Kamis, 05 Juni 2014

Kang Sobary: Stress Lima Tahunan



Stress Lima Tahunan
Oleh: Mohamad Sobary

Seorang seniman terkemuka memiliki kelainan dalam metabolisme tubuhnya. Tiap pagi dia selalu muntah-muntah, disertai sedikit rasa pusing, dan kadang-kadang pandangannya berkunang-kunang.

Memang tidak sampai tingkat pingsan, atau tidak sadar. Tapi dari tubuhnya keluar keringat dingin. Sesudah muntah-muntah itu, badan terasa sedikit lebih enteng dan menjadi normal kembali. Segenap aktivitasnya seharian itu lancar. Dan, dia bisa bekerja keras hingga lewat tengah malam. Kita tidak tahu apa yang membuatnya menjadi begitu. Tapi itulah “ritus” pagi yang harus dilakukannya sebelum melejit menuju lewat tengah malam dengan kerja dan kerja yang tak mengenal lelah.

Ada lagi gejala merepotkan, yang membuat seorang pengusaha besar tak bisa tidur sebelum sopir membawanya berputar-putar mengelilingi sebagian wilayah Jakarta. Itu pun harus dilakukan sesudah lewat tengah malam, ketika di jalanan mobil bisa melaju melebihi kecepatan minimal enam puluh kilometer per jam, yang membuatnya merasa sedikit mengawang seperti menuju ke langit biru tak berawan.

Entah mengapa, sesudah mengitari sebagian kota tadi sambil berbaring di jok tengah mobilnya yang nyaman, barulah dia bisa tidur. Sopir harus menggendongnya keluar mobil, bersama ajudan yang kekar dan setia, untuk memindahkannya ke ruang kerjanya di lantai satu rumahnya yang bertingkat tiga di kompleks perumahan mewah di Pondok Indah. Sebelum jam empat, dia selalu sudah bangun dan mulai bekerja keras hingga jam delapan pagi.

Sesudah menyeruput segelas kopi pahit, sepotong roti, dan segelas air dingin, tokoh ini kemudian bergegas ke kantor untuk mengecek bahwa segala sesuatu telah berjalan sebagaimana direncanakan. Kita pun tidak tahu apa sebetulnya ganjalan psikologis yang terjadi di dalam diri tokoh penting ini.

Kalau sebelum tidur anakanak minta digendong dulu, atau dininabobokan dengan nyanyian-nyanyian, atau dengan dongeng, terutama dongeng sebelum tidur yang terkenal itu, saya kira ini gejala biasa pada sangat banyak anak di dalam keluarga mana pun, di desa-desa maupun di kota. Sebelum bisa tidur, kelihatannya anak-anak minta “diayun-ayun” dulu antara alam kesadaran dan alam mimpi dalam tidur yang lelap.

Ini memang kebiasaan mengasyikkan di dalam dunia anak-anak. Sebelum “ritus” ini dipenuhi oleh orang tua, mereka rewel bukan main. Orang tua, sesibuk apa pun, harus memenuhinya demi kasih sayang. Ini kebutuhan normal bagi anak-anak. Para politisi lain lagi. Mereka memiliki kebiasaan dalam siklus lima tahunan yang membikin mereka selalu resah. Buat politisi yang barangkali khusus dilahirkan di muka bumi untuk menjadi “orang kalah”, mungkin ada dua pola tingkah laku yang jelas.

Pertama, cemas, kesal dan sibuk menggalang kekuatan, dan menyatukan sikap politik menghadapi pemilihan presiden dan wakil presiden. Sesudah itu, di puncak usahanya yang sudah maksimal, dia pasrah dan tak peduli bahwa pada akhirnya dia kalah lagi. Ini realitas politik yang harus dihadapinya dengan sikap “orang kalah” yang bisa menerima kekalahannya.

Kedua, cemas, takut, dan kesal, dengan sedikit—hanya sedikit— keberanian untuk melangkah lebih jauh. Perasaannya dikuasai kecemasan dan ketakutan, dan di akhir perjalanan usahanya dia merasa seperti terpukul. Kekalahan yang dihadapinya lagi tak bisa dianalisis secara jernih apa sebabnya, di bagian mana kekurangan strategi dan langkah politiknya.

Dia tak menemukan kesalahan pada dirinya. Kemudian dia berkesimpulan, pasti orang lain yang salah. Banyak langkah keliru yang dilakukan orang lain. Kemudian, dia mencari kambing hitam untuk membuat bebas yang menekan jiwanya agak lebih ringan. Kesalahan pun lalu ditimpakan pada orang lain, dan dianggap merupakan tanggung jawab pihak lain tersebut. Dia sendiri tidak merasa salah. Lama-lama, di dalam hatinya, dia tak bisa menerima kekalahan demi kekalahannya secara ikhlas.

Selama masih ada pihak yang bisa disalahkan, selama itu pula dia berpendapat bahwa penyebab kekalahannya ada pada orang lain. Dia bernasib buruk karena orang lain. Kemudian, dia marah-marah hampir tanpa sebab pada siapa saja yang bisa menjadi objek kemarahannya. Pada umumnya, orang merasa, sebaiknya menyingkir jauh-jauh demi keselamatan dan kenyamanan yang mahal nilainya itu.

Ketika menyadari bahwa kesepian begitu mengimpit, dan orang cenderung menjauhinya, pelan-pelan dia membuka komunikasi ke luar kantor. Dengan telepon genggam, atau telepon kantor, dia berbicara dengan tokoh-tokoh dari partai lain. Jika pembicaraan pendahuluan tampak ada kemungkinan untuk beraliansi membangun kekuatan menghadapi “pilpres”/”pilwapres”, tak peduli partai itu memiliki “platform” yang sama atau bertentangan secara tajam, dia makin mendekat.

Menurut penda-patnya, di dalam politik, bersatu dengan setan pun dimungkinkan. Apalagi sekadar dengan partai-partai lain yang berbeda haluan politik dan ekonominya. Ini tidak masalah. Tapi sebetulnya, diam-diam dia sudah lelah berbicara, dan bakal bersatu dengan orangorang dari partai yang berbeda haluan itu.

Dia sudah bosan. Tiap bertemu, belum bicara apa pun yang kelihatan penting, mereka sudah menuntut posisi menteri yang penting dan strategis. Empat tokoh partai segera menuntut posisi penting yang tak bisa ditawar-tawar. Dan sejak beberapa pemilu yang lalu, mereka sudah saling mencakar. Ibaratnya, maaf, seperti anjing-anjing berebut tulang. Belum tentu menang sudah berkelahi.

Bagaimana kalau kelak menang, dan jalan keluar terbaik tak ditemukan? Haruskah mereka saling membunuh? Ini sangat memuakkannya. Tapi apa yang memuakkan ini harus ditempuh. Orang bilang, begitulah politik. Di dalamnya memang tak ada kenyamanan. Apalagi kedamaian.

Syarat utama orang partai itu harus bisa selingkuh dan menodai “trust”: yang diberikan oleh begitu banyak komunitas pendukungnya. Partai berhaluan agama, yang gemar bicara halal-haram tapi tingkah laku tokohnya selalu lupa mengenai prinsip “halal-haram” itu, maka dengan sendirinya tak mustahil partainya bersekutu dengan partai lain yang bertentangan dengan partainya. Mereka itu “doso patang perkoro”, atau mengidap empat jenis dosa. Satu, dosa pada prinsip dan nilai-nilainya sendiri.

Dua, dosa pada partai, karena partai diperkosa untuk menyatu dengan apa yang tak mungkin. Tiga, dosa pada basis pendukungnya, yang telah menaruh harapan begitu tinggi untuk memanggul perjuangan kerakyatan yang mereka dukung tiba-tiba beralih haluan. Empat, dosa pada agama, dan pada Tuhan. Boleh jadi Tuhan belum tentu peduli, dan bahkan mungkin sama sekali tak peduli namanya telah dicatut.

Namun, Tuhan peduli atau tidak kitalah yang harus tahu, dan mulai mengambil tanggung jawab. Kalau pada akhirnya hanya begitu, mengapa ada agama, yang dibawa-bawa ke dalam partai? Mengapa agama, dan Tuhan dibawa-bawa, kalau hanya untuk selingkuh diam-diam, dalam kegelapan tatanan partai yang tak punya tatanan? Ini perkara mencemaskan, dan membikin orang partai stres setiap lima tahun sekali, ketika keharusan menempuh aliansi ini mereka lalui. Orang partai juga ada yang baik, dan tetap melihat kebaikan sebagai kiblat. Di dalam partai agama ada juga orang yang tetap bicara agama.

Tapi mereka kalah suara, dan kemudian terpinggirkan. Orang-orang yang terpinggirkan ini stres berat. Yang meminggirkan mereka, sesudah akhirnya kalah, juga stres. Kelihatannya, stres lima tahunan itu tak bisa mereka hindari. []

KORAN SINDO, 05 Mei 2014
Mohamad Sobary ; Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar