Senin, 30 Juni 2014

Kang Sobary: Kita Tidak Sedang Berperang



Kita Tidak Sedang Berperang
Oleh: Mohamad Sobary

Bahkan dalam suatu perang besar: perang saudara yang disebut Bharatayudha yang menentukan itu pun ada etikanya. Barang siapa ingin keluar sebagai pemenang, dia tak boleh curang, tak boleh melanggar etika, dan tak boleh memulai memancing-mancing kemarahan pihak “sana”.

Barang siapa lupa akan patokan-patokan etis itu, dia dan pihaknya akan menjadi yang kalah. Dalam hidup ini, menurut para empu kehidupan di negeri kita sendiri, sebetulnya ada pantangan agar kita tak terlibat di dalam suatu peperangan. Di mata para arif bijaksana itu, dalam perang kita “menang jadi arang” dan bila kita kalah, kita menderita lebih parah, lebih hancur-hancuran, “kalah menjadi abu”. “Menang jadi arang, kalah jadi abu” merupakan ajaran keluhuran hidup yang digemakan nenek moyang kita ribuan tahun lalu.

Di sini ajaran menyayangi kehidupan digarisbawahi secara tersirat, implisit, dan peperangan dikutuk. Kalah-menang dianggap merusak kehidupan. Dalam moralitas Buddha, sayang pada binatang, yang kelihatannya tak berguna pun, dijadikan keluhuran tingkah laku yang membawa kemuliaan derajat manusia. Dalam film The Next Karate Kid, Mr Miyagi merombak drastis sikap dan pandangan hidup Julie, yang menganggap menyayangi kecoa sebagai cara hidup yang “stupid”.

Dia bilang, kurang lebih: “It is stupid when nations fight in a war. It is not stupid if we respect toward life.”Ungkapan-ungkapan etis ini enak didengar, membawa rasa damai dan kenyamanan, serta bila kita mengamalkannya, buahnya akan luar biasa bagi hidup kita. Bila dalam perang pun kita diminta untuk tetap berperilaku luhur, apalagi sekadar dalam suasana kampanye dan persaingan politik untuk memenangkan pemilu. Kita sekadar sedang bersaing untuk menjadi presiden dan wakil presiden.

Persaingan itu hanya cara menunjukkan pada orang banyak bahwa kita yang layak menang, kita yang unggul dalam kompetensi maupun sikap dan wawasan politik. Untuk memperoleh penilaian bahwa kita yang unggul, apa yang harus ditempuh? Bila bahkan dalam perang pun kita dilarang curang, culas, bohong, dan melanggar kepantasan etis, kita boleh curang?

Dalam persaingan ini kita boleh bohong, mencemooh, dan memfitnah pihak “sana”, yang kita sebut mitra tanding, “mitra” bukan musuh? Kita meyakinkan orang banyak, yang kita harapkan menjadi pemilih, dan penentu kemenangan kita, dengan keluhuran sikap dan tindakan politik. Kalau kita menang dengan curang, kemenangan tak akan punya makna. Selama kita menjabat, kecurangan menghantui.

Selama kita memimpin bangsa, apa yang kita sajikan sebagai kebaikan kepemimpinan bila kita memenangkan kekuasaan dengan cara-cara yang tak direstui adat, tak dibenarkan etika, bahkan dikutuk kearifan hidup kita sendiri. Adat, etika, dan kearifan seolah tak ada lagi di tengah kita, tapi semua masih menjadi bagian dari kehidupan dan darah daging kita sendiri. Orang Jawa punya panduan etis: “becik ketitik, ala ketara”, artinya baik-buruk tindakan kita semua tampak jejaknya.

Budi baik berbuah baik, keburukan bakal menuai segala yang jahanam. Hukum-hukum kehidupan ini tak lenyap oleh perubahan sosial dan tak bakal rusak oleh apa pun yang terjadi. Mereka berada di atas segala kekuatan kemanusiaan. Mereka jaya di atas segala rekayasa yang meniadakan keluhuran hidup.

Selama masa kampanye rakyat dengan mata dan hati terbuka menilai. Mereka tahu siapa luhur, siapa durjana. Hidup memang tidak hitam-putih. Penilaian mereka pun tak hitam-putih. Dalam mengamati jalannya kampanye, dan memandang caracara para calonpemimpinitutampil ada kelegaan karena mereka menawarkan keteduhan dan harapan yang didambakan.

Tapi, ada pula rasa cemas dan khawatir tentang masa depan, bagaimana nasib mereka kalau para pemimpin sudah begitu curang dan saling “membunuh”, sambil berteriak tentang “kebangsaan” serta “persatuan dan kesatuan” . Kebangsaan apa yang bakal dicapai dengan sikap saling mencemooh, saling memfitnah, dan saling “membunuh” seperti itu? Kita lupa, ini hanya kampanye, hanya tahap perjuangan untuk memenangkan kursi presiden dan wakilnya. Kita lupa ini bukan perang.

Ini bukan permusuhan. Dapatkah elite-elite di kedua sayap yang berhadapan sebagai “mitra” persaingan itu mengingatkan kembali dan menata dengan lebih baik para tim suksesnya, para jurkamnya, dan para pendukungnya untuk tak mengejek pihak “mitra” sebelah sana agar kita, bila menang, kita menang dalam keanggunan, kita menang secara bersih, dan terhormat?

Lalu kita sendiri, capres dan cawapresnya, tampil dengan kesadaran bahwa kita pemimpin, kita orang besar, kita punya wawasan lebih baik dari banyak pihak, kita bertindak lebih terhormat. Dapatkah ini kita wujudkan dalam masa kampanye yang singkat ini? Calon pemimpin, mengapa tak mulai dari sekarang bersikap sebagai pemimpin, yang memberi arah, yang memberi kemungkinan dan pilihan-pilihan yang kaya, penuh perspektif, dan bukan sikap permusuhan? Kita ingin mewujudkan makna “persatuan” dan “kesatuan” bangsa.

Dengan apa itu diwujudkan bila sikap kita sudah tampak seperti berada di dalam suatu perang yang begitu kejam? Kompetensi teknis apa yang kita miliki? Kita nyatakan itu secara jelas dan terbuka. Kita bikin rakyat yakin bahwa kita memiliki sesuatu yang layak kita andalkan. Kita yakinkan rakyat bahwa kita memiliki suatu wawasan kebangsaan yang hendak kita semaikan di dunia pendidikan dan kemudian kita tanam dalam relasi-relasi di antara sesama bangsa kita dan dengan bangsa lain untuk menjadi penanda bahwa kita bangsa yang suka damai yang menghormati pluralitas budaya dan meluhurkan ajaran agama?

Para penonton, para pengamat, para juri, KPU, Bawaslu, media massa, semua mengamati kita dengan jernih. Tiap ucapan kita dicatat dan dinilai. Tiap sepak terjang kita direkam dan diabadikan. Kita tidak pernah berada di dalam gelap, di mana hanya kita yang ada. Tiap saat, tiap menit, tiap detik, kita dipantau. Mereka itu yang bakal menentukan kemenangan kita. Apa yang hendak kita tawarkan kepada dunia?

Di zaman serbaglobal ini kita tak pernah bisa memisahkan diri dari percaturan dua yang selalu menempel di lengan baju, di leher jas, di dasi, dan di sepatu kita. Dunia melekat di dalam diri kita. Jadi kita pun dipantau dunia. Kedamaian apa yang kita tawarkan pada dunia internasional? Keamanan, ketenteraman, dan jaminan bebas dari kaum teroris dan kaum radikal apa yang bisa kita tunjukkan pada dunia?

Bagaimana meyakinkan dunia bahwa kita bukan bagian dari kekerasan dan kerusuhan berbasis agama dan ideologi keagamaan? Bisakah kita menunjukkan pada dunia bahwa kita memang bangsa yang suka damai? Kita ingin memang.

Tapi, menang yang terhormat. Kita tak ingin kalah. Maka itu, kita harus tidak kalah dengan cara yang tak membuat pihak lain terinjak-injak. Kita tahu, kita tak sedang bermusuhan dengan siapa pun. Kita tahu, kita tidak sedang berperang. []

KORAN SINDO, 16 Juni 2014
Mohamad Sobary ; Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar