Tiga Macam Dosa dan Cara Meleburnya (1)
Disadari atau tidak, disengaja atau tidak, setiap manusia pasti pernah
melakukan perbuatan dosa dan kesalahan. Baik kesalahan itu yang berhubungan
dengan Allah maupun yang berhubungan dengan sesama hamba.
Dan sebagai seorang muslim dan mukmin, ketika ia melakukan sebuah perbuatan dosa maka ia pasti ingin dosanya tersebut dapat dihapus dan terampuni. Karena bila tidak, maka dosa dan kesalahan yang ia perbuat itu akan membawa dampak buruk baginya, baik ketika ia masih hidup di dunia atau kelak ketika ia hidup di alam akhirat. Untuk itu seorang yang melakukan kesalahan dituntut untuk segera meminta maaf dan bertobat demi melebur dosa dan kesalahannya itu.
Hal ini pernah disampaikan oleh Rasulullah bahwa setiap manusia pasti berbuat dosa. Dan sebaik-baik pelaku dosa adalah orang yang menyadari kesalahannya lalu bertobat darinya.
Rasulullah shallallȃhu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
كُلُّ بَنِي آدَمَ خَطَّاءٌ، وَخَيْرُ الْخَطَّائِينَ التَّوَّابُونَ
Artinya: “Setiap anak keturunan Adam itu berbuat dosa. Dan sebaik-baik orang yang berbuat dosa adalah orang-orang yang mau bertobat” (HR Ibnu Majah).
Namun demikian, yang perlu diketahui adalah bahwa tidak setiap perbuatan dosa dapat dilebur dengan cara yang sama. Ada cara-cara tertentu untuk melebur sebuah dosa yang tidak sama antara satu dosa dengan dosa yang lain. Ini berarti ada pembagian kategori dosa yang menentukan bagaimana cara peleburannya.
Dalam hal ini Imam al-Ghazali di dalam kitab Minhâjul ‘âbidîn menuturkan bahwa secara garis besar ada tiga macam kategori dosa dengan cara meleburnya masing-masing. Dalam kitab tersebut beliau menuliskan:
فاعلم أن الذنوب في الجملة ثلاثة أقسام: أحدها ترك واجبات الله سبحانه وتعالى عليك من صلاة أو صوم أو زكاة أو كفارة أو غيرها فتقضى ما أمكنك منها
Artinya: “Ketahuilah, secara garis besar dosa-dosa itu ada tiga macam. Pertama, meninggalkan kewajiban-kewajiban yang ditetapkan oleh Allah kepadamu seperti shalat, puasa, zakat, kafarat, dan lainnya. Maka (untuk meleburnya) engkau mengqadha kewajiban-kewajiban tersebut selagi memungkinkan.”
Kategori dosa yang pertama adalah dosa yang berkaitan dengan berbagai kewajiban yang telah ditetapkan oleh Allah atas para hamba-Nya.
Orang yang meninggalkan kewajiban-kewajiban yang telah ditetapkan oleh Allah seperti shalat, puasa, zakat dan lainnya, maka untuk melebur dosa tersebut ia harus mengqadha kewajiban-kewajiban yang ditinggalkan itu selagi memungkinkan untuk mengqadhanya.
Shalat yang tidak dilakukan karena lupa, tertidur, atau melakukan shalat namun dengan menggunakan pakaian najis, di tempat yang najis atau alasan lainnya, maka shalat tersebut harus diqadha setelah memungkinkan untuk melakukannya. Puasa wajib yang tidak dilakukan karena sakit, bepergian, atau menlakukan puasa namun lupa niat pada malam hari, batal sebelum masuknya waktu berbuka atau karena alasan-alasan yang lain harus diqadha segera setelah memungkinkan untuk melakukannya. Demikian pula dengan zakat, haji dan ibadah-ibadah wajib lainnya.
