Selasa, 24 Juni 2014

Satrawi: Republik Mesir III



Republik Mesir III
Oleh: Hasibullah Satrawi

CALON presiden Mesir, Abdel Fattah El-Sisi, menang telak dalam pemilihan presiden yang digelar akhir Mei lalu. Komisi Pemilu Mesir dalam pengumuman resmi hasil pemilihan, Selasa (3/6), mengatakan, Sisi mendapatkan hampir 97 persen suara. Pesaing Sisi, Hamdeen Sabahi, mendapatkan kurang dari 4 persen (sekitar 800.000) dari total 25 juta suara yang berpartisipasi, 47 persen pemilih dari total 53 juta rakyat Mesir yang mempunyai hak suara.

Walaupun bersaing dan berangkat dari latar belakang berbeda (Sisi dari militer, Sabahi aktivis beraliran kiri), mereka nyaris ”serupa”, khususnya dalam menghadapi pelbagai macam tantangan pelik yang dihadapi Mesir saat ini. Paling tidak, keduanya sama-sama anti Ikhwan Muslimin yang belakangan acap menjadi musuh bersama di Mesir.

Mungkin karena ada ”musuh bersama”, Pilpres Mesir kali ini relatif ”adem-ayem”, mulai dari masa kampanye hingga pengumuman hasilnya. Bahkan, dalam sebuah wawancara, Sabahi menyatakan tidak keberatan apabila ditunjuk menempati posisi tertentu pada pemerintahan baru.

Mesir baru

Analis terkemuka Mesir, Abdul Mun’im Said, dalam artikelnya ”Ri’asatu Abdul Fattah as-Sisi” (Kepemimpinan Abdel Fattah Sisi) di harian terkemuka Timur Tengah, Ash-Sharq Al-Awsat, menegaskan bahwa melalui Sisi, Pilpres Mesir bisa melahirkan Mesir baru yang disebutnya sebagai Republik Mesir III (aljumhuriyah at-tsalitsah).

Republik Mesir I dibentuk melalui Revolusi Juli 1952 dan mengantarkan tokoh-tokoh utamanya menjadi presiden, seperti Muhammad Najib dan Gamal Abdel Naser hingga Anwar Sadat dan Hosni Mubarak. Sementara Republik Mesir II terbentuk melalui Revolusi 25 Januari 2011 dan mengantarkan Muhammad Mursi sebagai presiden (5/2).

Kelemahan paling mendasar Republik Mesir I adalah kekuasaan otoriter. Kelompok Islamis, seperti Ikhwan Muslimin ataupun kelompok oposisi lain dan nasionalis sekuler, kerap diberedel pada masa Republik Mesir I saat dianggap membahayakan rezim penguasa (termasuk kalangan nasionalis dan sekuler).

Otoriterisme kekuasaan tak ubahnya candu yang menuntut pelaku terus melakukannya bahkan dengan dosis yang lebih tinggi dan akhirnya berupaya menguasai dan mengontrol apa pun untuk mempertahankan kekuasaannya. Itulah kurang lebih yang terjadi pada masa pemerintahan Mubarak, rezim terakhir Republik Mesir I.

Ketika otoriterisme tak dapat ditoleransi lagi, meletuslah Revolusi 25 Januari 2011. Lahir Republik Mesir II yang mengantarkan Mursi menjadi presiden. Pada masa-masa awal, masyarakat Mesir sangat berharap kepada Mursi sebagai presiden pertama yang mereka pilih langsung untuk menyelesaikan aneka persoalan, khususnya kemiskinan.

Masalahnya, masyarakat Mesir menggunakan kebebasan bak ”orang mabuk”. Segala macam yang dianggap tidak baik atau belum baik langsung dihadapi dengan aksi turun ke jalan, yang terus berlangsung sampai sekarang.

Sebaliknya, Ikhwan Muslimin sebagai penguasa Republik Mesir II pun acap ”dimabuk” kekuasaan, khususnya pada pemerintahan Mursi. Kekuasaan digunakan sampai pada tahap menimbulkan otoriterisme keagamaan, seperti pembentukan Tim Konstituante 2012 dan pengeluaran dekrit presiden oleh Mursi.

Inilah kelemahan paling mendasar dari Republik Mesir II. Meminjam istilah yang digunakan oleh pakar gerakan keagamaan di Mesir, Hala Musthafa, kondisi Ikhwan Muslimin yang tidak pernah berkuasa telah membuatnya gagap dalam mengelola kekuasaan (Ma’zaq al-Masyru` as-Siyasiy lil Islamiyyin; ahram.org.eg, 20/07/2013). Mesir pun semakin jauh terjerumus ke dalam jebakan kerumunan massal dalam pelbagai aksi unjuk rasa.

Jenderal Sisi sebagai Menteri Pertahanan dan Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Mesir kemudian melengserkan Mursi pada 3 Juli 2013.
Sejak hari itu, Sisi terlibat langsung dalam perkembangan Mesir dengan berpedoman pada Peta Jalan Damai (kharitha at-thariq) yang diumumkan saat melengserkan Mursi.

Tantangan

Ada tiga hal yang menjadi tantangan serius bagi Sisi, khususnya terkait pemerintahan demokratis yang menjunjung tinggi kebebasan, kesejahteraan, dan menghormati kemajemukan. Pertama, menggunakan dan mengelola kebebasan secara positif dan konstruktif.

Tantangan ini tentu tidak mudah bagi pemerintahan Mesir Republik III mengingat masyarakat Mesir baru saja mendapatkan kebebasannya. Apabila tidak dikelola dan digunakan secara positif, kebebasan berubah menjadi rentetan aksi anarki lagi. Apabila terlalu dikekang, bukan tidak mungkin Sisi akan dianggap diktator baru yang bisa memancing revolusi lagi.

Kedua, keamanan. Sebagaimana masyarakat luas pada umumnya, aparat keamanan pun tampak tidak biasa dan acap canggung dalam menangani pelbagai aksi turun ke jalan.

Begitu juga dengan instansi pemerintahan lain, seperti kementerian dalam negeri dan militer. Berbagai benturan memicu instabilitas dan menjerumuskan negeri itu ke dalam kubangan krisis, khususnya krisis ekonomi.

Ketiga, moderasi Ikhwan Muslimin. Saat ini Pemerintah Mesir telah memvonis
organisasi ini sebagai kelompok teroris. Banyak tokoh dan aktivisnya ditahan dan dijatuhi hukuman mati.

Untuk sementara waktu, kebijakan ini mungkin bisa dipertahankan dengan dalih menciptakan stabilitas keamanan. Namun, itu tidak dalam jangka panjang karena Ikhwan Muslimin adalah realitas masyarakat Mesir dan telah berdiri jauh sebelum Mesir merdeka.

Oleh karena itu, pemerintahan Mesir ke depan perlu memoderasi organisasi keagamaan seperti Ikhwan Muslimin. Apalagi, Mesir sukses memoderasi kelompok radikal seperti Jamaah Islamiyah Mesir. Langkah moderasi akan membantu demokrasi tumbuh sehat dan menunjukkan bahwa Republik Mesir III berbeda dari Republik Mesir I dan II. []

KOMPAS, 13 Juni 2014
Hasibullah Satrawi ; Alumnus Al-Azhar, Kairo, Mesir; Pengamat Politik Timur Tengah dan Dunia Islam; Direktur Aliansi Indonesia Damai, Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar