﺚ ﻭﻏﺮﻳﺒﻪ ﻻ ﻳﺤﺼﻰ ﻛﻢ ﺻﻨﻒ ﻓﻲ ﺫﻟﻚ، ﺑﻞ ﻟﻮ اﺩﻋﻰ ﻣﺪﻉ ﺃﻥ اﻟﺘﺼﺎﻧﻴﻒ اﻟﺘﻲ ﺟﻤﻌﺖ ﻓﻲ ﺫﻟﻚ ﺃﺟﻤﻊ ﻣﻦ اﻟﺘﺼﺎﻧﻴﻒ اﻟﺘﻲ ﺟﻤﻌﺖ ﻓﻲ ﺗﻤﻴﻴﺰ اﻟﺮﺟﺎﻝ ﻭﻛﺬا ﻓﻲ ﺗﻤﻴﻴﺰ اﻟﺼﺤﻴﺢ ﻣﻦ اﻟﺴﻘﻴﻢ ﻟﻤﺎ ﺃﺑﻌﺪ ﺑﻞ ﺫﻟﻚ ﻫﻮ اﻟﻮاﻗﻊ. ﻓﺈﻥ ﻛﺎﻥ اﻻﺷﺘﻐﺎﻝ ﺑﺎﻷﻭﻝ ﻣﻬﻤﺎ ﻓﺎﻻﺷﺘﻐﺎﻝ ﺑﺎﻟﺜﺎﻧﻲ ﺃﻫﻢ؛ ﻷﻧﻪ اﻟﻤﺮﻗﺎﺓ ﺇﻟﻰ اﻷﻭﻝ. ﻓﻤﻦ ﺃﺧﻞ ﺑﻪ ﺧﻠﻂ اﻟﺼﺤﻴﺢ ﺑﺎﻟﺴﻘﻴﻢ ﻭاﻟﻤﻌﺪﻝ ﺑﺎﻟﻤﺠﺮﻭﺡ ﻭﻫﻮ ﻻ ﻳﺸﻌﺮ ﻭﻛﻔﻰ ﺑﺬﻟﻚ ﻋﻴﺒﺎ ﺑﺎﻟﻤﺤﺪﺙ. -إلى أن قال- ﻭﻣﻦ ﺣﺮﺭ اﻷﻭﻝ، ﻭﺃﺧﻞ ﺑﺎﻟﺜﺎﻧﻲ ﻛﺎﻥ ﺑﻌﻴﺪا ﻣﻦ اﺳﻢ اﻟﻤﺤﺪﺙ ﻋﺮﻓﺎ". ﻫﺬا ﻻ اﺭﺗﻴﺎﺏ ﻓﻴﻪ

 

Artinya, "Jika penyusunan kitab dalam fan kedua (musthalah hadîts) melahirkan ketergantungan dan tidak mempelajarinya, seharusnya dalam fan pertama (memahami makna hadits) juga demikian. Sesunggunya kitab yang disusun untuk menjelaskan makna hadis dan lafal hadits yang asing tidak terhitung jumlahnya. Bahkan jika ada yang mengatakan kitab dalam fan tersebut lebih banyak daripada kitab dalam fan musthalah hadîts, dia tidak mengada-ada, memang itulah kenyataannya. Jika mempelajari fan pertama penting, maka fan kedua lebih penting, karena ia adalah tangga menuju fan pertama. Seseorang yang tidak mengetahui fan kedua, tanpa ia sadari akan mencampur-adukkan hadis sahih dengan hadits yang cacat, mencampur-adukkan perawi yang adil dengan yang tidak. Cukuplah hal itu menjadi aib bagi seorang ahli hadits. Seseorang yang menguasai fan pertama namun tidak menguasai fan kedua, sangat jauh untuk dikatakan sebagai ahli hadits. Tidak ada keraguan dalam hal ini." (Ahmad Ibn Hajar, an-Nukat 'alâ Muqaddimati Ibnish Shalâh, [Madinah, al-Jami'yyatul Islâmiyyah bil Madînatil Munawwarah], halaman 229).

 

Dari penjelasan di atas kita ketahui bahwa mempelajari ilmu hadits bukanlah hal yang sia-sia.

 

Sebagai contoh, Syekh Anas asy-Syarfawi—ulama asal Suriah yang juga banyak mentahqiq kitab—dalam salah satu pengajiannya menceritakan, bahwa hadits-hadits dalam kitab Ihyâ' 'Ulûmiddîn karya Imam al-Ghazali (wafat 505 H) ditakhrîj oleh para ahli hadits terkemuka selama ratusan tahun. Imam Tajuddin as-Subki (wafat 771 H) meneliti hadits-hadits dalam Ihyâ' yang berjumlah kurang lebih 3.800 hadits, dan ada 928 hadits yang tidak beliau temukan asalnya.

 

elanjutnya al-Hâfidh al-'Iraqi (wafat 806 H) melanjutkan kerja ilmiah tersebut hingga menyisakan sekitar 200 hadits yang belum diketahui asalnya.

 

Kerja intelektual tersebut diteruskan lagi oleh Imam Ibn Quthlubugha (wafat 879 H) dan Sayyid Murtadla az-Zabidi (wafat 1205 H), hingga kemudian Syekh Anas Asy-Syarfawi sendiri melanjutkan penelitian tersebut, dan hanya menyisakan sekitar 20 hadits yang belum ditemukan asalnya. Bayangkan jika beliau-beliau tidak belajar ilmu hadis, tentu komentar pedas terhadap masterpiece al-Ghazali semakin gencar dan tidak terhindarkan. Wallâhu a’lam. []

 

Gus Rif’an Haqiqi, Pengajar di Pondok Pesantren Ash-Shiddiqiyah Berjan, Purworejo.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar