Mencermati Pola Migrasi Umat Islam
Oleh: Nasaruddin Umar
ISLAM dan dunia Islam semakin banyak menarik minat para pengamat
dan ilmuwan. Bukan saja karena agama ini semakin meluas penganutnya, tetapi
umatnya menampilkan berbagai hal yang memesona, meskipun ada juga segelintir
yang menampilkan hal-hal yang menakutkan orang lain. Fenomena perkembangan ini
diulas juga oleh John L Esposito dalam The Future of Islam, mantan Direktur
Center for Muslim-Christian Understanding (CMCU), Georgetown University,
Washington DC. Berdasarkan hasil penelitiannya ia menulis sebuah artikel
berjudul, Today, Islam is among the fastest-growing religions in Afrika, Asia,
and America. (Saat ini Islam adalah agama yang paling cepat berkembang di
Afrika, Asia, dan Amerika). Hal yang sama juga sering diungkapkan Hillary Clinton
dalam berbagai kesempatan ceramahnya di depan komunitas muslim, termasuk ia
ungkapkan juga ketika berkunjung ke Indonesia.
Yang menarik untuk dicermati dari dampak perkembangan ini ialah
pola migrasi umat Islam dalam dua dekade terakhir juga semakin luas. Eksodus
umat Islam ke negara-negara nonmuslim secara mayoritas menimbulkan kerumitan
ketatanegaraan tersendiri. Oliver Roy melihat adanya fenomena negara tanpa
bangsa dan persaudaraan tanpa negara (state without nation and Brothers without
state). Mungkin juga bisa dikatakan, adanya fenomena kebangsaan tanpa negara
(nations without state), karena dalam kenyataannya komunitas muslim yang
eksodus ke negara-negara nonmuslim dengan berbagai alasan dan kepentingan,
memang menciptakan melting pot tersendiri di dalam negara tujuan.
Eksodus umat Islam secara besar-besaran dalam dua dekade terakhir
ke negara-negara maju seperti di Eropa, Amerika, Australia, dan Asia Selatan,
disebabkan beberapa krisis di negeri asalnya. Ada dalam bentuk krisis politik
seperti penduduk Palestina yang tadinya memiliki 80% tanah hunian di kawasan
Jerusalem dan selebihnya Israel menghuni sekitar 20%. Tetapi kini terbalik,
penduduk Palestina hanya mendiami wilayahnya sekitar 20%, selebihnya diambil
alih Israel.
Akhirnya mereka terpaksa eksodus bersama keluarganya ke Eropa,
Amerika, dan Australia. Irak, Libanon, dan Iran yang pernah dilanda perang
saudara berkepanjangan memaksa warganya untuk mencari wilayah aman ke
negara-negara barat seperti AS, Kanada, Eropa, Ausralia, dan negara-negara
Skandinavia lainnya.
Pola migran lainnya bekas negara-negara jajahan negara maju pergi
mengadu nasib ke negara-negara bekas penjajahnya, seperti warga muslim di
kawasan Afrika seperti Maroko, Tunisia, Aljazair, Mesir, melakukan eksodus ke
Prancis. Demikian pula negara-negara muslim lainnya yang pernah dijajah Inggris
karena tekanan ekonomi, mereka berbondong-bondong memasuki Inggris. Belum lagi
mereka yang lari dan mencari suaka politik karena kekisruhan politik di
negerinya.
Yang lainnya, semula melanjutkan studi di negara-negara maju
tersebut, tetapi mereka tidak mau lagi kembali ke negerinya karena mereka
mendapatkan pekerjaan yang lebih layak di negeri tempat ia menyelesaikan
studinya. Warga bangsa Indonesia sendiri dikenal sebagai salah satu negara yang
penduduknya ada di berbagai negara maju. Di Rusia, Belanda, dan Yugoslavia
banyak sekali warga Indonesia yang tinggal beranak cucu di sana dengan
memanfaatkan kedekatan historis antara Indonesia dan negara-negara tersebut.
Bahkan sudah kawin mawin dengan warga negara setempat. Meskipun demikian rasa
keindonesiaan dan Islam yang berkeindonesiaan masih tetap dipertahankan di
sana. Bahkan hubungan emosional dengan warga leluhurnya di Tanah Air tetap
diungkapkan dalam berbagai bentuk, misalnya membangun makam keluarga, membangun
bangunan wakaf di negerinya, dan menziarahi secara rutin anggota keluarga
mereka.
Fenomena terakhir para migran Indonesia kembali membanjiri Amerika
dengan memanfaatkan kelonggaran peraturan AS yang memudahkan tenaga kerja profesional
masuk ke AS. Karena kaum industriawan AS yang saat ini mengalami kelesuan usaha
mereka, lebih senang mempekerjakan para pekerja asing, khususnya dari
Indonesia, yang mau digaji separuh dari karyawan warga AS dengan mutu kerja
yang tidak kalah dengan mereka.
Para pekerja asal Indonesia juga merasa senang karena walaupun
dibayar separuh dari gaji warga AS, tetapi masih jauh lebih baik daripada gaji
yang diterimanya di tempat lain, termasuk di Indonesia sendiri. Fenomena yang
mirip juga terjadi di sejumlah negara di Eropa dan Australia. []
MEDIA INDONESIA, 12 Januari 2018
Nasaruddin Umar | Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar