Senin, 09 Maret 2020

Nasaruddin Umar: Meluruskan Makna Jihad (37): Lain Radikal, Lain Fanatik


Meluruskan Makna Jihad (37)
Lain Radikal, Lain Fanatik
Oleh: Nasaruddin Umar

Kerancuan bahasa atau istilah sering mengorbankan orang atau ajaran agama. Terkadang orang dicap dengan sesuatu yang negatif dengan segala akibatnya hanya karena istilah yang digunakannya rancu. Misalnya si A adalah fanatik. Akhirnya si A harus menanggung akibatnya sebagai orang yang dijauhi sebagian masyarakat karena banyak orang mengindikasikan atau menyamakan antara fanatik dengan radikal, apalagi teroris. Padahal, antara pengertian fanatik dan radikal sangat berbeda.

Radikal selalu menjadi konotasi negatif, setingkat di bawah teroris. Sedangkan fanatik belum tentu radikal. Bahkan mungkin ada orang yang fanatik tetapi sikap dan pikirannya moderat atau mungkin agal liberal. Radikal tidak pernah mau mengakomodasi garis moderat apalagi liberal.

Agama juga bisa menjadi korban karena istilah yang dilekatkan kepadanya. Contohnya, kebetulan saya saat ini sedang berada di Amerika Serikat, masyarakat di sini baik melalui percakapan langsung maupun melalui media sering menyebut Islam sebagai agama jihad. Konotasi jihad dalam vocabulary bahasa Inggris populer sering diidentikkan dengan radikal dan teroris. Akibatnya, Islam yang begitu luhur nilai-nilainya direduksi menjadi agama teroris, agama kekerasan, agama radikal, dan istilah negatif lainnya.

Contoh lain, kata madrasah selalu dikonotasikan dengan sekolah kelompok radikal yang akan memproduk orang-orang jihadis dalam arti kelompok radikal. Pekerjaan saya paling berat di sini (AS) ialah meluruskan makna jihad dan madrasah. Baik melalui ceramah dan diskusi maupun melalui media cetak dan elektronik. Untungnya saya orang Indonesia; berbagai pihak menganggapnya paling netral berbicara tentang Islam.

Fanatik sesungguhnya berarti orang-orang yang menjalankan ajaran agamanya, khususnya dalam bidang ubudiyah, secara konsisten. Mereka istikamah menutup aurat, menjalankan seluruh perintah dan menjauhi seluruh larangan-Nya, dan tetap memberikan ruang bagi orang lain menganut dan mengamalkan ajaran agama mereka masing-masing.

Karena itu, tidak semua perempuan berhijab, laki-laki berjenggot-berkumis, beratribut Timur Tengah, dan bercelana cingkrang itu beraliran keras (hard liner) atau kelompok radikal. Sepanjang mereka tidak memaksakan kehendaknya atau secara frontal menyalahkan orang lain yang berbeda dengannya, bahkan toleransi tetap dipertahankan, maka tidak ada alasan mengatakan mereka itu kelompok radikal. Populasi komunitas seperti ini cenderung makin berkembang di dalam masyarakat.
Mereka tidak boleh digeneralisasi sebagai kelompok radikal hanya karena identitas fisik. Banyak kelompok radikal bahkan sudah dan sedang menjalani hukuman di penjara dengan tuduhan teroris, tetapi rambutnya gondrong, celana jeans kumal, tidak berjenggot, dan tidak berkumis, tetapi isi kepala dan jiwanya betul-betul radikal bahkan sudah terbukti teroris.

Radikalisme sesungguhnya adalah suatu faham yang mempunyai keyakinan ideologi tinggi dan fanatik serta selalu berjuang untuk menggantikan tatanan nilai dan sistem yang sedang berlangsung. Mereka berusaha untuk mengganti dengan tatanan nilai tersebut dengan tatanan nilai baru sesuai dengan apa yang diyakininya sebagai tatanan nilai benar. Sedangkan fanatik tidak ada urusan dengan ideologi, pandangannya lurus ke depan menuju Tuhan. []

DETIK, 24 Februari 2020
Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA | Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar