Jumat, 29 November 2019

Pandangan KH Wahab Chasbullah soal Perbudakan


Pandangan KH Wahab Chasbullah soal Perbudakan

Sejumlah pandangan terkait hukum Islam disampaikan oleh KH Abdul Wahab Chasbullah (1888-1971) dalam sidang Dewan Konstituante pada 1957. Pada rentang tahun 1956-1959, memang terjadi perdebatan hangat dalam rapat Majelis Konstituante untuk menentukan dasar negara. Pada masa ini terjadi perdebatan alot antara tiga faksi (kubu) terkait dengan unsur yang ingin dijadikan sebagai dasar negara.

Pertama ialah Faksi Pancasila yang sama sekali Piagam Jakarta dalam dasar negara. Kedua Faksi Islam (NU termasuk di kubu ini) yang menginginkan piagam Jakarta tidak dihilangkan secara serta merta, dan ketiga kubu ekonomi sosialis demokrasi yang menginginkan dasara negara sosialis.

Bahkan di tubuh faksi Islam secara formal menginginkan Islam menjadi dasar negara. Meskipun NU ada di kubu ini, organisasi para kiai tersebut tidak ingin Islam secara partikular dijadikan dasar negara. Hal itu justru menyempitkan nilai-nilai ajaran Islam, karena posisi agama di atas dasar negara. Maka dari itu, sudah selayaknya Islam menjiwai dasar negara.

Keinginan kubu sekuler yang ada di faksi Pancasila (PNI, PKI, Republik Proklamasi, PSI, Parkindo, dan lain-lain) hanya menginginkan Pancasila tanpa dijiwai oleh nilai-nilai Islam dalam Piagam Jakarta, inilah yang ditolak NU. Sedangkan NU sendiri tidak menolak Pancasila dan UUD 1945 jika tetap dijiwai oleh nilai-nilai agama Islam yang termaktub dalam Piagam Jakarta.

Selain soal hukum potong tangan, Kiai Wahab Chasbullah juga memaparkan terkait masalah perbudakan: Soal perbudakan ini bukan made in Islam. Untuk kerajaan Yunani dan seluruh dunia, di seluruh negara, pasar penuh ramai dengan perbudakan, di mana saja sekalipun di Moskow. Hanya di Moskow diberantas dalam abad yang terakhir ini.

Waktu di Moskow ada kerajaan Iskandar II baru diberantas dalam terori praktik tetap, tapi ganti nama. Mengenai soal perbudakan ini, sebetulnya siapa orang yang suka menjadi budak? Yang dijadikan budak sebenarnya ialah boyongan (tawanan), boyongan orang perang, mana yang kalah diboyong, orang yang diboyong itu dijadikan budak.

Sekarang nama boyong itu hamba tidak ada, tetapi di mana ada sikap orang memboyong, maka terhadap boyongannya tetap menganggap budak yang tidak mempunyai hak sebagai orang yang merdeka.

Perbudakan ini juga merajalela di tanah Arab. Setelah Rasulullah dilahirkan di Arab dan melihat keadaan itu, Rasul hingga umur 40 tahun diberi Wahyu menjadi Nabi. Wahyu pertama untuk iman, kedua untuk memberitahukan kepada kawan, ketiga untuk memberantas perbudakan.

Seketika itu Nabi Muhammad memerdekakan budaknya yang bernama Haris bin Halifah sehingga sesudah merdeka menjadi sekretaris pribadi Nabi. Sahabat-sahabat Nabi yang membeli budak dengan susah payah, berturut-turut memerdekakan budak-budaknya.

Dari keterangan tersebut menunjukkan bahwa perbudakan bukan made in Islam. Islam sangat menganjurkan kepada pemerintah supaya perbudakan dibasmi dari dunia ini. 

Karena itu, kita bisa menentukan bilamana negara kita berdasar Islam, sudah menetapkan Undang-Undang. Andaikata Undang-undang menjelaskan tentang pembasmian perbudakan, sudah pasti orang yang menghilangkan perbudakan akan mendapat pahala sebesar-besarnya dari Allah, karena ia telah melaksanakan anjuran dan perintah Allah dan sudah pasti dengan itu akan menjadi Baldatun thayyibatun warabbun ghaffur. Karena melaksanakan anjuran Allah dan perintah Allah mesti jadi begitu. (Abdul Mun’im DZ, KH Abdul Wahab Chasbullah: Kaidah Berpolitik dan Bernegara, 2014: 29-31)

Baldatun thayyibatun warabbun ghaffur, yaitu bangsa yang subur dan makmur, adil dan aman yang diridhoi Tuhannya merupakan titik tekan Kiai Wahab Chasbullah dalam pidato itu pada Sidang Pleno Majelis Konstituante 3 Desember 1957. Tujuan agung pendirian negara tersebut tidak bisa dicapai ketika hanya menjadikan Islam secara formal sebagai dasar negara. Islam harus menjadi jiwa.

NU tidak sepakat menerapkan secara formal Piagam Jakarta ke dalam dasar negara di sidang pleno Majelis Konstituante, seperti yang dikehendaki kelompok Islam lain seperti Masyumi, PSII, Perti, dan lain-lain. Maka jalan tengahnya adalah Piagam Jakarta menjadi jiwa dan semangat UUD 1945.

Jalan tengah yang diberikan oleh NU disambut baik oleh Presiden Soekarno yang atas usul Jenderal Abdul Haris Nasution negara harus kembali kepada Pancasila dan UUD 1945. Sebab itu, harus dilakukan Dekrit Presiden secara konstitusional. Resisten terhadap kelompok Islam tidak terjadi ketika Soekarno mengeluarkan Dekrit pada 5 Juli 1959 karena dasar negara telah dijiwai oleh Piagam Jakarta.

Dalam hal ini, NU berhasil memberikan pemahaman Islam secara substansial dalam sistem berbangsa dan bernegara, bukan Islam partikular yang menginginkan formalisasi Islam ke dalam sistem bernegara. []

(Fathoni)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar