Rabu, 10 Februari 2021

(Ngaji of the Day) Hukum Harta Zakat untuk Membeli APD di Tengah Pandemi Covid-19

Hukum asal disyariatkannya zakat dalam Islam adalah untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, yang meliputi kebutuhan hidup individu maupun masyarakat (qadra kifayatihi). Jenis kebutuhannya pun lebih mengacu pada hal-hal yang bersifat primer bagi mereka, seperti kebutuhan makanan, tempat tinggal, pendidikan, pengobatan, dan sejenisnya. Dengan demikian, hal-hal pokok lain yang turut serta menjadi tujuan utama dari disyariatkannya zakat adalah kebalikannya, yaitu: berupa upaya memenuhi kebutuhan masyarakat dalam rangka menolak sesuatu yang bersifat membahayakan terhadap hidup mereka, dan segala hal yang dapat membawa pada terwujudnya kemaslahatan dan kemanfaatan.

 

Sudah pasti yang dinamakan maslahah (kemaslahatan) adalah sesuatu yang bisa membawa diri menuju pada kemakmuran, menolak kefakiran, kebodohan, penyakit, musuh, dan lain sebagainya. Mafhum mukhalafah-nya adalah bahwa manfaat dari zakat dalam konteks ini, bertujuan menghapus kefakiran dan kemiskinan, mewujudkan masyarakat yang cerdas, kondisi sosial yang bebas dari penyakit, dan kondisi masyarakat yang aman. Oleh karena itulah, maka tidak heran bila di dalam ayat yang menyitir kewajiban zakat, Allah SWT memulai dengan perintah penyaluran zakat kepada fakir, miskin, dan puncaknya pada sabilillah. Itu tandanya, zakat memiliki peran penting yang dikuatkan pertama kalinya adalah membangun individu, yang kemudian dalam jangka luasnya, berperan dalam mewujudkan kondisi amannya negara. Sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala:

 

إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللهِ وَاللهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ

 

“Sesungguhnya zakat itu diperuntukkan bagi orang fakir, miskin, amil, orang yang dijinakkan hatinya, memerdekan budak, orang-orang yang gharim, dan berperang di jalan Allah SWT serta ibnu sabil. Inilah ketentuan dari Allah. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Q.S. Al-Taubah [9]: 60).

 

Dan termasuk dari realitas terpenting saat ini, bagi masyarakat, adalah upaya menjaga kelangsungan hidup mereka, baik dalam taraf individu maupun sosial, yaitu upaya memberantas wabah yang saat ini tengah berlangsung di masyarakat. Menjaga kelangsungan hidup (hifdh al-nafs) ini merupakan bagian dari prinsip-prinsip dasar terpenting syariah, karena bagaimanapun suatu wabah penyakit berbahaya merupakan illat yang dapat membawa masyarakat menuju kehancuran. Al-Imam al-Syathibi, di dalam al-Muwafaqat menyampaikan:

 

إن المقصود بمشروعية الزكاة: رفع رذيلة الشح، ومصلحة إرفاق المساكين، وإحياء النفوس المعرَّضة للتلف

 

“Sesungguhnya, maksud utama disyariatkannya zakat adalah menghilangkan sifat buruk dari kebakhilan, mendatangkan maslahat pada peningkatan taraf hidup warga miskin dan memberi semangat hidup bagi jiwa-jiwa yang diambang kerusakan” (Al-Syathibi, al-Muwafaqat, Beirut: Dar al-Ma’rifah, tt., juz 2, halaman 385).

 

Ibnu Qayyim al-Jauziyah (pengikut Hanabilah) di dalam Zad al-Ma’ad menyampaikan:

 

لما كانت الصحة من أجل نعم الله على عبده وأجزل عطاياه وأوفر منحه بل العافية المطلقة أجل النعم على الإطلاق: فحقيقٌ لمن رُزِقَ حظًّا مِن التوفيق مراعاتُها وحفظُها وحمايتُها عما يُضادُّها

 

“Ketika kesehatan merupakan bagian dari nikmat Allah yang paling agung atas hamba-Nya, serta merupakan anugerah yang tak terhingga dari-Nya, maka upaya menjaga anugerah kesehatan ini adalah seagung-agungnya nikmat yang secara mutlak harus diwujudkan. Oleh karenanya, adalah sebuah hak bagi orang yang diberi rezeki berupa kemampuan dalam menolong, untuk turut serta dalam mewujudkan kesehatan tersebut, menjaganya, mengantisipasinya dari segala hal yang bisa merusaknya.” (Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Zad al-Ma’ad, Riyadl: Muassasatu al-Risalah, tt., juz 4, halaman 196).

 

Dan selama upaya kebutuhan menghindari tertularnya penyakit oleh para dokter itu memang harus dilakukan dengan jalan penyediaan alat pelindung diri (APD), maka itu tandanya tersedianya APD adalah merupakan kebutuhan primer (dlarurat) yang dikuatkan oleh syariat. Adapun bahaya (dlarar) wabah bagi masyarakat merupakan hal yang berlaku umum.

 

Untuk itu, menyalurkan dana zakat ke kebutuhan yang berlaku khusus adalah dibenarkan oleh syariat mengingat maslahatnya bisa mempengaruhi bahaya yang sifatnya lebih umum. Setidaknya ada beberapa alasan, mengapa penyaluran ke hal yang berlaku khusus (pembelian APD) ini dibenarkan oleh syariat. Dalam pertimbangan penulis, ilhaq (analogi) itu bisa dirinci sebagai berikut:

 

Pertama, karena objek yang sifatnya khusus ini dibutuhkan tenaga ahli yang bersifat khusus pula. Sebagaimana hal ini diqiyaskan pada perang, yang mana prajurit perang merupakan prajurit yang terlatih, sehingga mutlak butuh pendanaan untuk membantunya bersiap diri dalam menghadapi musuh.

 

Kedua, para tenaga ahli ini memiliki kewajiban yang bersifat fardlu kifayah karena keahliannya. Sebagaimana hal ini berlaku atas prajurit perang yang mana karena kemampuannya dalam menanggulangi musuh, dan keterampilannya dalam memainkan senjata, menjadikannya sebagai pihak yang wajib untuk maju perang.

 

Ketiga, seorang dokter yang menanggulangi wabah yang berlaku di masyarakat, memang selayaknya didanai dengan dana yang berasal dari negara dan berasal dari kas zakat. Sebagaimana hal ini bisa diqiyaskan dengan angkatan bersenjata negara, yang dalam catatan sirahnya, senantiasa dibiayai dari dana yang dihimpun lewat zakat.

 

Alhasil, qiyas tentang kelompok yang berhak menerima zakat yang berlaku untuk para dokter ini dalam ashnaf zakat adalah ada dalam bingkai ashnaf sabilillah (orang yang berperang di jalan Allah). Benarkah hal tersebut? Insyaallah kita akan uji lewat dialektika ashnaf dalam tulisan berikutnya! Wallahu a’lam bi al-shawab. []

 

Ustadz Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah – Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur

Tidak ada komentar:

Posting Komentar