Senin, 16 Juni 2014

Shambazy: Kampanye Hitam/Negatif



Kampanye Hitam/Negatif
Oleh: Budiarto Shambazy

KETERLALUAN kampanye hitam alias fitnah tentang Joko Widodo yang beredar di media sosial dua pekan terakhir. Fitnah itu dibingkai dengan iklan dukacita memberitakan Jokowi wafat.

Itu fitnah pertama. Fitnah kedua, iklan itu menyebutkan Jokowi sebagai warga Tionghoa. Dan, fitnah ketiga, dia beragama Katolik.

Masih merasa tidak cukup, ditulis pula nama lengkap istrinya. Lalu paling bawah ada pula ucapan turut berdukacita dari Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Megawati Soekarnoputri.

Sepanjang ingatan, inilah kampanye hitam paling kasar yang mungkin pernah terjadi dalam sejarah pemilu presiden. Jokowi menyebut serangan ini yang paling mengesalkan dibandingkan dengan serangan-serangan sebelum ini.

Istilah kampanye hitam (black campaigning) sudah tidak dikenal lagi di negara-negara demokrasi yang masyarakatnya terbuka. Sama juga dengan black election (pemilu curang) yang juga sudah jadi ”barang rongsokan” karena tidak kompatibel dengan demokrasi.

Jangankan kampanye hitam, negative campaigning (kampanye negatif) saja sudah lama ditinggalkan. Alasannya sederhana, kampanye hitam atau negatif memukul balik (backfire) kubu politik yang diduga melancarkannya.

Hal itu karena simpati justru bertambah untuk mereka yang menjadi korban kampanye hitam/negatif tersebut. Celakanya, simpati itu berpotensi datang dari undecided voters yang biasanya menjadi segmen terbesar suara yang menentukan hasil pemilu presiden.

Sesungguhnya, fitnah yang ditujukan kepada Jokowi ini bisa dijadikan momentum untuk menghentikannya dan membuat kampanye pemilu-pemilu presiden lebih berkualitas. Sayang perbuatan konyol terkesan dibiarkan saja.

Tidak ada pejabat pemerintahan atau penyelenggara pemilu-pemilu presiden yang peduli. Padahal, tak terlalu sukar melacak siapa gerangan yang melancarkan perbuatan tak senonoh itu.

Sebetulnya perbuatan yang mirip pernah dilakukan saat kampanye Pilkada DKI Jakarta yang lalu. Kita tahu, rupanya isu-isu SARA itu tetap saja dimanipulasi untuk tujuan-tujuan politik.

Dengan kata lain, tetap akan ada pihak-pihak yang tak bertanggung jawab yang akan melakukannya di pemilu presiden mendatang. Biasanya pihak-pihak yang panik yang membabi buta melancarkan fitnah-fitnah kejam.

Mereka berharap yang dinamakan dengan hail Mary. Targetnya mengharapkan dukungan yang berbalik dari pemilih korban fitnah pada injury time.

Terlihat kasatmata, kampanye hitam/negatif kini lebih mengerikan dibandingkan dengan 2004. Tahun 2004, pesan pendek telepon seluler jadi alat penyebar efektif untuk menyerang.

Masih segar dalam ingatan, ada ratusan pesan pendek lalu lalang selama kampanye 2004. Walau kocak, pesan-pesan itu membuat kesal.

”Diam-diam, ada yang bikin poll ttg capres Amerika, dgn sampel 3.000 orang scr random. Hasilnya, yg diinginkan rakyat AS sbg presiden mrk adl SBY”, tulis sebuah pesan. Ada pula pesan pendek yang mengatakan, mayoritas wakil rakyat terpilih Partai Demokrat bukanlah Muslim.

Wiranto terkena getah setelah Mayjen (Purn) Kivlan Zein menguak tabir Pamswakarsa. Sebelum itu muncul kampanye menyebut Wiranto bertanggung jawab atas Tragedi Mei 1998.

Megawati terkena ”fatwa haram” Nahdlatul Ulama, yakni haram bagi warga Muslim dipimpin perempuan. Sebelum itu sebutan ”moncong putih” bagi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dipelintir jadi ”celeng putih” atau ”wong cilik” jadi ”wong licik”.

Lain lagi nasib Hasyim Muzadi, calon wakil presiden yang berpasangan dengan Megawati. Ia diberitakan terkena penyakit lumpuh.

Ada juga pihak-pihak yang mengeluarkan pernyataan mengancam mereka tidak akan bertanggung jawab jika ada massa yang mengamuk karena jagonya gagal. Ngeri, kan?

Mengapa terjadi saling kampanye hitam/negatif? Penyebabnya hanya satu, yakni politisi memiliki kecenderungan berbohong, baik kepada orang-orang lain maupun kepada dirinya.

Mengapa politisi suka bohong? Untuk menjawabnya sebaiknya bertanya langsung kepada para politisi yang Anda kenal.

Sudah menjadi teori universal tak ada politisi yang tak menyimpan rahasia hitam pada masa lalu. Dan, biasanya, yang namanya bau busuk pada akhirnya bakal menebar ke mana-mana.

Itu sebabnya lebih baik buka rahasia sebelum nyaleg atau nyapres. Kampanye akan lebih tokcer jika tak ada lagi rahasia di antara kita.

Contohnya, Bill Clinton dan Barack Obama mengaku pernah menikmati narkoba saat muda. Beda dengan George W Bush yang alkoholik dan berbohong tentang itu.

Clinton dan Obama diakui sebagai pemimpin jujur dan presiden sukses. Beda dengan Bush yang dianggap tak jujur dan presiden gagal yang kini bak hidup dalam pengasingan.

Lebih penting lagi, kampanye hitam/negatif subur di dalam masyarakat yang lebih percaya takhayul daripada fakta dan gemar konspirasi daripada bukti. Itu barangkali realitas yang tak mengenakkan yang kita hadapi pada saat ini. []

KOMPAS, 17 Mei 2014
Budiarto Shambazy ; Wartawan Senior Kompas

Tidak ada komentar:

Posting Komentar