Jumat, 27 Juni 2014

Yudi Latif: Keharusan Revolusi Mental



Keharusan Revolusi Mental
Oleh: Yudi Latif

”Merdekakan dirimu dari perbudakan mental,” seru penyanyi reggae legendaris Bob Marley. Kolonialisme dan otoritarianisme boleh berlalu, tetapi perbudakan dan penindasan tidak dengan sendirinya berakhir.

Warisan terburuk dari kolonialisme dan otoritarianisme tidaklah terletak pada besaran kekayaan yang dirampas, penderitaan yang ditimbulkan, dan nyawa yang melayang, tetapi pada pewarisan nilai-nilai koruptif, penindasan, dan perbudakan yang tertanam dalam mental bangsa. Para pendiri bangsa menyadari benar perjuangan kemerdekaan masih jauh dari tuntas. Proklamasi kemerdekaan hanya jembatan emas untuk meraih kemerdekaan sejati. Sebagai jembatan emas, proklamasi kemerdekaan hanyalah titik keberangkatan untuk meraih cita-cita masyarakat adil dan makmur melalui serangkaian perjuangan secara persisten (istikamah). Pada Peringatan Hari Kemerdekaan 17 Agustus 1956, Bung Karno menjelaskan tiga fase revolusi bangsa. Dua fase telah dilalui secara berhasil dan satu fase lagi menghadang sebagai tantangan. Indonesia telah melewati taraf physical revolution (1945-1949) dan taraf survival (1950-1955). Lantas ia menandaskan, ”Sekarang kita berada pada taraf investment, yaitu taraf menanamkan modal-modal dalam arti yang seluas-luasnya: investment of human skill, material investment, dan mental investment.”

Dalam pandangannya, investasi keterampilan dan material amat penting. Namun, yang paling penting investasi mental. Investasi keterampilan dan material tak bisa jadi dasar persatuan dan kemakmuran bersama tanpa didasari investasi mental. Tanpa kekayaan mental, upaya-upaya pemupukan keterampilan dan material hanya akan melanggengkan perbudakan. Dikatakannya, ”Lebih baik kita membuka hutan kita dan menggaruk tanah kita dengan jari sepuluh dan kuku kita ini daripada menjual serambut pun daripada kemerdekaan kita ini untuk dollar, untuk rubel.” Ditambahkan, ”Mental kita harus mengangkat diri kita di atas kekecilan jiwa yang membuat kita suka geger dan eker-ekeran mempertentangkan urusan tetek bengek yang tidak penting.”

Itulah sebabnya Bung Karno sangat menekankan program nation and character building. Dalam pandangannya, Indonesia adalah bangsa besar, tetapi sering kali memberi nilai terlalu rendah pada bangsanya alias bermental kecil, masih belum terbebas dari mentalitas kaum terjajah yang sering mengidap perasaan rendah diri (minderwaardigheidscomplex). Bung Karno menyadari bahwa sebagai akibat penjajahan dan feodalisme selama ratusan tahun, terbentuklah karakter rakyat yang disebut ”abdikrat”, meminjam istilah Verhaar dalam bukunya Identitas Manusia. Akibatnya, terbentuklah mentalitas pecundang dengan penuh perasaan tak berdaya dan tidak memiliki kepercayaan diri (self-confidence). Memasuki alam kemerdekaan, Bung Karno menyerukan agar watak demikian harus dikikis habis. Rakyat harus berjiwa merdeka dan berani berkata ”ini dadaku, mana dadamu”, berani mandiri dan menghargai diri sendiri.

Hingga taraf tertentu, usaha nation and character building di masa Soekarno itu berhasil. Rakyat dari Sabang sampai Merauke mulai merasa terikat dalam suatu negara bangsa dan merasa bangga sebagai bangsa Indonesia. Kepercayaan diri bangsa ini juga meningkat berkat kepeloporan Indonesia dalam berbagai isu internasional. Rakyat berani menolak bantuan yang merendahkan bangsa sendiri dengan seruan, ”go to hell with your aid!”

Perbudakan mental

Pemerintah Orde Baru bangkit dengan kebijakan yang memprioritaskan investasi material (material investment). Kebijakan investasi manusia (human investment) lebih menekankan hal-hal yang bersifat kuantitatif dengan memprioritaskan pemacuan pendidikan dasar lewat apa yang dikenal sebagai ”sekolah inpres”. Investasi mental memang diberikan, tetapi bersifat permukaan. Penataran Pancasila digalakkan, tetapi miskin kreativitas, terlalu menekankan dimensi kognitif (hafalan), serta kurang menyentuh aspek afektif dan dorongan untuk bertindak. Akibatnya, di balik gebyar fisik modernitas kehidupan bangsa, mental bangsa tetap terbelakang.

