Jumat, 13 Juni 2014

Kang Said: Ikhtiar Manusiawi



Ikhtiar Manusiawi
Oleh: Said Aqil Siradj

ISRA Mikraj telah menjadi peristiwa historis dan fenomenal. Nabi Muhammad yang ditulis Alquran sebagai manusia biasa yang menggenggam wahyu ''ditamasyakan'' Allah ke ''dunia lain''. Di sana, Nabi menjumpai banyak kejadian yang bisa menjadi alat pembuktian bagi kebenaran ilahi.

Penganugerahan derajat kenabian belum cukup sebelum diperhadapkan dengan ''alam syahadah''. Seperti pula Nabi Musa yang diberi petunjuk Allah untuk belajar kepada Nabi Khidir. Dengan begitu, Nabi Musa tidak merasa paling benar sendiri.

Isra Mikraj merupakan mukjizat yang diberikan Allah bagi utusan-Nya.

Selama 14 abad nabi telah meninggalkan kita. Dan kita menerima ajaran nabi sebagai pandangan hidup dan pedoman bagi hidup sehari-hari.

Sementara itu, dunia dan kehidupan terus berjalan bagaikan lautan yang pasang surut. Pada zaman ''rasio instrumentalis'' terus mengepakkan sayapnya, segala hal bisa terjadi. Sejarah masih gamang untuk ditafsirkan puncak akhirnya.

Kapitalisme yang ditopang segala pranatanya dinujumankan sebagai ''puncak'' cita-cita kemanusiaan. Sementara itu, spiritualisme dengan segala rupanya juga kian memanjangkan langkahnya. Karena itu, orang yakin ada ''titik balik'' dari sejarah peradaban manusia.

Perjalanan Kemanusiaan

Isra Mikraj dapat dibaca bukan semata sebagai peristiwa teologis dan metafisis. Segala peristiwa keagamaan selalu menyimpan hikmah sosial-kemanusiaan. Misalnya, salat yang diperintahkan sejak Isra Mikraj bukanlah semata ibadah murni (ibadah al-mahdhah) yang melangit.

Salat mempunyai fungsi kemanusiaan, yakni melatih manusia untuk membersihkan jiwanya (tazkiah al-nafs) setiap waktu. Dengan kesucian jiwa, manusia diharapkan mampu mewujudkan reformasi jiwa yang akan membentuk tertib sosial.

Orang yang menjalankan pelatihan jiwa (riyadhah al-nafs) secara optimal tentu tidak akan mudah bertindak kriminal seperti korupsi. Sebab, dia selalu sadar bahwa tindakan korupsi akan menyengsarakan banyak orang serta berakibat pada hukuman dunia dan akhirat.

Agama ''hanya'' menyediakan petunjuk (nash) tentang perintah dan larangan yang semua demi kebaikan umat manusia. Jadi, mudah menjawabnya bila ada pertanyaan mengapa banyak yang tampak beragama tetapi gampang melakukan kejahatan atau korupsi.

Pendaratan petunjuk agama bergantung pada manusianya. Muhammad Iqbal menyatakan, Alquran tidak mempunyai kaki. Maksudnya, berjalannya petunjuk agama membutuhkan usaha manusia. Manusia adalah makhluk multidimensi. Dalam dirinya tersimpuh saling silang antara baik dan buruk. Nurani, akal, dan syahwat tak henti bertarung dalam dirinya.

Kaki manusia menginjak tanah, tidak mengawang di langit. Artinya, manusia berdiam dalam dunia yang secara sunatullah selalu berubah dan beragam. Perubahan serta keragaman itulah yang menjadi ''ujian'' bagi manusia untuk tetap berjalan pada prinsip-prinsip keilahian dan kemanusiaan.

Konflik sesungguhnya merupakan produk manusia sendiri. Manusia, seperti yang dinyatakan Alquran, memang memendam potensi konflik (ifsad al-dima'). Karena itulah, Tuhan menurunkan agama melalui rasul-Nya dalam rangka ''menyublimasi'' atau mengarahkan potensi buruknya ke arah kebaikan.

Karena itu, jelas-jelas tidak ada agama yang mengajarkan konflik atau membuat kekacauan. Kalau mereka yang melakukan tindakan anarkistis berdalih pada ajaran agama, sudah pasti pemahaman keagamaannya yang harus diralat.

Agama tidak dapat dipahami secara sepotong-sepotong, tetapi harus dimaknai secara menyeluruh. Bila hanya bersandar pada satu ayat, tanpa hirau pada ayat lainnya atau lebih menekankan pada tafsir tekstualis, mudah terjadi salah tafsir dan salah bertindak. Itulah salah satu problem internal keagamaan yang dewasa ini, tampaknya, tengah menjadi sorotan secara mondial.

Demikianlah, diturunkannya nabi senantiasa berhadap-hadapan dengan aneka warna sifat-sifat manusia. Kenyataan itu bagaikan sebuah teater peragaan yang dipertontonkan Tuhan antara kebaikan dan keburukan. Misi kenabian tampil untuk melawan dominasi, tirani keangkaramurkaan, atau kesewenang-wenangan struktur kekuasaan serta budaya barbarian. Itulah misi utama kenabian.

Isra Mikraj menjadi salah satu wahana bagi Nabi Muhammad untuk lebih dulu ''dicuci hatinya'' dalam menghadapi tantangan kenabiannya. Kekuasaan dan keangkuhan manusia akan terus bercokol yang bisa menjadi batu ujian untuk memperjuangkan panji-panji keilahian dan kemanusiaan.

Isra Mikraj pun mempertontonkan kemanusiaan nabi yang memerlukan persiapan melalui penatapan langsung realitas keilahian. Dengan cara begitu, nabi akan lebih matang dalam memperkuat basis perjuangannya.

Mengangkat Derajat

Isra Mikraj merupakan gambaran ikhtiar manusiawi untuk pelatihan diri guna mendaki puncak kemanusiaan dan spiritual (maqam al-'Ula). Manusia sesungguhnya mempunyai potensi untuk menaikkan ''derajat'' kediriannya. Artinya, kedirian manusia tidak stagnan, melainkan mampu ''diangkat'' pada derajat yang lebih tinggi dan itu melalui pelatihan secara kontinu.

Ritual-ritual yang disediakan agama sesungguhnya mengarah pada upaya untuk mengangkat derajat mental manusia. Secara praksis, ada tiga pelatihan diri. Yaitu, jihad (pelatihan fisik), ijtihad (pelatihan rasio), dan mujahadah (pelatihan batin). Ketiganya bersifat integrated system. Dengan pelatihan tersebut, manusia akan mereformasi dirinya sehingga mampu membangun nilai-nilai luhur yang berguna bagi peradaban.

Alhasil, hakikat Isra Mikraj berkesinambungan dengan misi profetis. Yakni, manusia dengan niat dan kesadarannya bisa mengolah jiwanya untuk menaiki (mi'raj) tangga kemuliaan jiwa. Betapa indahnya peringatan Isra Mikraj kali ini kita jadikan momentum reformasi jiwa demi meningkatkan martabat bangsa di tengah situasi negeri kita yang dilanda banyak tantangan. []

JAWA POS, 27 Mei 2014
Said Aqil Siradj ; Ketua Umum PB NU

Tidak ada komentar:

Posting Komentar