Perbedaan Ulama soal Daging Sembelihan Tanpa Mengucap Basmalah
Tak terasa sebentar lagi kita akan menghadapi bulan Dzul Hijjah, yang sering disebut dengan bulan kurban atau bulan haji, sebab di dalam bulan ini terjadi beberapa peristiwa penting bagi kaum muslimin, sebut saja salah satunya adalah memotong hewan kurban.
Hukum memotong kurban sendiri adalah sunnah muakkad, sebagaimana disebutkan oleh Syekh Ibnu Qasim al-Ghazzi:
وَالأُضْحِيةُ سُنَّةٌ مُؤَكَّدَةٌ عَلَى الْكِفَايَةِ؛ فَإِذَا أَتَى بِهَا وَاحِدٌ مِنْ أَهْلِ بَيْتٍ كَفَى عَنْ جَمِيْعِهِمْ. وَلَا تَجِبُ الْأُضْحِيةُ إِلَّا بِالنَّذْرِ
“Berkurban hukumnya sunnah muakkad kifayah; apabila satu orang berkurban untuk keluarganya maka sudah mencukupi semuanya, dan tidak wajib berkurban kecuali jika ia bernadzar. (Syekh Muhammad bin Qasim al-Ghazzi, Fathul Qarîb al-Mujîb fî Syarh Alfâdhit Taqrîb, Beirut, Daar Ibn Hazm, 2005, halaman 311)
Proses penyembelihan hewan sangat penting, karena hal ini menyangkut juga dengan diterima atau tidaknya pahala kurban kita. Beberapa anjuran dalam pelaksanaan kurban penting diperhatikan, seperti menyembelih hewan kurban mesti dilakukan setelah selesai shalat Id (tidak boleh sebelum shalat Id), dan menggunakan pisau yang tajam agar tidak terlalu menyakiti hewan sembelihan.
Namun, bagaimana dengan hukum membaca basmalah atau menyebut nama Allah bagi tukang jagal ketika proses penyembelihan?
Di sini ada dua pendapat yang masyhur, yaitu Jumhur (mayoritas ulama, dalam hal ini Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah) dan Hanafiyah. Jumhur berpendapat bahwa hukumnya sunnah, sebagaimana disebutkan oleh Syekh Ibnu Qasim Al-Ghazi:
وَيُسْتَحَبُّ عِنْدَ الذَّبْحِ خَمْسَةُ أَشْيَاءَ: أَحَدُهَا (التَّسْمِيَةُ) فَيَقُوْلُ الذَّابِحُ «بِسْمِ اللهِ». وَالْأَكْمَلُ «بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ»؛ فَلَوْ لَمْ يُسَمِّ حَلَّ الْمَذْبُوْحُ.
“Lima perkara yang disunnahkan ketika menyembelih. Pertama, menyebut nama Allah. Artinya, si penyembelih menyebut ‘bismillah’, dan paling sempurnanya adalah 'bismilLahirrahmanirrahim'; seandainya dia tidak menyebut nama Allah maka tetap halal sembelihannya. (Syekh Muhammad bin Qasim, Fathul Qarîb al-Mujîb fî Syarh Alfâdhit Taqrîb, Beirut, Daar Ibn Hazm, 2005, halaman 313)
Berbeda dari Hanafiyah, mereka berpendapat bahwa menyebut nama Allah dalam sembelihan hukumnya wajib. Hal ini mereka dasarkan pada Surat al-An’am ayat 121:
وَلَا تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ
Artinya: “Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan.” (Q:S Al-An’am: 121)
Hanafiyah tidak men-takhsish (merinci penjelasan) ayat di atas dengan hadits ahad, yaitu:
قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ذَبِيحَةُ الْمُسْلِمِ حَلَالٌ ذَكَرَ اسْمَ اللهِ أَوْ لَمْ يَذْكُرْ