Selanjutnya Imam al-Ghazali menuturkan:
والثاني ذنوب بينك وبين الله سبحانه وتعالى كشرب الخمر وضرب المزامر وأكل الربا ونحو ذلك فتندم على ذلك وتوطن قلبك على ترك العود الى مثلها أبدا
Artinya: “Kedua, dosa-dosa di antaramu dan Allah subhȃnahȗ wa ta’ȃlȃ seperti meminum minuman khamr, meniup seruling, memakan riba dan sebagainya. (Untuk meleburnya) maka engkau menyesali perbuatan-perbuatan tersebut dan menetapkan hatimu untuk tidak akan mengulanginya lagi selamanya.”
Kategori dosa yang kedua adalah dosa-dosa yang berkaitan antara seorang hamba dengan Allah.
Barangkali dosa dalam kategori kedua ini lebih pada hal-hal yang dilarang oleh Allah dan tidak ada kaitannya dengan sesama hamba. Sebagai contoh perbuatan dosa yang masuk pada kategori ini adalah meminum minuman keras, berzina, memakan riba, memandang lawan jenis yang bukan mahram, berdiam di masjid dalam keadaan junub, memegang dan membawa Al-Qur’an tidak dalam keadaan suci, menggunakan harta untuk kemaksiatan, dan lain sebagainya.
Menurut Imam al-Ghazali—sebagaimana ditulis di atas—dosa dalam kategori ini dapat dilebur dengan penyesalan dan memantapkan hati untuk tidak akan kembali melakukan kesalahan serupa selamanya. Dengan kata lain pelaku dosa kategori ini dituntut untuk bertobat secara benar untuk dapat melebur dosanya.
Sementara itu Syekh Ihsan Jampes dalam kitabnya Sirâjut Thâlibin menambahkan, bagi pelaku dosa kategori ini untuk menyusuli perbuatan dosa tersebut dengan melakukan perbuatan baik yang berkebalikan dan sekira sebanding dengannya.
Apa yang disampaikan oleh Syekh Ihsan ini berdasarkan pada apa yang diajarkan oleh Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam:
اتَّقِ اللهِ حَيْثُمَا كُنْتَ وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الحَسَنَةَ تَمْحُهَا
Artinya: “Bertakwalah engkau kepada Allah dan susulilah perbuatan jelek dengan perbuatan baik, maka perbuatan baik itu akan menghapus perbuatan jelek.” (HR. Imam Turmudzi)
Juga berdasarkan firman Alah dalam surat Hud ayat 114:
إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ
Artinya: “Sesungguhnya kebaikan-kebaikan dapat menghilangkan kejelekan-kejelekan.”
Dengan berdasar pada kedua dalil di atas Syekh Ihsan menjabarkan beberapa contoh; dosa meminum minuman keras dapat dilebur dengan bersedekah minuman yang halal seperti memberi minuman kepada sekumpulan orang yang sedang mengaji bersama. Dosa mendengarkan ucapan-ucapan yang tak baik dapat lebur dengan mendengarkan bacaan Al-Qur’an. Dosa memakan harta riba dapat dilebur dengan bersedekah makanan yang halal dan baik. Dosa berdiam diri di masjid dalam keadaan junub dapat dihapus dengan beri’tikaf di masjid. Dosa menyentuh dan membawa mushaf Al-Qur’an dalam keadaan berhadas dapat dilebur dengan memuliakannya, banyak membaca dan menciumnya. Dan seterusnya.
Yang jelas untuk melebur dosa dalam kategori ini adalah dengan cara melakukan ketaatan dan kebaikan yang berkebalikan dengan perilaku dosa tersebut. Masih menurut Syekh Ihsan, bahwa kegelapan yang menghinggapi hati karena sebuah kemaksiatan tidak bisa dihapus kecuali dengan cahaya yang menerangi hati tersebut dengan melakukan ketaatan yang berkebalikan dengan kemaksiatan itu. Wallahu a’lam. []
Yazid Muttaqin, santri alumni Pondok Pesantren Al-Muayyad Surakarta, kini aktif dalam kepengurusan PCNU Kota Tegal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar