Jumat, 26 Maret 2021

Nasaruddin Umar: Etika Politik dalam Al-Qur'an (28) Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

Etika Politik dalam Al-Qur'an (28)

Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

Oleh: Nasaruddin Umar

 

Penyebutan tidak kurang 15 kali agama Yahudi dan 10 kali Nashrani dan sejumlah aliran kepercayaan di dalam Al-Qur'an menjadi dasar untuk menyatakan Al-Qur'an memberikan kebebasan orang untuk berbeda agama dan keyakinan. Banyak ayat yang menyatakan kebebasan beragama dan berkeyakinan, antara lain: Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam). (Q.S. al-Baqarah/2:256), Katakanlah: "Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu. (Q.S. Ali 'Imran/3:64), Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, (Q.S. al-Qashash/28:56), Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya? (Q.S. Yunus/10:99).

 

Selain ayat-ayat tersebut terdapat sejumlah hadis yang senada dengannya, yang memberikan kebebasan orang untuk memilih agama dan keyakinan di luar agama Islam. Pengalaman kasus Usamah ibn Zaid juga dapat dijadikan contoh. Ia dipilih Nabi menjadi Panglima Angkatan Perang ketika masih berumur di bawah 20 tahun. Ketika ia mengtejar dan membunuh seorang musuh yang terjebak lalu membunuhnya setelah sempat mengucapkan kalimat syahadat. Peristiwa ini sampai kepada Nabi dan ia memanggil Usamah dalam keadaan marah. Ia menyesalkan mengapa ia membunuh orang yang sudah bersyahadat. Usamah menjelaskan kalau orang itu sangat berbahaya dan ia bersyahadat ketika ia terpojok di pinggir tebingt. Nabi menolak alasan Usamah dengan mengatakan: Nahnu nahkum bi al-dhawahir, wa Allah yatawalla al-sarair (Kita hanya menghukum apa yang tampak, dan Allah Swt yang menghukum apa yang tersimpan di hati orang).


Sikap Nabi ini menunjukkan betapa kita tidak boleh memonnis keyakinan dan kepercayaan orang lain. Jika orang secara formal mempersaksikan syahadatnya secara terbuka maka kita tidak boleh lagi mengusiknya. Soal ada pelanggaran lain, nanti saja proses hukum formal yang akan menyelesaikannya. Usamah pun saat itu memohon ampun kepada Rasullullah akan peristiwa itu dan Usama berjanji akan hati-hati jika menemui peristiwa yang sama terjadi di kemudian hari. Jika orang lain dieksekusi maka sesungguhnya yang turut korban ialah family terdekat orang itu. Bahkan keluarga yang bersangkutan bisa mengurung diri berbulan-bulan lantaran tidak tahan menanggung rasa malu. Semua orang harus hati-hati agar jangan begitu gampang memonnis seseorang sebagai kafir, musyrik, ahlul id'ah, karena boleh saja vonnis itu memantul kepada diri sendiri. Rasulullah Saw pernah bersabda barangsiapa yang menuduh orang lain kafir padahal tidak sesuai dengan kenyataan di mata Allah Swt maka yang bersangkutan akan menerima akibatnya yang setimpal.


Sekali lagi sikap Nabi tersebut di atas sangat penting terutama bagi masyarakat heterogen seperti Indonesia. Heterogenitas di dalam masyarakat mengharuskan kita untuk bersikap hati-hati melontarkan tuduhan atau sangkaan. Boleh jadi target kita satu atau beberapa orang tetapi bangsa dan negara bisa terancam. Pera penganjur Islam terdahulu pasti sadar bahwa masih banyak warga umat yang aqidahnya belum sepenuhnya benar tetapi untuk sementara masih tetap dibiarkan karena bukankah yang terpenting terdahulu ialah penanaman aqidah. Menyusul kemudian syuari'ah dan akhlaq. Turunnya Al-Qur'an berangsur-angsur, muali ayat-ayat aqidah yang lebih banyak turun di Mekkah kemudian ayat-ayat Syari'ah dan hukum yang lebih banyak turun di Madinah. Ini artinya pangkalan pendaratan berupa aqidah harus diutamakan agar memudahkan syari'ah dan hokum landing di dalam hati masyarakat. Jika kita tidak taktis dan strategis bisa saja usaha dakwah kita menjadi contra proctif. Berkembangnya kelompok radikal dan pada akhirnya menjadi teroris diduga antara lain disebabkan tidak sabarnya para muballig dalam merespon karakter umat yang heterogen. Kita semua harus lebih banyak belajar pada taktik dan strategi Nabi dalam berdakwah.
[]

 

DETIK, 19 Oktober 2020

Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA | Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar