Rabu, 18 Juni 2014

Shambazy: “Fair Play, Please!”



“Fair Play, Please!”
Oleh: Budiarto Shambazy

SUNGGUH memprihatinkan perilaku Babinsa yang melancarkan intimidasi terhadap warga di Jakarta Pusat untuk memilih calon presiden tertentu. Semoga ini isolated incident yang tidak dialami warga lain. Wajar ada kecurigaan ”sensus Babinsa” dilakukan secara sistematis dan masif. Apalagi kita punya pengalaman buruk pada masa Orde Baru.

Ini pelanggaran berat terhadap netralitas TNI-Polri sejak kita mendongkel rezim otoriter sekaligus memilih jalan demokrasi tahun 1998. Apa pun alasannya, TNI-Polri jangan berpolitik praktis seperti pada masa Orde Baru. Beruntung KSAD Jenderal Budiman menegaskan akan mengusut tuntas sekaligus memecat siapa pun yang bertanggung jawab. Kita berharap penegasan ini bukan cuma janji. Terlebih lagi kita baru memasuki hari-hari awal kampanye yang akan berlangsung sekitar sebulan.

Sebelum kampanye dimulai 4 Juni lalu saja, situasi dan kondisi politik sudah memanas. Kampanye hitam/negatif gencar dilancarkan, baik di media sosial maupun media massa. Sekali lagi, kampanye negatif kadang kala memang boleh dimanfaatkan. Namun, kampanye hitam adalah fitnah belaka. Tiba-tiba kita menjadi bangsa yang permisif dalam politik. Serangan fitnah dilancarkan terbuka tanpa tedeng aling-aling lagi.

Serangan kampanye hitam paling mengerikan dilancarkan dengan menyebarkan iklan dukacita wafatnya calon presiden Joko Widodo. Selain itu, ada yang memalsukan surat yang seolah-olah ditulis Joko Widodo kepada Kejaksaan Agung.

Dalam surat itu, seolah Joko Widodo meminta penangguhan pemeriksaan Kejaksaan Agung sehubungan dengan dugaan korupsi bus transjakarta. Seperti diketahui, penyidikan korupsi ini sudah pada tahap penetapan tersangka mantan Kepala Dinas Perhubungan DKI Udar Pristono. Sebetulnya kedua kasus ini—iklan dukacita dan surat palsu—sudah dilaporkan ke pihak berwajib. Sayang, belum ada tindak lanjut dari aparat.

Serangan kampanye negatif juga dialami Prabowo Subianto. Karakter (kumpulan sifat-sifat) Prabowo yang dianggap negatif dibeberkan sampai terinci di ruang publik. Sampai-sampai ada sesama jenderal purnawirawan menguak hasil tes Prabowo pada masa lalu. Pendek kata, pembunuhan karakter Prabowo kebablasan.

Padahal, sifat-sifat tersebut belum tentu ada kaitannya dengan bekerjanya sebuah kepemimpinan nasional. Selalu ada beragam alat kontrol moral, politik, konstitusional, dan hukum terhadap kepala negara sebuah negara demokratis. Suka atau tidak, akhirnya pemilih akan mengamati karakter, rekam jejak, kepemimpinan, dan penguasaan atas berbagai masalah. Mereka kurang tertarik visi, misi, dan program.

Oleh karena itu, sebaiknya kubu Joko Widodo ataupun Prabowo Subianto mengurangi porsi serangan kampanye negatif terhadap karakter lawan. Dan, tentunya kampanye hitam mulai saat ini harus dianggap sebagai ”barang haram”.

Sekali lagi, banyak penelitian membuktikan bahwa kampanye negatif, meski menebalkan militansi pendukung loyal, justru mengalienasi undecided voters. Bahkan tidak jarang kampanye negatif menghancurkan capres penyerang karena serangan balasan datang bertubi-tubi.

Kalaupun melancarkan serangan kampanye negatif, manfaatkanlah metode contrasting. Para pendukung cukup mengelu-elukan kelebihan-kelebihan jagoan masing-masing, tanpa perlu mencela kekurangan-kekurangan lawan.

Memang belum ada istilah ”kampanye positif”. Tetapi, praktik politik yang lebih menekankan positivisme lebih ampuh untuk merebut suara. Dan, gejala tersebut sesungguhnya telah terlihat dalam pencapresan 2014 ini. Disadari atau tidak, mulai terlihat bagaimana kelompok-kelompok masyarakat kita makin sadar dalam memperjuangkan kepentingan masing-masing.

Ambil contoh kelompok-kelompok musisi atau pelawak yang mendekat ke kubu Joko Widodo ataupun Prabowo Subianto. Dalam deklarasi masing-masing sempat tercatat bahwa mereka memilih capres dengan harapan ada jaminan perbaikan profesi masing-masing.

Sekali lagi, kampanye negatif bak pedang bersisi dua. Kekhawatiran terbesar, kampanye negatif malah memicu reaksi yang bermusuhan (backlash), yang pada gilirannya meletupkan keterbelahan pada masyarakat.

Ya, masyarakat berada di ambang keterbelahan gara-gara urusan ”copras-capres”. Untuk apa kita mengadakan kenduri demokrasi jika akhirnya kita harus berdukacita? Padahal, kita pernah mengalami kompetisi frontal yang menghadapkan dua capres, Megawati Soekarnoputri melawan Susilo Bambang Yudhoyono pada putaran kedua Pemilu Presiden 2004. Alhamdulillah, situasi dan kondisi politik saat itu tak memanas.

Lagi pula dalam situasi dan kondisi yang terbelah seperti saat ini, mudah sekali bagi pihak ketiga ikut mengadu domba. Kita boleh bangga dengan demokrasi kita selama 16 tahun, tetapi di akar rumput masih banyak kalangan yang mudah disulut emosinya. Bukan rahasia lagi ada kelompok-kelompok anti keberagaman yang berpartisipasi aktif dalam Pemilu Presiden 2014. Salah satu akibat tak langsung adalah penganiayaan terhadap Direktur Penerbitan Galang Press Julius Felicianus di Yogyakarta.

Kalangan akar rumput itu mudah tersulut dengan isu-isu printilan. Akibatnya, isu-isu yang didengang-dengungkan kedua kubu tak lebih dari sekadar seberapa besar ketaatan beragama atau status jomblo capres. Ini aneh. Di negara mana pun syarat capres hanya usia minimal, tidak mengalami gangguan fisik, tak pernah dihukum, dan bisa tulis baca.

Saya masih optimistis sejarah pemilu atau pemilu presiden kita tak pernah diwarnai gonjang-ganjing politik. Sejak tahun 1955, lalu pada era Orde Baru, dan juga era Reformasi, pemilu dan pemilu presiden selalu berjalan aman dan damai.

Lagi pula sebentar lagi Piala Dunia 2014 di Brasil mulai 12 Juni sampai 13 Juli. Semoga Piala Dunia menjadi jeda emosional yang menghibur kita yang sudah amat dilelahkan oleh urusan ”copras-capres” ini.

Tolong jangan mengganggu siaran-siaran langsung televisi dengan iklan-iklan pencapresan yang pasti bikin penggemar sepak bola bete. Dan, bicara soal Piala Dunia, FIFA punya slogan agar pertandingan enak ditonton dan berjalan sportif. Slogan itu ”Fair Play, Please!” []

KOMPAS, 07 Juni 2014
Budiarto Shambazy ; Wartawan Senior Kompas

Tidak ada komentar:

Posting Komentar