Rabu, 04 Juni 2014

Mahfud MD: Suara Terbanyak Itu Kehendak Legislatif



Suara Terbanyak Itu Kehendak Legislatif
Oleh: Moh Mahfud MD

Dalam perjalanan pulang ke Tanjung Barat, Selasa 6 Mei 2014, sekitar jam 20.00 WIB, saya mendapat SMS dari kawan baik saya, aktivis PDI Perjuangan, Eva Kusuma Sundari.

”Semoga anda nonton ILC di TV One saat ini,” demikian pesan Eva. Acara ILC malam itu membahas pemilu legislatif yang disimpulkan sebagai pemilu paling buruk dalam sepanjang sejarah Republik Indonesia. Kecurangan terjadi secara masif, dilakukan oleh kontestan, oleh petugas pemilu seperti PPS, PPK, dan oleh para pemilih. Di ILC itu ada yang menyalahkan MK karena memutuskan pemberlakuan suara terbanyak dalam pemilu legislatif.

Katanya, MK harus bertanggung jawab atas problem politik dan hukum ini. Soal MK harus bertanggung jawab itu sudah pasti dan itu sudah dilakukan sejak Pemilu 2009. MK telah mempertanggungjawabkan vonisnya itu secara profesional sehingga tak perlu membela-bela diri. Tapi, kalau menyatakan dengan begitu saja bahwa MK yang memberlakukan pemilu dengan suara terbanyak itu tentulah keliru bahkan salah.

Pemberlakuan itu sebenarnya kehendak lembaga legislatif, DPR dan pemerintah, seperti yang dituangkan di dalam Undang-Undang (UU) Nomor 10 Tahun 2008. MK hanya mencoret frasa (bagian kalimat) dari isi UU itu yang sangat tidak adil bagi kontestan. Coba diperiksa kembali isi UU itu.

Melalui Pasal 214 butir a, b, c, d, dan e UU No 10 Tahun 2008 lembaga legislatif (pemerintah dan DPR) telah menetapkan ketentuan yang pada pokoknya calon anggota legislatif (caleg) terpilih ditentukan berdasar suara terbanyak dengan ambang bilangan pemilih pembagi (BPP) yang harus dilewati. Dalam rincian pasal dan ayat-ayat yang panjang Pasal 214 itu, intinya, menentukan, ”Anggota legislatif terpilih ditetapkan berdasar suara terbanyak di antara para caleg yang mendapat suara lebih dari 30% BPP di setiap daerah pemilihan (dapil)”.

Jadi, penentuan suara terbanyaknya ditetapkan pembuat UU sendiri, sedangkan MK hanya membatalkan ketentuan syarat 30% karena dirasa sangat tidak adil. MK akhirnya hanya mencoret ketentuan ”diantara mereka yang mendapat suara lebih dari 30% BPP” karena ambang minimal tersebut tidak ada bagi para caleg. Adapun ketentuan suara terbanyaknya itu ketentuan yang sejak awal dibuat DPR dan pemerintah di dalam sistem ”proporsional setengah terbuka.”

Di mana tidak adilnya? Misalkan di sebuah daerah pemilihan ada empat caleg dari Partai Kembang Api masing-masing dengan nomor urut 1) Aldo; 2) Mirna; 3) Ali; 4) Eli. Di dapil tersebut ada tujuh kursi yang diperebutkan, sedangkan jumlah pemilihnya sebanyak 1.750.000 orang sehingga BPPnya sebesar 250.000.

Misalkan Aldo mendapat 5.000 suara, Mirna mendapat 4.000 suara, Ali mendapat 70.000 suara, dan Eli mendapat 74.500 suara, maka berdasar ketentuan UU No 10 Tahun 2008 itu, jika Partai Kembang Api mendapat dua kursi, maka yang terpilih menjadi anggota DPR adalah Aldo (dengan 5.000 suara) dan Mirna (dengan 4.000 suara).

Dalam konfigurasi perolehan suara seperti itu, Eli yang mendapat 74.500 suara tidak bisa terpilih menjadi anggota DPR karena meskipun suaranya jauh lebih banyak daripada perolehan Aldo dan Mirna, suara Ali tidak mencapai 30% dari BPP (30% dari 250.000) yakni sebesar 75.000 suara. Bukankah ini tidak adil? Maka itu, Mahkamah Konstitusi menghapus ambang batas 30% tanpa menghapus keharusan suara terbanyak yang telah ditetapkan DPR dan pemerintah di dalam UU No 10 Tahun 2008.

Jadi, yang memberlakukan sistem suara terbanyak itu bukan MK, melainkan DPR dan pemerintah. Sedangkan MK hanya menghapus persyaratan ambang batasnya (30%) yang jelas-jelas tidak adil. MK menegaskan di dalam putusannya bahwa pemilu sistem proporsional tertutup (nomor urut), proporsional terbuka (suara terbanyak), dan sistem distrik adalah konstitusional. DPR boleh memilih yang mana saja sebagai opened legal policy.

Tetapi, sistem proporsional setengah terbuka dengan ambang 30% tidaklah adil. Menurut MK, boleh saja pembentuk UU memberlakukan sistem proporsional tertutup maupun sistem distrik asalkan pemilih tahu, yang akan jadi anggota DPR itu berdasar nomor urut ataukah berdasar suara terbanyak.

Perlu ditegaskan, pemilu dengan sistem proporsional dengan nomor urut atau proporsional terbuka penuh bukan tidak berisiko dengan penyelewengan. Berdasar pengalaman pada masa lalu, sistem nomor urut juga banyak diselewengkan dengan misalnya dominasi elite struktural parpol atau orang-orang yang dekat dengan pengurus parpol untuk menempati nomor-nomor kecil (peci).

Banyak orang yang tak dikenal masyarakat tiba-tiba ditempatkan di nomor urut 1 atau 2, sedangkan orang-orang yang populer hanya dijadikan vote getter. Tetapi, setelah melihat semua pengalaman, menggunakan sistem proporsional terbuka dan proporsional tertutup, sangat terasa bahwa mudaratnya lebih banyak terjadi pada sistem proporsional terbuka (sistem suara terbanyak).

Sebab itu, akan menjadi lebih baik untuk pemilu yang akan datang kita kembali saja ke sistem proporsional tertutup alias sistem nomor urut. []

KORAN SINDO, 10 Mei 2014
Moh Mahfud MD ; Guru Besar Hukum Konstitusi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar