Kamis, 26 Juni 2014

Kang Said: Darurat Terorisme



Darurat Terorisme
Oleh: Said Aqil Siradj

MUSIM darurat telah tiba. Derasnya berbagai persoalan yang menggerojok seakan telah menobatkan negeri kita sebagai ”negeri darurat”.
Ada darurat bencana, darurat kemacetan dan banjir, darurat korupsi, darurat kekerasan dan intoleransi, darurat kejahatan seksual, dan sekarang ada darurat terorisme. Ungkapan darurat terorisme muncul kembali setelah belum lama ini terbit buku bertajuk Darurat Terorisme, Kebijakan Pencegahan, Perlindungan dan Deradikalisasi” yang ditulis oleh Mayjen Agus Surya Bakti, Deputi I Badan Nasional Penanggulangan Terorisme.

Pertanyaan pun layak dilayangkan, benarkah negeri kita berada dalam situasi darurat terorisme? Ini setidaknya memercikkan aroma ”horor” setara mencekamnya dengan situasi saat masyarakat dikagetkan oleh kasus kejahatan paedofilia yang terjadi belakangan ini. Kasus sekolah internasional di Jakarta dan kasus seorang tersangka yang telah melakukan aksi paedofilia terhadap ratusan anak membuat masyarakat tercekam rasa was-was.

Horor yang mengintai

Seusai hiruk pikuk pemilu legislatif dan saat ini masyarakat tengah menanti Pemilihan Presiden 9 Juli mendatang, hawa panas terus menyengat. Berbagai siasat demi memenangkan ”presiden pilihan rakyat” terus digerakkan. Sampai-sampai kampanye hitam saling bersahutan memekakkan keheningan sosial.

Di balik gemerlap dan riuh pemilu, diam-diam aparat kepolisian melalui Densus 88 menangkap tiga terduga teroris di Klaten, Jawa Tengah. Aksi berlanjut dengan penangkapan Ramuji, anggota kelompok Santoso-Eka yang beraksi di Poso. Mereka ini diduga akan menggelar amaliyah bom bunuh diri bertepatan dengan penyelenggaraan Pilpres 9 Juli 2014. Polisi juga menangkap terduga teroris Galih Satria di Desa Wonocoyo, Trenggalek, Jawa Timur. Penangkapan juga dilakukan terhadap dua terduga teroris di Nusa Tenggara Barat yang diduga merupakan sel baru. Perburuan kawanan teroris Poso, terutama Santoso, masih berlangsung.

Seiring dengan gigihnya aparat kepolisian menangkap dan memburu teroris, tiba-tiba masyarakat tersentak oleh aksi kekerasan yang dilakukan sekelompok orang terhadap Direktur Galang Press di Yogyakarta saat di rumahnya diadakan kebaktian. Yogyakarta makin panas dengan kejadian susulan perusakan atas bangunan rumah ibadah umat Kristiani di Dusun Tanjungsari dan Dusun Pangukan, Sleman.

Tampaknya terorisme dan kekerasan berparas agama saling berkelindan dan bahu-membahu dalam mengayunkan aksinya. Dua wajah kekerasan tersebut sama-sama bersendikan pada sikap intoleransi, antipati, dan kebencian terhadap segala hal yang ”berbeda rupa”. Perbedaan di antara keduanya memang ada. Terorisme bersifat klandestin, beraksi secara mendadak dan langsung menghancurkan dengan senjata api atau bom terhadap sasaran yang dituju, baik korban manusia maupun bangunan fisik. Kekerasan beraroma agama lazimnya dilakukan secara terbuka, berkelompok, dan bisa juga massal terhadap sasaran yang dibidik meski sering juga dilakukan aksi dadakan, seperti pada kasus Yogyakarta. Kekerasan model ini juga bisa terang-terangan seperti pada kasus penyerangan di Monas, beberapa waktu lalu, yang dilakukan oleh sekelompok orang beratribut tertentu.

Metamorfosis gerakan

Kita terus dihadapkan dengan apa yang kerap disebut radikalisme. Ada indikasi radikalisme, yaitu respons terhadap kondisi yang sedang berlangsung. Biasanya respons tersebut muncul dalam bentuk evaluasi, penolakan, atau bahkan perlawanan. Masalah-masalah yang ditolak dapat berupa asumsi, ide, lembaga, atau nilai-nilai yang dipandang bertanggung jawab terhadap keberlangsungan kondisi yang ditolak. Tak berhenti pada upaya penolakan, radikalisme terus berupaya mengganti tatanan tersebut dengan bentuk tatanan lain. Ciri ini menunjukkan bahwa di dalam radikalisme terkandung suatu program atau pandangan dunia tersendiri. Kaum radikalis berupaya kuat untuk menjadikan tatanan itu sebagai ganti dari tatanan yang ada. Sikap radikal mengandaikan keinginan untuk mengubah keadaan secara mendasar.

Radikalisme muncul dari turunan sikap ghuluw, yaitu bentuk ekspresi manusia yang berlebihan dalam merespons persoalan hingga mewujud dalam sikap-sikap di luar batas kewajaran kemanusiaan. Dari elemen sikap ini lalu memunculkan sikap tatharruf, yaitu sikap berlebihan karena dorongan emosional yang berimplikasi terhadap empati berlebihan dan sinisme keterlaluan dari masyarakat. Akhirnya, dari kedua sikap ini akan melahirkan sikap irhab. Ini yang terlalu mengundang kekhawatiran. Sebab, bisa jadi membenarkan kekerasan atas nama agama atau ideologi tertentu. Irhab adalah sikap dan tindakan berlebihan karena dorongan agama atau ideologi. Teroris disebut irhabi/irhabiyyun, karena mereka menempuh jalan kekerasan (al-’unuf) demi mencapai tujuan politis mereka (al-ahdaf al-siyasiyah).

Pasar ideologi

Negeri kita saat ini secara kasat mata tengah dibelit oleh maraknya berbagai kelompok keagamaan dalam wujud puritan dan radikal. Kelompok-kelompok ini secara terang-terangan mendaratkan aksinya dengan kedok dakwah yang lurus sesuai dengan orisinalitas zaman Nabi Muhammad. Dakwah mereka sering bertabrakan dengan tradisi keagamaan yang mainstream.

Demikianlah, negeri kita sedang berada dalam situasi pasar bebas ideologi. Kebebasan ekspresi pada era reformasi ini telah dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok keagamaan yang dengan gagah berani menolak Pancasila dan UUD 45 serta mudah sekali mengecap thoghut terhadap segala hal yang berbau NKRI. Negara sudah tak punya daya dan wibawa. Sebuah organisasi keagamaan kecil yang tampak terorganisasi dengan rapi, misalnya, malah mendapat perlindungan dari pejabat negara. Padahal, dalam setiap pengajian mereka terus mendakwahkan penyesatan terhadap kelompok Islam lainnya dan bahkan mengejek simbol-simbol negara.

Yakinlah bahwa kondisi darurat makin menajam selama kelompok-kelompok ini bebas melakukan kegiatannya. Aksi kekerasan dan bahkan terorisme sulit dibendung. Intoleransi akan terus terjadi dan menorehkan warna kelam terhadap kebinekaan. Kita tentu tak ingin ada kelompok ala Boko Haram atau Assyabab yang sangat puritan dan radikal seperti di Nigeria dan Somalia. []

KOMPAS, 09 Juni 2014
Said Aqil Siradj ; Ketua Umum PBNU

Tidak ada komentar:

Posting Komentar