Jumat, 06 Juni 2014

Kang Sobary: Elite Partai Bukan “Elite”



Elite Partai Bukan “Elite”
Oleh: Mohamad Sobary

Dalam kajian sosiologi ada ungkapan the rulling elite, merujuk suatu kelompok kecil penguasa di suatu nasyarakat atau suatu negara. Dalam pengertian ini, konsep “elite” memang berarti “elite”.

Ditinjau dari berbagai sudut kehidupan, misalnya tingkat pendidikan, kemampuan berpikir, keunggulan dalam leadership, keterampilan dalam tata pemerintahan, kecanggihan mengelola birokrasi, maupun cara dan tingkat hidup sosial, ekonomi maupun politik kelompok tadi, kelompok tersebut memperlihatkan keunggulan yang tak dimiliki kelompok-kelompok lain.

Apabila kita berbicara mengenai kualitas moral, kelompok “elite” dalam banyak hal telah lebih teruji dibandingkan kelompok-kelompok lain.

Lebih lagi bila merujuk secara khusus mengenai kapasitas moral kalangan “elite” di masyarakat tradisional yang kehidupannya berdasarkan tatanan komunal. Di masyarakat ini, kualitas moral kaum “elite”-nya jelas sangat hebat dan tak tertandingi pihak-pihak lain yang merupakan warga biasa di masyarakat tadi.

Ringkasnya, kualitas mereka dalam berbagai ukuran melampaui—sering jauh sekali—kemampuan mayoritas warga masyarakat umumnya. Di sini, “elite” ya “elite”, tak ada suatu golongan mana pun yang menandinginya.

Di masyarakat, sering ditemukan media menyebut ungkapan elite partai. Makna “elite” di sini tidak sama dengan makna the ruling elite atau “pasukan elite”. Orang partai rata-rata tak berkeunggulan yang demikian kompleks dan mendalam dibandingkan mereka yang bukan berasal dari suatu partai.

Tingkat pendidikan mereka tak lebih dari yang dimiliki masyarakat. Banyak di antara warga terdiri atas mereka yang justru sangat elite dan mencapai tahapan tertinggi di bidang tersebut.

Kaum intelektual, golongan terpelajar, para profesor, dan para ahli dalam berbagai bidang keilmuan, mana bisa disamai tingkat pendidikannya dengan orang partai pada umumnya? Bahkan kita tahu, banyak orang partai yang tampak compang-camping bila bicara mengenai pendidikan.

Kapasitas leadership mereka sering bukan apa-apa. Umumnya, mereka hanya pandai berbicara, tapi dalam urusan leadership” mereka tak selalu memiliki kapasitas lebih dibandingkan mereka yang tak berasal dari partai.

Apalagi, orang partai yang tak memiliki latar belakang organisasi sosial keagamaan, dengan sendirinya juga tak pernah belajar mengenai leadership dan kepemimpinan umat.

Pengalaman dan kapasitas dalam mengelola birokrasi pun tak usah ditanyakan. Mereka sering bukan apa-apa dibandingkan kalangan lain, yang bahkan sering serbalebih intens dan lebih luas pengalaman maupun pengetahuan teknisnya di bidang birokrasi.

Bagaimana kelebihan dalam sisi kehidupan moral mereka? Moral apa? Banyak orang partai yang hidupnya tak pantas dijadikan suriteladan. Orang dari partai agama sekalipun, yang tiap saat sok saleh dan kadang sok suci, nyatanya bukan contoh yang patut dianggap pemimpin.

Orang dari partai agama mencuri uang rakyat dan hidup mewah, mau menjadi contoh macam apa? Saya kira, ini contoh terbaik bila kita bicara mengenai kerusakan moral, dekadensi moral, dan kebobrokan moral.

Dengan ukuran-ukuran di atas, mudah diperlihatkan bahwa elite partai itu bukan “elite” sama sekali. Di partai-partai politik, kita temukan kualitas manusia yang—mohon maaf beribu maaf—rendah dan sangat rendah.

Hilang Idealisme

Ada hal lain yang patut dibicarakan di sini, yaitu idealisme. Ada orang partai yang mulanya diterima menjadi anggota suatu partai karena pernah disebut idealis. Tapi begitu berada di partai, idealismenya rontok berkeping-keping.

Orang yang ketika mahasiswa kelihatan radikal dan mungkin tak terlalu sengaja berani berseberangan dengan pemerintah, kelihatannya begitu mentereng. Orang seperti ini dianggap baik oleh partai.

Tetapi begitu menjadi anggota DPR dan menikmati hidup yang jauh dari bayangan semula—hidup yang ternyata nyaman dan mudah sekali—orang jenis ini segera menjadi kelompok mapan, lupa akan perjuangan, dan lebih suka memanjakan diri dengan kehidupan kelas menengah.

Orang jenis ini bisa saja dijadikan bagian elite partai, tetapi jelas bukan bagian “elite” dalam masyarakat. Kita tahu, di masyarakat, orang dengan kualitas macam ini sangat mudah ditemukan di setiap pojok jalan maupun halte-halte bus.

Kenyataan lain, ada orang baik dengan kualitas politik dan sosial yang baik, tapi tak mau menjadi anggota partai dan tak mau memasuki jalan politik resmi di parlemen. Ini membuat kehidupan partai menjadi lebih parah. Hanya orang kurang baik dengan kualitas apa adanya yang ada di partai. Ini sama sekali bukan kondisi ideal yang diinginkan.

Demi keadilan, ada dua catatan penting di sini. Pertama, tampaknya aspek pendidikan tak boleh terlalu ditonjolkan. Di suatu partai, asal orang memiliki wawasan kebangsaan yang sehat, visi politik kerakyatan yang kuat, dan terlatih hidup jujur, dan siap menerima bagian ekonomi apa adanya, kurang di segi pendidikan tak terlalu menjadi persoalan.

Kedua, banyak orang partai yang sungguh-sungguh hebat. Pemikiran politik dan wawasan ideologi mereka mentereng. Kemampuan mereka melakukan pendekatan dan lobi-lobi politik sulit dicari tandingannya. Mereka pun memiliki banyak keunggulan dalam kapasitas pengelolaan program dengan warga. Pemikiran dan pendekatan politik mereka sangat tepat menjadi bagian dari yang mungkin kita sebut pendidikan politik bagi warga negara.

Agak disayangkan, orang jenis ini menjadi terlalu cemerlang di partainya sehingga entah mengapa, mereka tak dijadikan bagian elite partai tadi. Tampaknya, pemimpin partai lebih menyukai orang yang penurut, tertib, sopan, tanpa terlalu peduli kapasitasnya dalam banyak hal rendah “ndah”. Begitulah watak birokrasi. Di partai, di pemerintahan, di lembaga swadaya masyarakat, di dunia bisnis, kelihatannya sama saja, dengan beda-beda kecil di sana-sini.

Kondisi ini semakin meneguhkan jarak antara konsep dan realitas hidup, bahwa elite partai bukan “elite”. Mereka hanya “elite” di merek, di status, dan di konsep. Kenyataan hidup sehari-hari, tak ada yang memperlihatkan bahwa mereka “elite”. []

SINAR HARAPAN, 07 Mei 2014
Mohamad Sobary ; Budayawan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar