Rabu, 06 Januari 2016

NU dan Gaya Politik Ta’ridh (1)



NU dan Gaya Politik Ta’ridh (1)
Oleh: Syarif Hidayat Santoso

Alkisah, suatu hari Imam Syafi’i dihadapkan kepada Khalifah Harun Ar Rasyid. Dengan tegar dan ekspresi tanpa takut, Imam Syafi’i meski kedua kakinya dirantai mendahului mengucapkan salam, ”Assalamualaikum wabarakatuh”. Harun Al Rasyid pun mau tidak mau harus menjawab salam itu dengan jawaban sempurna, “Wa’alakum salam warahmatullahi wabarakatuh.”

Kata Imam Syafi’i kepada sang Raja, “Anda telah mengganti ketakutan saya dengan keamanan setelah anda menjawab salam saya dengan kalimat “warahmatullahi”. Berarti anda telah memberikan rahmat Tuhan tersebut kepada saya”.

Itulah diplomasi sederhana yang ditunjukkan oleh Imam Syafi’i. Gaya menyindir semacam itulah yang disebut "ta’ridh". Tulisan ini akan menunjukkan bahwa ta’ridh telah dipakai NU dalam langgam politik selama dua orde sebagai orde pendahuluan awal NU berkiprah yaitu orde penjajahan dan orde lama era kemerdekaan. Gaya politik khas NU itulah ternyata yang menjadi sebab terselamatkannya bangsa dan negara Indonesia.

Di era penjajahan, ta’ridh politik ini terlihat dari keputusan Muktamar NU Banjarmasin tahun 1935 ketika status tentang negara Indonesia diperdebatkan apakah termasuk negara Islam ataukah tidak. Keputusan Muktamar itu jelas menyebutkan bahwa Indonesia adalah negara Islam justru dengan logika yang sangat menarik yang berbunyi,” Indonesia dinamakan “negara Islam” karena telah pernah dikuasai sepenuhnya oleh orang Islam. Walaupun pernah direbut kaum penjajah kafir, tapi negara Islam tetap selamanya” (Ahkamul Fuqaha:177).

Logika yang diambil dari kitab Bughyah Al Mustarsyidin ini jelas menyebut Indonesia sebagai negara Islam meski statusnya dikuasai Hindia Belanda. Lalu, wawasan apakah yang didapat dari penyematan status hukum negara Islam dalam kasus Muktamar Banjarmasin? Jelas tiga karakter ta’ridh telah dipakai NU pada kasus ini. Pertama, Membangun wawasan Umat Islam bahwa negara Indonesia saat itu sebenarnya negara Islam tapi tak sempurna karena masih dikuasai Belanda. NU menyindir secara halus terhadap kaum muslimin utamanya nahdliyyin untuk menjadikan Indonesia seperti dahulu kala pada zaman kesultanan Islam yang memimpin negerinya sendiri dan ini akan terlihat pada Resolusi Purwokerto tahun 1946 yang berbeda dalam melihat status negara Islam.

Kedua, wawasan negara Islam bagi Indonesia yang dikooptasi Hindia Belanda sebenarnya demi menjaga maslahah umat Islam dan bangsa Indonesia secara umum. Jika Indonesia yang dikuasai Belanda tersebut adalah negara Islam, maka sebenarnya ini memberi rasa aman bagi para penguasa Belanda untuk tidak begitu menekan umat Islam dan membatasi gerak gerik NU. Penguasa Belanda menganggap NU sebagai mitra yang takkan pernah melawan. Padahal, disinilah hebatnya NU. Dengan gaya bahasa negara Islam tersebut, NU sebenarnya telah menghindari dusta politik terhadap Belanda yang dilarang agama. NU telah menjalankan perintah Nabi bahwa dalam ta’ridh terdapat jalan keluar dari kedustaan politik. NU telah menerapkan politik Nabi Ibrahim ketika diajak menyembah berhala, Ibrahim menjawab dirinya sakit padahal sebenarnya sehat. Pastinya, NU bukanlah pendukung Belanda tapi NU punya kepentingan menjaga keamanan umat Islam dan lancarnya konsolidasi pergerakan kemerdekaan. NU pun telah menjaga kemaslahatan kaum muslim secara umum. Dengan gaya bahasa ta’ridh “negara Islam”, NU lebih mudah bergerak dalam kungkungan penjajah.

Politik ta’ridh juga diperlihatkan dalam bentuk lain. Ini terlihat dari Resolusi Purwokerto yang ternyata tetap menyebut Indonesia sebagai negara Islam atau negeri Islam namun dengan semangat konfrontatif terhadap Belanda. Dalam Muktamar NU ke XVI di Purwokerto tahun 1946 dalam hal Menimbang disebutkan, 1. Bahwa Indonesia adalah negeri Islam dan  2.bahwa umat Islam di masa lalu telah cukup menderita kejahatan dan kezaliman kaum penjajah.

Namun, meski Indonesia adalah negeri Islam, Resolusi Purwokerto atau disebut di masa kini dengan Resolusi Jihad kedua menetapkan bahwa Belanda harus dilawan dan Resolusi ini menyertakan pula kaifiyah secara fikih bagaimana melawan Belanda seperti jarak 94 kilometer dari tempat musuh masuk maka hukum melawan Belanda adalah fardhu ain dan jarak diluar 94 kilometer adalah fardhu kifayah serta menjadi fardhu ain ketika pada jarak 94 kilometer yang pertama, umat Islam tak mampu melawan musuh. Hukum Islam di tangan NU menjadi fleksibel dan bermulti fungsi sesuai kondisi. Inilah elastisitas Aswaja yang mampu menjawab persoalan dengan sinergis.

Sifat berbeda antara keputusan Muktamar Banjarmasin yang menyebut Indonesia sebagai negara Islam meski dikuasai Belanda dengan Resolusi Purwokerto yang menyebut Indonesia sebagai negeri Islam tapi harus melawan Belanda adalah juga bukti tawazun yang berupaya menyerasikan masa lalu, masa kini dan masa depan atas dasar kepentingan menjaga bangsa dan negara. Gaya politik ta’ridh NU ini menuai sukses besar dengan terusirnya Belanda dari Indonesia. []

Syarif Hidayat Santoso, Kader NU Sumenep, alumni hubungan internasional FISIP Universitas Jember

Tidak ada komentar:

Posting Komentar