Rabu, 25 Juni 2014

Apresiasi NU terhadap Kebudayaan Minang



Apresiasi NU terhadap Kebudayaan Minang

Politik penjajah yang divide et impera (memecah belah) itu tidak ingin adanya kesatuan yang akan mengarah pada kekuatan untuk menumbangkan koloninya. Karena itu bangsa ini dipecah per etnis seolah tidak ada titik temunya. Dikatakan misalnya NU itu organisasinya orang Jawa, sehingga seolah di luar Jawa tidak ada organiasasi ini, sehingga mereduksi kekuatan NU.

Memang NU banyak mengapresiai kebudayaan Jawa, tetapi pada saat yang sama juga mengapreasiasi kebudayaan yang lain misalanya Bugis, Banjar, Minang dan sebagainya. Karena pada dasarnya NU lahir untuk mengukuhkan kebudayaan Islam Nusantara. Maka sebenarnya NU itu adalah Islam Nusantara, karena dasar keislaman di Nusantara adalah yang dikukuhkan dan perjuangkan NU.

Sebagai contoh ketika NU mengharamkan memakai celana dana dasi yang merupakan produk Belanda, kemudian disusul dengan anjuran pemakaian pakaian tradisi yang bahannya diproduksi di dalam negeri. Ini mengandung semangat Swadesinya Gandhi. Dengan demikian produksi sarung, produksi tenun dan border berkembang. Itulah politik kebudayaan NU yang ditetapkan dalam Muktamar Surabaya. Lebih penting lagi mental bangsa tidak dibelandakan.

Sebagai kelanjutannya NU dalam Muktamarnya yang ke-13 di Menes Banten tahun 1938 menganjurkan para santri dan remaja puteri NU untuk memakai pakaian tradisi Minangkabau sebagaimana yang diperagakan oleh seorang pejuang wanita asal Minang yaitu Rangkayo Rasuna Said. Dengan anjuran Itu hampir semua remaja puteri terutama para siswa dan santriwati ramai-ramai memakainya. Apalagi saat itu Rasuna Said namanya sedang ngetop ketika ditangkap dan dipenjara oleh Belanda di Semarang. Dengan memakai kerudung itu para ulama NU tidak hanya bermaksud melestarikan tradisi Minang tetapi juga mengobarkan semangat juang yang dipelopori wanita itu.

Pemakaian adat dari berbagai etnis, misalnya pemakaian sarung Samarinda, peci Bugis, beskap Palembang atau Sunda merupakan wujud sebuah persatuan adat yang melahirkan kesatuan Budaya yang akan melahirkan kesatuan cita-cita politik. Strategi budaya itu tidak cukup terendus oleh Belanda sehingga bisa berjalan aman. Belanda baru terkejut ketika perjuangan kemerdekaan kaum santri muncul sebagai kekuatan melawan mereka, mereka dihimpun melalui organisasi keagamaan yang diikat secara kultural dalam bentuk tradisi termasuk cara berpakaian.

Karena pakaian itu dianjurkan maka penggunaannya menjadi massif bahkan secara resmi menjadi salah satu seragam di berbagai pesantren dan madrasah di lingkungan NU di seluruh Nusantara yang dikenal dengan baju kurung atau pakaian Minang yang terus berkembang hingga akhir tahun 1970-an bahkan awal 1980-an itu di kalangan remaja puterinya, sementara di kalangan gadis dan orang tua menggunakan kebaya Jawa. Tetapi pertengahan 1980 tradisi ini berangsur hilang ketika terjadi revolusi Iran di mana semangat revolusinya antara lain revolusi berpakaian melanda seluruh dunia Islam, sehingga kemudian jilbab mulai diperkenalkan, jubah mulai dipakai wanita Indonesia. Saat itu kerudung atau pakaian Minang mulai tak kelihatan, demikian juga kebaya Jawa sudah mulai hilang.

Islam lokal tergerus oleh revolusi Iran. Islam dipersatukan dalam budaya Timur Tengah, sehingga presiasi terhadap tradisi lokal terkikis, dan ini mebuat terkikis pula industri tenun dan border nasional. Sementara di sisi lain masuk juga peradaban Barat dengan pakaian yang serba mini dan ketat, sebagian umat Islam juga mulai menggunakan pakaian Barat, sehingga pakaian tradisional Jawa, Minang, Bugis, Sunda dan sebagainya sirna dan hanya dipakai pada upacara adat yang itu belum tentu dilakukan setahun sekali. Politik kebudayaan seperti dalam Muktamar di Surabaya dan Muktamar Menes itu perlu dirumuskan kembali sehingga identitas dan kepribadian NU sebagai Islam Nusantara bisa diperkuat kembali. []

(Abdul Mun’im DZ)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar