Rabu, 25 Juni 2014

Sindhunata: “Torero” dari Belanda



“Torero” dari Belanda
Oleh: Sindhunata

Andaikan sepak bola seperti tinju, Belanda sudah berkali-kali juara. Dalam tinju, penantang langsung menyandang sabuk juara bila ia mengalahkan juara bertahan. Dalam sepak bola, Belanda sering mengalahkan juara bertahan Spanyol. Namun, karena bola bukan tinju, mereka pun tak bisa mengangkat piala juara.

Sejak 1974, ketika Johan Cruyff dan kawan-kawan menurunkan Brasil dari takhta juara dunia dengan skor 2-0 (satu-satunya kekalahan Brasil di putaran kedua Grup A yang membuat Brasil gagal ke final), dalam 10 pertandingan berikutnya melawan juara dunia, 4 kali Belanda menang, 6 kali seri, dan tak pernah kalah. Kendati sudah menggebuki juara dunia, selama kurun 40 tahun itu, Belanda toh tak pernah jadi juara dunia.

Tragisnya, tiga kali mereka menapakkan kaki dalam pertandingan final, tiga kali itu pula Belanda gagal menjadi juara. Belanda lalu terkenal sebagai spesialis juara kedua. Syukur tragika mereka itu masih disertai dengan kebanggaan lain,
yakni ”pembunuh juara dunia”. Predikat ini ternyata terbukti sekali lagi ketika tanpa ampun mereka melindas Spanyol, juara dunia 2010, telak, 5-1.

Mimpi buruk bagi juara dunia. Belanda telah menempeleng kami. ”Penghinaan terhadap Juara Dunia di Hadapan Dunia Global”. ”Awal Terjelek dalam Sejarah Sepak Bola Spanyol”. Demikian komentar-komentar pers Spanyol terhadap kekalahan telak ”La Furia Roja” dalam laga pertama Grup B Brasil 2014 di Stadion Salvador, Jumat (13/6) malam.

Memang malam itu Spanyol bagaikan banteng yang jinak
di hadapan Belanda. Dan siapakah el torero, sang petarung, paling gagah yang dapat menjinakkan banteng itu? Dia adalah Robin van Persie. Melihat aksi Van Persie, pantas jika ada fans Belanda menggambarkan Van Persie sebagai torero dan Spanyol sebagai banteng. Banteng itu diselubungi bendera Spanyol dan Van Persie berkostum torero menggoda banteng itu dengan kibaran bendera oranye, sampai kelihatan si banteng kelelahan dan kehabisan daya.

Karena sundulan maut, disertai aksi terbang yang fantastis, Van Persie juga mendapat julukan baru: the flying dutchman. Dia burung atau pesawat terbang? Begitu puja-puji fans ”Oranye”. Memang pada menit ke-44 itu penonton disuguhi pemandangan spektakuler.

Daley Blind berlari membawa bola ke tengah, lalu mengumpan lambung jauh ke depan. Didorong oleh intuisinya yang tajam, Van Persie melakukan sprint, melompat, lalu menyorongkan tubuh sambil kepalanya menanduk bola umpan. Aksinya selaksana terbang. Kemudian ia ”mendarat”, tak tahu apa yang terjadi, tapi ketika mendongak sedikit, ia melihat sundulannya telah berbuah menjadi gol. Ia pun lari menghampiri pelatih Louis van Gaal. Mereka pun saling memberi toss kemenangan.

”Belanda bermain dengan sensasional. Gol Van Persie adalah bukti, ia mempunyai kepercayaan diri luar biasa,” komentar mantan pemain Inggris yang kini menjadi analis bola, Alan Shearer. Menurut Shearer, di samping Van Persie dan Arjen Robben, Daley Blind harus disebut sebagai pemain yang brilian. ”Pertandingan malam itu sesungguhnya bisa berakhir 7-1 atau 8-1 untuk Belanda,” tambah Shearer.

”Saya tahu, kami akan menang. Tapi saya sendiri tidak mengira, kami akan menang dengan demikian banyak gol,” kata Louis van Gaal dengan penuh percaya diri. Van Gaal sangat bahagia karena dengan kemenangan yang spektakuler itu, ia sekaligus telah membungkam para pengkritiknya selama ini.

Dengan berani, Van Gaal meninggalkan permainan klasik Belanda yang 4-3-3. Ini berarti, ia tidak lagi bertumpu pada sistem sepak bola yang total menyerang. Sistem yang khas Belanda itu digantinya dengan sistem 5-3-2 yang mengunggulkan pertahanan dan membangun serangan secara bertahap.

Seperti ditulis oleh kolumnis Christian Eichler, putusan Van Gaal ini dikecam keras, misalnya oleh Ronald Koeman, libero Belanda yang meraih Piala Eropa 1988, dan Arie Haan, gelandang tim legendaris Belanda di Piala Dunia 1974. Van Gaal dianggap telah melakukan ”dosa asal”, kesalahan yang tak terampuni, karena melanggar dogma sepak bola Belanda. Haan menuntut Van Gaal untuk kembali kepada sistem 4-3-3 dan mempertahankan total football-nya.

”Dengan memainkan sistem itu, kami kembali pada identitas kami. Sejak 1974, sepak bola Belanda dikenal dengan tata sistemnya yang ofensif, dan sungguh suatu dosa asal, bahwa 40 tahun kemudian sistem yang khas kami itu dibuang begitu saja ke luar jendela,” kata Haan.

Kendati muncul pelbagai kritik, Van Gaal bergeming pada keputusannya. ”Sistem yang saya ambil adalah sistem yang memperhitungkan kekuatan dan kelemahan para pemain saya,” katanya. Menurut dia, sistem itu cocok untuk kesebelasannya karena secara faktual, dalam beberapa dekade ini, para pemain Belanda hanya rata-rata kemampuannya.

Melawan Spanyol di Piala Dunia 2014, kesebelasan Belanda memang memperlihatkan watak berbeda. Pertahanan mereka sangat kokoh, dan kelihatan bagaimana Robben dan Sneijder dengan cepat berbalik ke belakang begitu pertahanan mereka digedor oleh Iniesta dan kawan-kawannya. ”Saya tidak tergoda oleh kritik yang menantang kami untuk bermain ofensif. Saya ingin agar kesebelasan saya bermain kompak. Bagi saya, soalnya tidak terletak pada sistem, tapi pada pemberian diri setiap pemain, yang menjalankan sistem yang telah kami pilih,” kata Van Gaal.

Van Gaal sangat kukuh pendiriannya. Pantas jika pers mengatakan Van Gaal telah mendengarkan opini banyak pakar bola, tapi baginya hanya ada satu pakar bola yang harus ia patuhi, dan pakar bola itu tak lain adalah Louis van Gaal.

Sampai saat ini Van Gaal hanya bisa dibenarkan. Pantas jika karena kemenangannya yang gemilang atas Spanyol, fans Belanda menggambarkan dirinya dan memberinya nama: Jesus van Gaal. []

KOMPAS, 15 Juni 2014
Sindhunata ; Wartawan Senior, Pemimpin Redaksi Majalah Basis

Tidak ada komentar:

Posting Komentar