Rasulullah Saw bersabda: “Sembelihan Muslim halal, dengan menyebut nama Allah (ketika menyembelih) maupun tidak.” (Sunan al-Baihaqi)
Jumhur ulama memperbolehkan menyembelih tanpa mengucap basmalah karena men-takhsish ayat dalam Surat Al-An’am itu dengan hadits tersebut. Dasar perbedaanya berakar dari boleh tidaknya men-takhsish dalil qath’i seperti Al-Qur’an dengan dalil dhannî seperti hadits ahad yang belum mencapai derajat mutawatir. Sebagaimana disebutkan oleh Syekh Wahbah Zuhaili dalam kitab Ushûl al-Fiqh al-Islâmy:
رَأَى الْحَنَفِيَّةُ أَنَّهُ لَا يَجُوْزُ تَخْصِيْصُ الْعَامِ الْقَطْعِيِّ بِالظَّنِّيِّ: لِأَنَّ دِلَالَةَ العَامِ عَلَى أَفْرَادِهِ قَطْعِيَّة، وَقَطْعِيُّ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ الْمُتَوَاتِرَةِ لَا يَصِحُّ تَخْصِيْصُهُ بِالظَّنِيِّ كَخَبَرِ الوَاحِدِ وَالْقِيَاسِ، لِأَنَّ التَّخْصِيْصَ عِنْدَهُمْ التَّغْيِيْرُ، وَمُغَيِّرُ الْقَطْعِيُّ لَايَكُوْنُ ظَنِّيًّا
“Hanafiyah berpendapat bahwa tidak boleh men-takhsish dalil ‘âm yang qath’î (bersifat pasti) dengan yang dhannî (kurang pasti), sebab dalil ‘âm bersifat pasti secara individunya, dan sifat pasti pada Al-Qur’an dan hadits mutawatir tak dapat di-takhsish dengan dalil dhannî seperti khabar wahid dan qiyas, karena takhsish menurut mereka adalah perubahan, dan sesuatu yang dhannî (kurang pasti) tak dapat mengubah sesuatu yang qath’î (pasti).” (Syekh Wahbah Zuhaili, Ushûl al-Fiqh al-Islâmy, Daarul Fikr, Damaskus, cetakan pertama tahun 1986, juz pertama halaman 252)
Oleh karena itu ulama Hanafiyah berpendapat bahwa sembelihan yang tidak disertai asma Allah tidak halal. Adapun dalam permasalahan takhsish dalil qath’î dengan dhannî, ulama Jumhur membolehkannya, sebagaimana disebutkan oleh Syekh Wahbah Zuhaili dalam kitab Ushûl al-Fiqh al-Islâmy:
وَأَجَازَ الْجُمْهُوْرُ هَذَا التَّخْصِيْصَ: لِأَنَّ دِلَالَةَ الْعَامِّ عَلَى أَفْرَادِهِ ظَنِّيَّةً، فَيَجُوْزُ تَخْصِيْصُهُ بِالدَّلِيْلِ الظَّنِّيِّ مِنْ خَبَرِ الْوَاحِدِ أَوِ الْقِيَاسِ.
Ulama Jumhur membolehkan takhsish ini (qatha‘î dengan dhannî), sebab dalil ‘am bersifat dhannî secara individunya, maka boleh men-takhsish dalil qatha‘î dengan dalil dhannî berupa khobar wahid dan qiyas. (Syekh Wahbah Zuhaili, Ushûl al-Fiqh al-Islâmy, Daarul Fikr, Damaskus, cetakan pertama tahun 1986, juz pertama halaman 252)
Begitulah penjelasan seputar perbedaan ulama dalam sembelihan yang tidak disebut nama Allah ketika penyembelihannya. Ulama Jumhur berpendapat boleh dimakan, dan Hanafiyah tidak.
Kita sebagai warga Indonesia yang kebanyakan menganut mazhab Syafi’i tentunya tak masalah memakannya. Namun diusahakan bagi para jagal hewan kurban untuk tetap menyebut nama Allah ﷻ karena itu merupakan bagian dari sunnah yang dijalankan oleh Rasulullah ﷺ. Wallahu a’lam. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar