Senin, 23 Juni 2014

Kang Sobary: Kampanye Pemilu, Kampanye Damai



Kampanye Pemilu, Kampanye Damai
Oleh: Mohamad Sobary

Di benak anak-anak, kampanye mungkin fenomena menggembirakan. Gemuruh suara motor di jalan-jalan raya, teriakan-teriakan, bendera dan simbolsimbol partai yang begitu meriah, bisa jadi dianggap hiburan.

Siapa tahu bahkan dianggap pendidikan politik dan sosialisasi mengenai kesadaran tentang hak-hak politik yang ditanamkan sejak dini. Mengenal warna bendera, dan simbol partai, apalagi mendengar pidatopidato yang bagus di lapangan maupun di layar televisi, membuat anak merasa dunianya menjadi lebih lebar. Jargon-jargon politik, termasuk yang sebenarnya tak punya makna apapun karena jargon hanya berhenti di kata-kata,membuat khasanah kehidupan anakanak makin komplet.

Bagi anak-anak yang tak mengerti makna sesungguhnya kampanye, warna bendera partai, simbol-simbol partai, pidato dan jargon politik, hirukpikuk kampanye itu sudah membuat mereka ”memilih” yang terbaik menurut ukuran dan cita rasa sederhana dalam ”frame” dunia anak-anak. Mereka ”memilih” partai karena warna bendera, karena sesuatu yang meriah, karena bunyi-bunyi yang memikat hati.

Begitulah dunia anak-anak. Begitu mereka mengenal sejak awal kegembiraan kampanye, semangat partai dan kegigihan para politisi meneriakkan inti perjuangan partainya, dan hubungannya dengan cita-cita kesejahteraan masyarakat. Anakanak tak harus mengerti kata per kata secara harfiah, apalagi makna simbolisnya. Dalam ketidakmengertian itu, mereka sudah berpartisipasi untuk memeriahkan kehidupan politik.

Bagi kaum remaja, kampanye memiliki makna lebih luas lagi. Mereka sudah paham ”platform” perjuangan partai. Mereka pun mengerti mana partai terbaik untuk dipilih. Mereka sudah memiliki suatu idealisme tertentu, meskipun barangkali rumusannya tidak fokus, tidak politik dan tidak pula bersifat ideologis.

Tapi ada satu hal yang lebih jelas: pada mereka sudah muncul fanatisme. Bisa saja kita menyebutnya fanatisme ”naif ”. Bisa saja kita memberinya ”label” fanatisme samar-samar, karena kemungkinan besar mereka memang belum begitu paham buat apa fanatisme itu, dan apa artinya di dalam kehidupan sosialnya.

Fanatisme, samar-samar atau jelas, tetap fanatisme. Fanatisme ”naif” maupun fanatisme ”rasional” sering membawa konsekuensi tak terduga, dan tak masuk akal. Di kalangan kaum remaja maupun orangorang dewasa, fanatisme membuat mereka bersedia bertengkar dengan tetangga sendiri, bahkan berkelahi hingga babak belur, dan melibatkan perkelahian kelompok, yang tak bakal membawa hasil apa pun kecuali kesadaran di kemudian hari, bahwa sebetulnya mereka tak perlu berkelahi.

Di kemudian hari mereka makin sadar, bahwa kampanye, hingga tahapan pemilunya, tak membawa perubahan berarti bagi hidup mereka. Ada atau tak ada kampanye dan pemilu, hidup mereka tak berubah. Ini membuat mereka lebih sadar lagi, dengan kesadaran rasional, bukan ”naif”, bahwa berkelahi dengan sesama warga kampung, warga RT atau RW, sungguh tak masuk akal.

Tapi dalam kampanye dan pemilu lima tahun berikutnya, perkelahian seperti itu terjadi lagi karena fanatisme yang sama. Mereka yang terlibat perkelahian mungkin bukan orang-orang yang dulu itu, karena fanatisme sudah berpindah ke pihak lain, dan boleh jadi diwarnai ”darah panas” dan kentalnya ideologi, yang sebetulnya juga tak mereka pahami baik-baik.

Partai-partai, dan pribadi-pribadi yang ikut menyelenggarakan kampanye dan menjadi peserta pemilu, mungkin sebaiknya merasa bertanggung jawab atas situasi seperti itu. Mungkin langkah ada langkah-langkah yang bisa diambil para politisi untuk menghindari kerusuhan seperti itu. Kampanye itu usaha meyakinkan masyarakat bahwa suatu partai memiliki ideologi jelas, dengan program kerja yang juga jelas.

Ini yang harus dipaparkan secara persuasif, dan simpatik kepada khalayak ramai sehingga kampanye memang berarti pendidikan. penyadaran, dan bujukan secara terhormat, dan mulia. Politisi harus bisa ”mengarahkan” jalan pikiran orang banyak, dengan kemampuan komunikasinya yang hebat. Juga dengan ideologi dan program yang punya makna ”pembebasan” bagi kebanyakan warga yang hidupnya masih terus menerus terbelenggu kesukaran dan kemiskinan tak ada ujung.

Politisi harus bisa dengan tegas, membuat kemiskinan umum punya batas, di mana pada suatu periode sejarah tertentu, yang miskin berubah menjadi tidak lagi miskin. Ini mungkin arti pembebasan sejati, yang disebut di atas. Menang memang menjadi tujuan dalam pemilu, sesudah kerja keras dalam kampanye dan persiapan panjang sebelumnya.

Tapi dilihat dari perspektif yang lebih luas, bukan kata ”menang” itu yang terpenting, melainkan pendidikan politik. Syukur bila proses pendidikan itu sendiri telah membuka kesadaran politik sebagai warga negara yang bertanggung jawab, dan memiliki wawasan kebangsaan yang tidak bisa dianggap remeh.

Jika beginilah yang dianggap sebagai unsur terpenting di dalam kampanye dan pemilu, apa gunanya kita menjelekkan lawan politik? Apa gunanya memfitnah, dan balas memfitnah pihak lain, yang kita sebut musuh politik? Permusuhan yang sebenarnya tak penting sama sekali ini tak bisa dilupakan begitu saja.

Di seluruh dunia permusuhan dalam politik terjadi di saat kampanye, pemilu dan di hari-hari sesudahnya. Apakah karena itu terjadi di seluruh dunia, kita lalu menganggapnya wajar? Apakah permusuhan itu kemudian kita terima dengan baik sebagai bagian dari dinamika politik? Mungkin tidak. Mungkin sekali kita bisa menyelenggarakan kampanye dan pemilu yang lebih bermutu, lebih edukatif, lebih bersahabat.

Drama anak-anak, yang naskahnya ditulis oleh sastrawan terkemuka, Danarto, lebih dua puluhan tahun lalu, menggambarkan kampanye meriah, lucu dan bersahabat. Pada suatu hari, partai A yang berkampanye di suatu tempat. Tapi partai B dan C diundang semua. Para tokoh partai A berpidato dengan berapi-api, penuh semangat, dan para tokoh partai B dan C berebutan melayani tokoh partai A yang sedang berpidato mengampanyekan programnya itu.

Minuman diantar ke podium. Oleh wakil partai B, handuk diantarkan oleh wakil partai C. Bahkan wajah tokoh partai A dilap dengan handuk itu. Dengan kaget, tokoh itu turun dari podium dan menari, sambil bergumam; lho , kok dilayani, lho, kok dilayani. Dan rombongan penari makin banyak. Tokoh-tokoh partai A turun dan menari. Kemudian para tokoh partai B dan C pun ikut memeriahkan tarian itu. Sastrawan Danarto bergurau.

Tapi ada nuansa kedamaian tertentu yang bisa kita petik, dan siapa tahu bisa pula diamalkan dalam kampanye. Bisa saja kita menyebutnya kampanye damai. Ada kampanye damai? Ada, kalau kita mau mengadakannya. Kalau Pak JK hadir di kampanye Pak Hatta, dan beliau menyeka wajah Pak Hatta yang berkeringat, dengan persahabatan tulus, apa salahnya?

Dan betapa mulia bila ketika Pak JK sedang berpidato, Pak Hatta mengantarkan untuknya segelas minuman segar? Barangkali ini tampak seperti lelucon, tapi apa salahnya sebuah lelucon diwujudkan di dalam suatu politik adiluhung, penuh kebenaran dan warna moral, dalam sebuah kampanye damai. []

KORAN SINDO, 30 Mei 2014
Mohamad Sobary ; Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar