Rabu, 11 Juni 2014

NU Usul SOB Diberlakukan Secara Pertiele Opheffing



NU Usul SOB Diberlakukan Secara Pertiele Opheffing

Sejak diberlakukannya SOB (Staat van Oorlog en Beleg) atau Undang-Undang Negara dalam Keadaan Bahaya (UUKB), 14 Maret 1957 menyusul terjadinya pemberontakan militer daerah seperti di Sumatera Barat, Sumatera Utara dan Sumatera Selatan, maka kehidupan politik tidak berlaku normal lagi.

Celakanya keadaan bahaya itu diberlakukan tak hanya di Sumatera, tetapi di seluruh wilayah Indonesia. NU Menilai tindakan yang dipimpin Kol. Simbolon dan Let Kol. Ahmad Husein yang haus kekuasaan itu membuat segala kehidupan politik nasional berjalan secara darurat dan diliputi rasa tidak aman.

Aparat keamanan sebagai pemegang kekuasaan darurat, sering kali merasa bebas melakukan tindakan di luar jalur hukum. Apalagi sejak Masjumi dan PSI melibatkan diri dalam pemberontakan daerah itu pada Februari 1958 yang kemudian mendirikan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), akibatnya penerapan UUKB semakin ketat, tidak hanya dirasakan pemberontak, tetapi dialami oleh seluruh rakyat Indonesia. Semua kegiatan partai politik dan ormas dikontrol oleh penguasa militer. Kegiatan dakwah juga dibatasi. Tidak jarang para tokoh politik ditangkap dengan dalih korupsi atau subversi, beberapa tokoh NU menjadi korban fitnah atau salah tangkap dalam kasus ini.

Kondisi serba darurat seperti itu dirasa NU sangat menyesakkan kebebasan berpolitik dan mengganggu kreativitas sosial dan budaya. Karena itu banyak keluhan disampaikan oleh berbagai pengurus NU di berbagai daerah tentang kondisi yang mencekam itu.

Dengan adanya desakan itu maka PBNU melalui anggotanya di Dewan Pertimbangan Agung (DPA) yaitu Kiai Wahab Chasbullah dan KH Idham Chalid, mengusulkan pada DPA yang diketuai sendiri oleh Bung Karno agar kedaan darurat itu tidak diberlakukan secara nasional, melainkan diterapkan secara partiele opheffing (secara terbatas) yakni daerah yang bergolak saja. Selanjutnya ketika situasi daerah sudah relatif aman status UUKB juga harus dikurangi secara graduele opheffing (secara bertahap), agar kehidupan sosial politik kembali normal.

Usulan dari PBNU itu diterima baik oleh DPA, sehingga kemudian dimaterialisir oleh Dewan Kabinet dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang nomer 23/1959. Dengan demikian suasana kehidupan sosial politik menjadi sedikit lega. Bung Karno sendiri sangat terkesan oleh jalan tengah yang diusulkan NU untuk mengatasi keadaan darurat itu, dan akan mengusulkan pada tentara agar secara bertahap keadaan bahaya itu dikurangi. Sikap politik NU memang tidak konfrontatif, tidak pula bertopang dagu membiarkan semuanya terjadi tanpa kontrol. Tetapi tetap bersikap kritis, sehingga berbagai gagasan perbaikan system politik bisa diterima oleh pemerintah terutama oleh Bung Karno sendiri.

Dari situ ketika membentuk Kabinet Kerja Presiden Soekarno terinspirasi untuk membentuk Menteri Penghubung Alim Ulama, karena para ulama banyakan memberikan berbagai pemikiran cerdas dan kreatif, sehingga pemerintah selalu membutuhkan nasihatnya. Informasi ini disampaikan sendiri oleh Bung Karno saat membuka Muktamar NU ke 22 tahun 1959. []

(Abdul Mun’im DZ)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar