Jejak Perjuangan
Ulama Nusantara Menumpas Penjajah
Kemerdekaan bangsa
Indonesia tidak terlepas dari peran dan jasa para ulama, selain para nasionalis
dan tentunya seluruh rakyat Indonesia. Namun, sejarah mencatat bahwa pergerakan
ulama sebagai panutan masyarakatnya kerap membuat penjajah ketir-ketir karena
merasa terancam eksistensinya. Terlebih ketika mereka mendirikan perkumpulan
atau organisasi dan pondok pesantren.
Untuk misi spionase
terhadap para ulama dan umat Islam, Belanda mengangkat orang-orang tertentu.
Yang paling terkenal ialah seorang bernama Snouck Hurgronje yang ditetapkan
Belanda untuk mengikuti setiap pergerakan para ulama dan umat Islam. Atas misi
dan pekerjaan intelnya ini, Snouck seringkali melakukan catatan-catatan penting
sebagai informasi yang akan disampaikan kepada pihak Belanda. Sehingga tidak
heran, Snouck mempunyai banyak karya tentang Indonesia dari catatan-catatannya
itu.
Meskipun ada utusan
yang memata-matai, para ulama tidak sedikit pun merasa khawatir bahkan semakin
mengonsolidasikan diri mengadakan perlawanan terhadap Belanda. Gambaran
perlawanan para ulama terhadap Belanda terlihat ketika Pangeran Diponegoro
(1785-1855) berupaya mengusir penjajah dalam Perang Diponegoro atau Perang Jawa
(1825-1830), saking besarnya.
Perlawanan yang cukup
sengit dan melibatkan banyak kiai terrsebut berakhir cukup pedih. Pangeran
Diponegoro yang bergelar Kanjeng Abdul Hamid Amirul Mukminin Sayyidin
Panatagama Khalifatullah Tanah Jawa ing Mataram terjebak tipu muslihat Jenderal
De Kock. Diponegoro kemudian dibuang ke Manado dan Makassar hingga meninggal
pada tahun 1855. (Choirul Anam, 1985)
Di Minangkabau
terjadi Perang Padri (1821-1837) yang dipimpin Tuanku Imam Bonjol. Meski perang
ini diketahui sebagai perlawanan Imam Bonjol terhadap kaum adat, tetapi
infiltrasi Belanda sangat kental. Sebab, ternyata perang yang berlangsung cukup
lama itu berakhir dengan dibuangnya Imam Bonjol oleh kolonial Belanda ke Ambon
dan kemudian Manado, hingga akhir hayatnya di tahun 1864.
Begitu pula di Aceh.
Pada sekitar tahun 1873-1905 berkobar berbagai perlawanan yang dilakukan oleg
Teuku Umar ((1854-1899), Teuku Cik Ditiro (1863-1891), Cut Nyak Dien
(1848-1906), dan perlawanan-perlawanan lainnya dari tokoh-tokoh di Aceh seperti
Teuku Nyak Arif, Cut Meutia, Keumala Hayati, dan lain-lain.
Di antara
keterlibatan Islam paling jelas dalam melawan Belanda dan Portugis terjadi di
Maluku. Sultan Ternate III (Khairun) berhasil memukul mundur Portugis di
Maluku. Karena tidak sanggup lagi meneruskan peperangan, pihak Portugis
kemudian menugaskan Gubernur De Mosquita untuk melakukan negosiasi damai dengan
Sultan Khairun.
Permintaan damai
tersebut diterima dengan baik oleh Sultan Khairun dengan cara masing-masing
mengangkat kitab suci mereka. Sultan Khairun mengangkat Al-Qur’an, sedangkan
Mosquita mengangkat Injil.
Watak penjajah
tetaplah penjajah, mereka bagai serigala berbulu domba. Ternyata perjanjian
tersebut hanya semata-mata untuk menghentikan perang, tidak ada niat sedikit
pun bagi kolonial Portugis untuk berdamai. Hal ini terbukti ketika mereka
mengundang Sultan Khairun dalam sebuah perjamuan dan bersedia untuk datang.
Portugis telah menyiapkan algojo yang bersiap menikam.
Benar saja, ketika
Sultan Khairun sedang menikmati jamuan makan, tiba-tiba diserang dari belakang
dan ditikam hingga tewas. Sultan Khairun gugur dalam tipu muslihat yang
dilakukan oleh Portugis pada tahun 1570.
Begitu juga di Jawa
Barat terjadi perlawanan di Cilegon (1888) yang dipimpin oleh Kiai wasith dan
Kiai Haji Ismail. Meskpiun setiap perjuangan pahlawan-pahlawan Islam ini
berakhir menyedihkan, perlawanan terhadap Belanda di Cilegon ini tergolong
beruntung. Tidak sedikit pembesar Belanda yang berhasil ditumpas untuk
membebaskan masyarakat dari belenggu penjajahan. Namun di pihak Kiai Wasith dan
Kiai Haji Ismail juga banyak korban berjatuhan.
Terkahir dalam
tulisan ini ialah perjuangan KH Hasyim Asy’ari. Sesampainya di tanah air dari
belajarnya di Makkah, Kiai Hasyim menepati janji dan sumpahnya saat di
Multazam. Pada tahun 1899 M, beliau mendirikan Pondok Pesantren Tebuireng di
Jombang, Jawa Timur.
Dari pesantren ini
kemudian dihimpun dan dilahirkan calon-calon pejuang Muslima yang tangguh, yang
mampu memelihara, melestarikan, mengamalkan, dan mengembangkan ajaran Islam ke
seluruh pelosok Nusantara. Kiai Hasyim merupakan ulama abad 20 yang telah berhasil
melahirkan ribuan kiai. Ia juga yang berjasa membentuk laskar-laskar santri
yang siap berhadapan dengan penjajah.
Bukan hanya untuk
tujuan memperkuat ilmu agama, tetapi pendirian wadah pesantren itu juga untuk
melawan ketidakperikemanusiaan penjajah Belanda dan juga Nippon (Jepang).
Sejarah mencatat, hanya kalangan pesantren yang tidak mudah tunduk begitu saja
di tangan penjajah. Dengan perlawanan kulturalnya, Kiai Hasyim dan pesantrennya
tidak pernah luput dari spionase Belanda.
Langkah awal perlawanan
kultural yang dilakukan oleh pesantren menunjukkan bahwa pondok pesantren tidak
hanya menjadi tempat menempa ilmu agama, tetapi juga menjadi wadah pergerakan
nasional hingga akhirnya bangsa Indonesia mencapai kemerdekaan hakiki secara
lahir dan batin. Kemerdekaan ini tentu hasil perjuangan seluruh rakyat
Indonesia. Tetapi tentu saja peran ulama pesantren sebagai motor, motivator,
sekaligus negosiator tidak bisa dielakkan begitu saja.
Sebab, di masa Agresi
Militer Belanda II, KH Hasyim Asy’ari mengeluarkan fatwa Resolusi Jihad pada 22
Oktober 1945. Fatwa ini mampu menggerakkan rakyat Indonesia untuk melawan dan
mengusir penjajahan kembali oleh Belanda. Fatwa Mbah Hasyim tersebut
menggambarkan bahwa perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia merupakan kewajiban
agama. []
(Fathoni)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar