Kamis, 19 Juni 2014

(Ngaji of the Day) Menolak "Berkumpul" dengan Suami yang Mabuk



Menolak "Berkumpul" dengan Suami yang Mabuk

Pertanyaan:

Bagaimana hukum istri menolak dikumpul / jima’ oleh suaminya yang dalam keadaan mabuk minuman keras, dan bolehkah ia mengunci pintu, dengan alasan menganggap merendahkan martabat wanita, dan mengkhawatirkan suami melakukan tindak kekerasan rumah tangga yang tidak bisa diduga sebelumnya karena di bawah pengaruh mabuk. Dan bukankah permintaannya bukan dari keinginan pikiran sadar yang menjadi dasar hukum? Trimakasih atas jawabannya.

Abdullah Hamid, Jl.Karanganyar RT 12B/5 Desa Dorokandang Lasem Rembang Jateng

Jawaban:

Pada dasarnya ketika seorang suami meminta berhubungan badan, maka sang istri harus memenuhi keinginannya karena itu merupakan haknya. Sedang kewajiban istri adalah memenuhi kewajibannya. Jika sang istri menolak maka penolakan tersebut merupakan tindakan yang akan mendapatkan kutukan para malaikat sampai waktu pagi.

Yang demikian ini jika penolakan tersebut dilakukan dengan inisiatif penuh dari pihak istri dan tanpa alasan yang bisa dibenarkan (al-‘udzr asy-syar’i). Hal ini berarti jika terdapat alasan (‘udzr) seperti suami dalam keadaan mabuk, maka sang istri boleh menolak ajakan suami untuk melakukan hubungan badan, bahkan mengunci pintu kamar karena diyakini akan menyakitinya.

وَعَلَى الزُّوْجَةِ طَاعَةُ زَوْجِهَا إِذَا دَعَاهَا إِلَى الْفِرَاشِ، وَلَوْ كَانَتْ عَلَى التَّنُّوْرِ أَوْ عَلَى ظَهْرِ قَتَبٍ، كَمَا رَوَاهُ أَحْمَدُ وَغَيْرُهُ، مَا لَمْ يُشْغِلْهَا عَنِ الْفَرَائِضِ، أَوْ يَضُرَّهَا؛ لِأَّن الضَّرَرَ وَنَحْوَهُ لَيْسَ مِنَ الْمُعَاشَرَةِ بِالْمَعْرُوْفِ (وهبة الزحيلي، الفقه الإسلامي وأدلته، دمشق-دار الفكر، الطبعة الثانية، 1405 هــ/ 1985 م، ج، 7، ص. 335

“Seorang isteri wajib mentaati suaminya ketika sang suami mengajaknya untuk melakukan hubungan badan meskipun ia sedang memanggang roti di tannur (alat memanggang roti) atau ia sedang di atas punggung pelana onta sebagimana yang diriwayatkan Imam Ahmad dan selainyna, sepanjang hal itu tidak membuatnya mengabaikan kewajiban agama atau tidak menyakitinya. Sebab, sesuatu yang menyakiti dan semisalnya bukanlah termasuk dari mu’asyarah bil ma’ruf” (Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Damaskus-Dar al-Fikr, cet ke-2, 1405 H/1985 M, juz, VII, h. 335).

Selanjutnya apabila suami sudah tidak mabuk dan kondisi sudah membaik maka hendaknya sang istri memberikan nasehat dengan cara yang baik dan santun kepada sang suami. Disamping itu juga berdoa agar diberi kesabaran serta mendoakan suami agar segera mengakhiri kebiasaan buruknya. []

Mahbub Ma'afi Ramdlan
Tim Bahtsul Masail NU

Tidak ada komentar:

Posting Komentar