Orde Reformasi hadir sebagai kulminasi dari paradoks antara kemajuan material dan keterbelakangan mental dengan segala krisis yang menyertainya. Setelah 14 tahun Reformasi tak kunjung mendekati janji-janji kesejahteraan, keadilan, kepastian hukum, serta pemerintahan yang baik dan bersih, mestinya timbul fajar budi kesadaran baru. Bahwa perbudakan mental merupakan pangkal terdalam yang membuat kekayaan bangsa ini terus dipersembahkan bagi seluas-luasnya kemakmuran asing dan bahwa mental yang terkorupsi (corrupted mind) adalah akar tunjang dari merajalelanya praktik korupsi. Penjelasan tentang hal ini diberikan oleh Plato. Menurut Plato, jiwa manusia terdiri dari tiga unsur: mental (mind), ambisi (spirit), dan selera kesenangan (appetite). Kebaikan hidup tercapai manakala mental yang sehat memimpin atas ambisi dan kesenangan.

Apa yang kita saksikan pada kehidupan bangsa saat ini adalah banjir bandang kesenangan dan ambisi. Ledakan tuntutan selera dan gaya hidup bangsa ini menjadikannya salah satu pengimpor terbesar di dunia, mulai dari garam hingga barang mewah. Luapan ambisi kuasa membuat banyak orang meninggalkan tanggung jawab profesinya untuk merebut jabatan politik, bahkan menghalalkan segala cara termasuk kampanye hitam untuk meraih kekuasaan. Dorongan selera pasar dan ambisi perseorangan itu juga sering harus dibayar mahal dengan mengorbankan kemandirian dan kedaulatan negara. Dalam situasi seperti itu, mental tak mampu menunjukkan kepemimpinannya, terpojok oleh warisan sejarah perbudakan mental serta cengkeraman selera dan ambisi. Sebuah politik tanpa kepemimpinan mental yang sehat tidak memiliki landasan perwujudan kebajikan kolektif. Perkembangan politik mengikuti logika terbalik: mempertahankan yang buruk dan membuang yang baik.

Untuk bisa bangkit dari keterpurukan, bangsa ini harus kembali ke trayek sejarah yang tercegat: melanjutkan revolusi mental. Inti dari revolusi ini adalah perubahan besar dalam struktur mental manusia Indonesia melalui proses nation and character building. Usaha pembangunan karakter ini harus mempertautkan antara proses penempaan pribadi yang berkarakter dan kolektivitas bangsa yang berkarakter. Bahwa kebaikan dan kekuatan karakter individual hanya bisa memperoleh kepenuhan manfaatnya jika terintegrasi ke dalam kebaikan dan kekuatan karakter bangsa secara kolektif.

Faktanya, negeri ini masih cukup memiliki pribadi-pribadi yang bermental karakter baik. Namun, sungguh defisit dalam kolektivitas yang berkarakter baik. Apa pun yang bersifat kolektif, mulai dari partai politik, parlemen, birokrasi, hingga ormas keagamaan, cenderung sakit. Pada titik ini Indonesia adalah bangsa yang belum selesai yang masih memerlukan penguatan kebersamaan dalam nilai, perilaku, cipta, rasa, dan karsa kolektif.

Karakter bukan saja menentukan eksistensi dan kemajuan seseorang, melainkan juga eksistensi dan kemajuan sekelompok orang seperti sebuah bangsa. Ibarat individu, pada hakikatnya setiap bangsa memiliki karakternya tersendiri yang tumbuh dari pengalaman bersama. Pengertian bangsa (nation) yang terkenal dari Otto Bauer: bangsa adalah satu persamaan, satu persatuan karakter, watak, yang persatuan karakter atau watak ini tumbuh, lahir, terjadi karena persatuan pengalaman.

Perhatian terhadap variabel budaya, terutama karakter, sebagai bagian yang menentukan bagi perkembangan ekonomi dan politik masyarakat-bangsa pernah mengalami musim seminya pada 1940-an dan 1950-an. Para pesohor pengkaji budaya periode ini, seperti Margareth Mead, Ruth Benedict, David McClelland, Gabriel Almond, Sidney Verba, Lucian Pye, dan Seymour Martin Lipset, memunculkan prasyarat nilai dan etos yang diperlukan untuk mengejar kemajuan bagi negara-negara yang terpuruk pasca Perang Dunia II. Namun, seiring gemuruh laju developmentalisme yang menekankan pembangunan material, pengkajian budaya mengalami musim kemarau pada 1960-an dan 1970-an.

Kegagalan pembangunan di sejumlah negara, setelah melewati pelbagai perubahan ekonomi dan politik, menghidupkan kembali minat dalam studi budaya sejak 1980-an. Pentingnya variabel mental-budaya bagi perkembangan ekonomi dan politik suatu bangsa dapat dilihat dari serangkaian hasil riset yang dilaporkan dalam karya Lawrence Horrison (1985), Robert Putnam (1993), dan Ronald Inglehart (2000). Alhasil, di tengah intensifikasi globalisasi, kesadaran akan pentingnya penguatan karakter bangsa sebagai tumpuan daya saing justru mengalami gelombang pasang.

Mandiri dan berdikari

Bagi bangsa Indonesia, basis nilai sebagai tumpuan karakter kolektif yang dapat menopang kemajuan peradaban bangsa itu tiada lain adalah Pancasila. Inti nilai Pancasila, bagaimana menumbuhkan semangat persatuan dalam keragaman dengan cara mengatasi mentalitas mementingkan diri sendiri (self-preservasion and self-centeredness), melalui penguatan mentalitas gotong royong berlandaskan semangat ketuhanan, kemanusiaan, kebangsaan, permusyawaratan, dan keadilan sosial. Dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur sebagai tujuan akhir dari revolusi Indonesia, semangat gotong royong itu diarahkan untuk mengembangkan mentalitas-karakter bangsa yang berani berdikari dalam ekonomi, berdaulat dalam politik, dan berkepribadian dalam kebudayaan.

Berdikari dan mandiri tak berarti harus menyendiri. Berdikari adalah sikap mental untuk berani menentukan pilihan sendiri yang dapat membebaskan ketergantungan ekonomi pada pihak-pihak asing. Berdikari tidak berarti anti asing, tidak pula mengurangi, malahan memperluas, kerja sama internasional berlandaskan semangat kesederajatan kemanusiaan yang saling menguntungkan. Jalan menuju kemandirian ekonomi ini bisa ditempuh setidaknya melalui penguatan semangat ekonomi kooperatif dan efektivitas peran negara dalam penguasaan kekayaan alam dan cabang-cabang produksi yang penting bagi kemakmuran rakyat; daya saing perekonomian dengan meningkatkan nilai tambah dari keunggulan potensi sumber daya yang dimiliki; kedaulatan pangan dan energi disertai pengutamaan pembelian produk dalam negeri.

Kedaulatan politik berdimensi eksternal dan internal. Kedaulatan ke luar adalah kesanggupan bangsa untuk menyejajarkan diri dengan bangsa lain dan bebas mengatur pertaliannya dengan bangsa-bangsa lain berlandaskan prinsip kemerdekaan, perdamaian, dan keadilan. Dan untuk itu perlu penguatan mentalitas kosmopolitan. Kedaulatan ke dalam diarahkan untuk memberikan perlindungan dan pengawasan pada putra-putri negeri dengan memberikan jaminan hak dasar setiap warga dan keselamatan wilayah, keadilan dan kepastian hukum, serta ketertiban dan kedisiplinan aparatur negara dan warga negara. Kesemuanya itu mensyaratkan proses pendalaman dan perluasan demokrasi berkarakter Pancasila.

Kemandirian ekonomi dan kedaulatan politik hanya bisa tumbuh apabila bangsa ini memiliki kepribadian dalam kebudayaan. Berisi kematangan mental untuk percaya diri dalam mengekspresikan daya cipta, rasa, dan karsa bangsa ini sebagai keistimewaan khusus dari semesta dalam semangat saling mengisi dan menyempurnakan keadaban dunia. Usaha menumbuhkan kepribadian dalam kebudayaan ini bisa dilakukan dengan cara memperkuat wawasan Nusantara dan penggemblengan mental-karakter bangsa; mengembangkan kearifan lokal dengan visi global; melakukan transformasi dari pembangunan berbasis ”modal natur” (sumber daya alam) menuju pembangunan berbasis ”modal kultural” (ilmu dan teknologi), dengan menggalakkan budaya baca dan meneliti serta kreativitas inovasi masyarakat.

Tidak ada perubahan besar dalam sejarah tanpa perubahan mental. Demi mewujudkan cita-cita nasional yang terbengkalai, setiap orang harus ambil bagian dalam gelombang revolusi mental. Pemerintahan baru, siapa pun yang terpilih, harus memenuhi panggilan sejarah ini. []

KOMPAS, 12 Juni 2014
Yudi Latif ; Pemikir Kebangsaan dan Kenegaraan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar