Rabu, 25 Juni 2014

Yudi Latif: Pancasila di Tengah Kampanye Hitam



Pancasila di Tengah Kampanye Hitam
Oleh: Yudi Latif

APA yang kita persengketakan ini tidak jelas juntrungannya. Jika kemenangan ini benar-benar demi rakyat, mengapa harus diraih dengan menipu rakyat lewat muslihat kabar kebohongan?

Negara ini tak bisa dipimpin oleh kebohongan. Sekali kita menggunakan kebohongan sebagai cara meraih dan mempertahankan kekuasaan, manipulasi dan destruksi menjadi tak terelakkan sebagai praktik memimpin. Hasil akhir dari tindak kebohongan ini adalah pengabaian rakyat dan ketidakpercayaan secara berkelanjutan.

Dalam beberapa tahun terakhir, wacana publik jumbuh dengan ungkapan keprihatinan terhadap cara memimpin dengan siasat kebohongan. Sedemikian mengguritanya praktik manipulatif di negeri ini sehingga darah dan tulang negara ini bukan lagi merah dan putih, melainkan hitam. Kita tidak tahu lagi pihak mana yang bisa dipercaya karena berbagai kasus dan usaha penanganannya penuh dengan rekayasa kebohongan.

Tibalah kita pada fase sejarah yang murung. Di negeri ini, kebohongan dan korupsi tidak saja telah menjelma menjadi kategori moral kolektif tersendiri, tetapi juga menjadi pilar utama negara. Dengan korupsi dan kebohongan sebagai pilar utama, setiap usaha memperjuangkan pemerintahan yang bersih, transparan, dan akuntabel seperti menegakkan benang basah. Kehidupan publik tak punya landasan untuk bisa saling percaya.

Di republik yang penuh dusta dan manipulasi, persahabatan madani sejati hancur. Setiap warga berlomba mengkhianati negara dan sesamanya; rasa saling percaya lenyap karena sumpah dan keimanan disalahgunakan; hukum dan institusi lumpuh tak mampu meredam penyalahgunaan kekuasaan. Ketamakan dan hasrat meraih kehormatan rendah merajalela. Akhirnya, timbul kematian dan pengasingan: kebaikan dimusuhi, kejahatan diagungkan. Krisis multidimensi membayangi kehidupan negeri.

Kita menginginkan kepemimpinan baru untuk memulihkan kepercayaan di ruang publik. Namun, ibarat keledai yang terperosok ke lubang yang sama untuk kedua kalinya, cara kita menyongsong kepemimpinan baru ini terjebak dalam spiral kebohongan yang sama.

Upaya meraih dukungan pemilih dilancarkan melalui gugusan kampanye hitam. Di balik keelokan visi-misi calon presiden-calon wakil presiden yang bertabur jargon keagungan Pancasila, jaringan tim kemenangan dibiarkan merancang dan menyebarluaskan kabar dusta. Serangan kampanye hitam ini bak anak panah yang dibiarkan menembus perisai terdalam Pancasila yang berpotensi mematikan dasar kebersamaan hidup.

Dalam aksi ini, tak segan nama Tuhan diseru untuk tujuan kebiadaban. Pemulihan rasa saling percaya lenyap ketika agama yang seharusnya membantu manusia menyuburkan cinta kebenaran, rasa kesucian, kasih sayang, dan perawatan (khalifah) justru memantulkan kebohongan dan kekerasan zaman dalam bentuk penghilangan tabayun (pengecekan kebenaran informasi) dan seruan permusuhan.

Gempa besar yang menimpa fundamen etis dan nilai spiritual bangsa ini membuat rumah kebangsaan rusak pada sistem pertahanan terdalamnya. Sejatinya, untuk keluar dari krisis kepercayaan, suatu bangsa tidak hanya memerlukan transformasi institusional, tetapi juga membutuhkan transformasi spiritual yang mengarahkan warga bangsa pada kehidupan etis penuh welas asih. Dalam proses transformasi ini, seperti ditekankan Karen Amstrong dalam The Great Transformation (2006), persoalan agama tak berhenti pada apa yang kita percaya, tetapi terutama pada apa yang kita perbuat. Karena itu, agama perlu lebih menekankan pentingnya komitmen etis dengan menempatkan moralitas pada jantung kehidupan spiritualitas.

Pentingnya visi spiritual berdimensi etis sebagai jangkar eksistensi bangsa disadari sepenuhnya oleh pendiri bangsa. Dalam Pembukaan UUD 1945 terdapat pengakuan yang rendah hati dan rasa syukur bahwa kemerdekaan Indonesia bisa dicapai ”Atas berkat rahmat Allah Yang Mahakuasa”. Menurut Mohammad Hatta, dengan pengakuan ini, pemenuhan cita-cita kemerdekaan Indonesia untuk mewujudkan suatu kehidupan kebangsaan yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur mengandung kewajiban moral. Kewajiban etis yang harus dipikul dan dipertanggungjawabkan oleh segenap bangsa bukan saja di hadapan sesamanya, melainkan juga di hadapan Tuhan Yang Mahakuasa.

Lebih lanjut, Bung Hatta menyatakan, Ketuhanan Yang Maha Esa tidak hanya dasar hormat-menghormati antar-pemeluk agama, tetapi juga jadi dasar yang memimpin ke jalan kebenaran, keadilan, kebaikan, kejujuran, dan persaudaraan. Dengan demikian, fundamen moral menjadi landasan dari fundamen politik (dari sila kedua sampai kelima).

Nilai-nilai ketuhanan yang dikehendaki Pancasila, meminjam istilah Bung Karno, adalah nilai-nilai ketuhanan yang berkebudayaan dan berkeadaban, yakni nilai-nilai etis ketuhanan yang digali dari nilai profetis agama yang bersifat inklusif, membebaskan, memuliakan keadilan dan persaudaraan; ketuhanan yang lapang dan toleran yang memberi semangat kegotongroyongan dalam rangka pengisian etika sosial dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Memulai prosesi pengundian calon presiden-calon wakil presiden tepat di hari kelahiran Pancasila, 1 Juni, semestinya menerbitkan fajar keinsafan bagi calon pemimpin bangsa dan tim suksesnya untuk berkampanye dengan tegak lurus di atas nilai-nilai Pancasila. Politik yang luhur tidak hanya mempersoalkan mana yang menang dan untungnya, tetapi juga mempertanyakan secara mendasar ”apa yang benar” berdasarkan moral Pancasila. []

KOMPAS, 03 Juni 2014
Yudi Latif ; Pemikir Kebangsaan dan Kenegaraan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar