Jumat, 26 Juli 2019

Buya Syafii: Integrasi Nasional dalam Taruhan (3)


Integrasi Nasional dalam Taruhan (3)
Oleh: Ahmad Syafii Maarif

Sikap serupa ditunjukkan Bung Hatta sebelumnya, saat perbedaan pandangannya dengan Bung Karno sudah makin tajam, tidak bisa didamaikan lagi. Bung Hatta sama sekali tidak melakukan perlawanan, demi integrasi nasional agar tetap utuh. Sekalipun tidak setuju dengan sistem Demokrasi Terpimpin (1959-1966) ciptaan Bung Karno, yang dinilainya telah melanggar prinsip demokrasi, Bung Hatta dalam artikel Demokrasi Kita (pertama kali dimuat dalam majalah Panji Masyarakat, 22 Mei 1960), menulis:

Sebab itu pula sistem yang dilahirkan Soekarno itu tidak akan lebih panjang umurnya dari Soekarno sendiri. Umur manusia terbatas. Apabila Soekarno sudah tidak ada lagi, sistemnya itu akan roboh dengan sendirinya seperti satu rumah dari kartu .... Bagi saya yang lama bertengkar dengan Soekarno tentang bentuk dan susunan pemerintahan yang efisien, ada baiknya diberikan fair chance dalam waktu yang layak kepada Presiden Soekarno untuk mengalami sendiri, apakah sistemnya itu akan menjadi suatu sukses atau suatu kegagalan. (Lih. Emil Salim (Ketua Dewan Redaksi) dkk, Karya Lengkap Bung Hatta, Kemerdekaan dan Demokrasi, Buku 2.Jakarta: LP3ES, 2000, hlm. 432- 433).

Demikianlah cara Bung Hatta menyampaikan perbedaan pendapatnya. Sekalipun kritik tersebut tajam sekali, nada hujatan yang kasar dan penuh kebencian amat jauh dari bangunan kepribadian Bung Hatta. Perbedaan pandangannya dengan Bung Karno tidak pernah merusak hubungan pribadi kedua pemimpin bangsa itu.

Saat Bung Karno sedang bergumul dengan maut, Bung Hatta menjenguknya. Air mata kedua sahabat itu sama-sama berjatuhan! Masih banyak warisan lain yang ditinggalkan oleh para pendiri bangsa.

Perbedaan sikap dan pandangan politik tetap berada dalam kawalan akal sehat, dijaga agar tidak sampai melemahkan rajutan integrasi nasional. Kesadaran tentang utamanya keutuhan dan per satuan bangsa tidak pernah hilang di hati dan otak para pendiri bangsa itu. Lain halnya dengan fenomena konflik politik dalam proses pemilu sejak lima tahun terakhir yang menunjukkan suatu yang baru, ganjil, dan meresahkan, sebagaimana yang akan dibicarakan berikut ini.

Berawal dari tuduhan terhadap Ahok sebagai penghina Alquran dan ulama dalam proses Pilkada DKI Jakarta 2016, diikuti demo besar 212 akhir tahun itu, panggung politik Indonesia terlihat aneh, bahkan menakutkan. Penggunaan medsos secara bebas tak terkendali oleh mereka yang tunatanggung jawab makin membawa situasi politik ke tingkat ketegangan tinggi. Akibatnya masalah integrasi nasional dirasakan makin rentan, bahkan berada dalam sebuah taruhan yang sarat tanda tanya besar, suatu keadaan yang dihindari oleh para pendiri bangsa.

Politisasi agama (Islam) digunakan secara masif tanpa kendali moral dan nalar sehat. Situasi semacam ini tetap dipelihara dalam pilpres dan pileg April 2019. Masjid, mushalla, dan tempat- tempat pertemuan lain telah digunakan untuk menguatkan politik identitas yang merusak ini. Polarisasi masyarakat dirasakan di tingkat akar rumput sampai menjangkau dusun-dusun yang tersuruk.

Aktor-aktor yang terlibat dalam politik identitas ini berasal dari berbagai latar belakang kepentingan yang tumpang- tindih. Kolaborasi semu mereka terbentuk dengan tujuan tunggal: mengalahkan lawan politik mereka yang dinilai telah mengkhianati bangsa.

Bagi saya, perbedaan pilihan dalam sistem demokrasi adalah lumrah belaka. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan.

Namun, yang terasa aneh dan ajaib adalah kenyataan adanya cara menempatkan seorang calon sebagai mewakili politik Islam tanpa tersedianya sama sekali rekam jejak untuk mendukung klaim semacam itu.

Sedangkan, calon lain dikategorikan sebagai kutup anti-Islam dengan fakta yang direkayasa. Hasil Pilpres 2019 dengan telanjang menunjukkan bahwa kedua calon itu punya pendukung yang kuat menurut garis etnisitas yang berbeda, sekalipun terdapat perbedaan suara yang cukup tinggi.

Jika ditempatkan dalam lensa integrasi nasional, tidak ada pilihan lain yang mulia bagi kedua calon yang sama-sama nasionalis itu kecuali berangkulan kembali dengan mengarusutamakan kepentingan yang lebih besar: hari depan bangsa dan negara Indonesia.

Semua pihak perlu menyadari bahwa rapuhnya kohesi sosial kita juga tidak lepas dari pengaruh dan penyusupan ideologi impor yang berasal dari kawasan lain yang sedang dikoyak oleh perang saudara. Anehnya ideologi itu punya pembeli di Indonesia karena berlindung di balik dalil-dalil agama yang terlepas dari maknanya yang benar dan autentik.

Islam sering ditelikung dan disandera oleh kelakuan elitenya yang kalah, kalap, tetapi haus kekuasaan. Pilar-pilar integrasi nasional Indonesia harus dibebaskan dari segala bentuk ideologi impor yang menghancurkan ini! []

REPUBLIKA, 23 Juli 2019

Tidak ada komentar:

Posting Komentar