Selasa, 02 Juni 2020

Zuhairi: Zaman Baru Politik Irak di Tengah Pandemi

Zaman Baru Politik Irak di Tengah Pandemi

Oleh: Zuhairi Misrawi

 

Di tengah pandemi, Irak berhasil keluar dari jalan buntu politik. Parlemen Irak berhasil melantik Perdana Menteri baru Mustafa al-Kadzimi. Sosok mantan Ketua Badan Intelijen Irak itu juga berhasil membentuk pemerintahan baru dan mendapat dukungan dari mayoritas parlemen.

 

Tentu saja, hal tersebut menjadi hadiah bagi politik Irak yang sejak 7 bulan terakhir mengalami kebuntuan dalam memilih Perdana Menteri. Dua kandidat sebelumnya kandas karena mendapatkan penentangan luas dari publik, yaitu Taufiq Alawi dan Adnan Zurfi.

 

Di tengah situasi politik yang menghangat akibat demonstrasi dalam setahun terakhir, yang berujung pada kemartiran Qassem Soleimani dan al-Mahdi al-Mohandes, Irak terus mengalami goncangan politik. Masalah yang dihadapi tidak hanya bagaimana menjaga peliknya keseimbangan politik di dalam negeri, melainkan juga merespons kuatnya arus perlawanan terhadap Amerika Serikat di Irak. Faksi-faksi besar yang berlatarbelakang Syiah mendesak agar AS segera angkat koper dari Irak.

 

Kehadiran AS di kota Para Nabi dan Para Wali itu merupakan penjajahan yang nyata, dan lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya. Karenanya, AS harus hengkang dari Irak. Maka dari itu, diperlukan sosok yang relatif netral dan diterima oleh sebagian besar faksi politik dan mampu merespons aspirasi publik. Sejak Pemilu 2013, al-Kadzimi adalah Perdana Menteri yang bukan dari kalangan politisi dari partai politik.

 

Ia merupakan generasi kedua dari politisi yang berlatarbelakang Syiah, yang mempunyai pandangan politik liberal dan mempunyai pandangan relatif bersahabat dengan Barat. Ia malang-melintang sebagai oposisi terhadap Saddam Husein sejak tahun 90-an.

 

Al-Kadzimi tumbuh dalam tradisi keagamaan yang kuat. Sepak terjangnya sebagai Ketua Badan Intelijen Irak dikenal pragmatis, bahkan cenderung liberal. Uniknya, ia mempunyai kedekatan dengan kalangan tradisional Syiah di Irak, khususnya faksi Najaf, Ayatullah Ali Sistani. Selain itu, ia mempunyai kedekatan khusus dengan Haedar Ebadi, Mantan Perdana Menteri dan mengangkatnya sebagai Ketua Badan Intelijen Irak sejak tahun 2016 lalu.

 

Istimewanya, al-Kadzimi terpilih sebagai Perdana Menteri relatif mulus, karena mendapatkan dukungan dari para demonstran yang selama ini berada di garda terdepan menuntut transformasi politik yang mencerminkan politik bersih, melayani, dan berpihak pada kepentingan rakyat. Bahkan, semua faksi politik mencapai kata mufakat yang menunjukkan adanya penerimaan secara luas dari berbagai latarbelakang politik di Irak.

 

Posisi strategis yang dicapai al-Kadzimi juga tidak lepas dari momentum yang saat ini sedang bergejolak. Ada dua tuntutan politik yang sama-sama menguat saat ini di Irak, yaitu tuntutan agar AS hengkang dari Irak dan protes atas keterlibatan Iran dalam politik dalam negeri Irak. Perlu sosok jalan tengah yang mampu menjaga keseimbangan politik dari dua kubu sekaligus, baik AS maupun Iran.

 

Irak harus mulai berpikir untuk mengedepankan kedaulatan politiknya di tengah badai politik yang berembus kencang dalam setahun terakhir. Dalam hal ini, al-Kadzimi merupakan pilihan yang paling strategis. Ia harus menjadi jembatan di antara dua batu karang, dan harus mengambil sikap politik yang mencerminkan kemaslahatan Irak.

 

Tantangan tersendiri bagi al-Kadzimi yang mempunyai kedekatan khusus dengan AS untuk benar-benar menjadi jembatan, bukan sekadar jalan mulus bagi kepentingan AS di Irak. Tidak dimungkiri jika faksi-faksi Syiah di Irak mempunyai hubungan khusus dengan Iran. Karenanya, al-Kadzimi harus mampu menjaga keseimbangan, bukan justru bertepuk sebelah tangan. Ia harus mampu berkomunikasi dengan Iran secara baik.

 

Ujian pertama sudah dilalui al-Kadzimi dengan keberhasilannya meyakinkan parlemen untuk menyetujui dua pertiga dari para menteri yang diajukan ke parlemen. Langkah yang diambilnya tidak mudah karena harus memenuhi suara-suara dari para demonstran yang menghendaki agar para menteri dari kalangan profesional yang mencerminkan aspirasi dari politik bersih. Begitu halnya, al-Kadzimi memilih untuk mengikuti pandangan Ayatullah Ali Sistani dalam membentuk pasukan bersenjata untuk menghilangkan kecurigaan kuatnya pengaruh Iran. Beberapa brigade yang menjadi barisan Ali Sistani dijadikan sebagai dari kementerian Pertahanan Irak.

 

Apapun yang terjadi, al-Kadzimi menjadi pemimpin di tengah krisis. Di depan mata, ia harus menghadapi tantangan serius. Pandemi corona merupakan masalah yang dihadapi semua negara, tidak terkecuali Irak. Yang menjadi persoalan tidak hanya bagaimana menyembuhkan mereka yang sudah dinyatakan positif corona, melainkan juga menyelamatkan sebagian besar warga yang terdampak secara ekonomi. Krisis ekonomi akan menjadi masalah serius di tengah pandemi.

 

Apalagi saat ini Irak sedang menghadapi tantangan serius dari merosotnya harga minyak dunia akibat perang harga antara Rusia dan Arab Saudi. Irak selama ini secara ekonomi sangat bergantung pada minyak. Jika masalah ini tidak dipecahkan secara saksama, maka tidak menutup kemungkinan adanya masalah politik yang lebih besar di masa mendatang akibat krisis ekonomi yang sedang berada di depan mata.

 

Belum lagi, masalah milisi sipil yang harus menjadi agenda prioritas karena akan sangat menentukan kekuatan militer Irak di masa mendatang. Ia memilih untuk bergandengan tangan dengan milisi Ayatullah Ali Sistani, dan berjuang agar para milisi menyerahkan senjatanya kepada aparat resmi negara.

 

Walhasil, al-Kadzimi menghadapi tantangan yang tidak mudah, karena ia harus mendapatkan kembali kepercayaan dari publik dan mitra strategis Irak, khususnya AS dan Iran. Modal utamanya adalah kepercayaan publik dan faksi-faksi politik yang selama ini kerap berseberangan secara politik. Pandemi telah menjadikan Irak berada di jalur yang benar untuk menata kembali politik yang berkeping-keping dalam setahun terakhir. Semoga ini menjadi berkah Ramadhan dan pandemi bagi Irak. []

 

DETIK, 14 Mei 2020

Zuhairi Misrawi | Cendekiawan Nahdlatul Ulama, analis pemikiran dan politik Timur-Tengah, The Middle East Institute, Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar