Kamis, 19 Juni 2014

Sindhunata: Cinta yang Buta, Kegembiraan yang Menyatukan



Cinta yang Buta, Kegembiraan yang Menyatukan
Oleh: Sindhunata

AKU jatuh cinta pada sepak bola seperti aku jatuh cinta kepada perempuan. Semuanya terjadi dengan tiba-tiba, tak dapat diterangkan dalam kata. Otak yang kritis berhenti seketika. Aku tak berpikir sama sekali tentang kesakitan dan kekacauan yang mungkin terjadi karenanya.

Itulah kata Nick Hornby, warga Inggris, penggila bola dan penulis buku terkenal tentang bola. Ungkapan itu tak terbantahkan. Di mana-mana bola membuat orang terjerumus ke dalam cinta buta. Demikian juga kali ini ketika hampir semua mata manusia mengarah ke Brasil, tempat dihelat pesta akbar Piala Dunia 2014.

Nai vai ter copa! Tak akan ada Piala Dunia! Kata-kata ini digemborkan oleh para pemrotes yang tak setuju Brasil jadi tuan rumah Piala Dunia 2014. Maklum, ekonomi Brasil tidak terlalu baik. Masih banyak orang miskin di sana, mengapa uang dihamburkan untuk Piala Dunia? Memang, Piala Dunia terganggu karena berbagai protes itu. Namun, diperkirakan orang Brasil yang menolak itu segera lupa akan protes mereka begitu peluit Piala Dunia ditiup dan para pemain Brasil berlari di lapangan menghibur mereka. Bola selalu bisa menciptakan kejutan dan kejutan itu bisa membuat orang Brasil terlena dari persoalan dan beban hidup mereka.

Maka, kali ini pun orang-orang Brasil tetap mengharapkan kejutan yang bisa menggembirakan mereka seperti yang terjadi dalam Piala Dunia 1958 di Swedia. Menjelang Piala Dunia 1958, Brasil terseok-seok, baik dalam hal bola maupun ekonomi. Persatuan sepak bola Brasil di bawah Joao Havelange nyaris memutuskan Brasil tidak usah ikut Piala Dunia. Lebih baik tinggal di rumah daripada bikin malu negara.

Namun, Havelange berubah pikiran dan membuat putusan mengejutkan dengan menunjuk Vicente Fiola jadi pelatih. Padahal, nama Fiola sudah dicoret. Fiola sendiri mengambil langkah tak terduga. Ia membawa Garrincha dan Pele. Keputusan itu dikecam habis-habisan. Alasannya, Pele yang baru berumur 17 tahun itu masih bau kencur, sedangkan Garrincha, si kaki pengkor, terlalu bodoh untuk dibawa.

Nyatanya penonton di Swedia terpesona. Pele dan Garrincha bermain bola dengan sangat indah dan tak ada duanya. Sampai penonton berkata, kedua pemain itu, juga pemain Brasil lainnya, bukanlah makhluk-makhluk bola dari dunia ini. Mereka seperti malaikat dari langit yang bermain bola di dunia. Brasil bukan hanya keluar sebagai juara, melainkan juga terkenal dengan sepak bola indahnya. Jogo bonito lahir! Orang-orang Brasil pun melupakan segala masalah mereka. Kiranya itu pula yang bakal terjadi jika Brasil menjadi juara di Piala Dunia tahun ini.

Di Tanah Air tercinta kita ini pun orang-orang sedang ditimpa cinta buta terhadap bola. Tidak hanya mereka yang berada, tetapi juga warga sederhana bahkan miskin sedang dilanda gila bola. Tukang becak, buruh bangunan, pensiunan, dan warga kampung padat penduduk, semua menanti pesta akbar itu. Di emperan toko, di gardu ronda, di stasiun, bahkan di desa terpencil, orang-orang siap mendiskusikan dan mengevaluasi pertandingan, meramalkan siapa menang, siapa kalah.

Dalam hal menghibur, bola memang adil. Kaya atau miskin, di rumah mewah atau di pondok sederhana, di kafe mahal atau di gardu kampung, semua orang, tak terkecuali, bisa dan boleh menonton Piala Dunia 2014, dari awal sampai final. Dalam hal bola, si kaya atau si miskin sama-sama mengalami kenikmatan. Hiburan dan kenikmatan bola tidak hanya jadi monopoli mereka yang kaya. Yang miskin pun boleh bersenang-senang seperti yang kaya. Begitulah, karena pemerataannya itu, bola mengikat manusia dalam persatuan, bukan hanya persatuan di masyarakat atau negara, melainkan juga kesatuan yang global dan mendunia.

Dewasa ini kesatuan lokal dan global sedang terancam untuk terpecah-pecah. Entah karena perbedaan ideologi, agama, atau budaya, entah karena jurang antara kaya dan miskin, entah karena egoisme individu atau kelompok. Memang sulit mengidentifikasi faktor penyebab perpecahan itu. Mungkin karena kesulitan mengidentifikasi itu, legenda bola Franz Beckenbauer pernah melukiskan, kemanusiaan di bumi sedang terancam untuk dihancurkan oleh makhluk-makhluk alien dari luar planet kita. Apakah kita akan selamat? Apakah bumi ini masih akan ada?

Kita sungguh sedang menghadapi masalah serius. Dan, menurut Beckenbauer, kita hanya mempunyai satu kesempatan, yakni menantang musuh bumi kita itu bertanding bola. Itulah pertandingan final antara manusia di bumi dan makhluk di luar bumi. Jika kita menang melawan agresor, kita akan selamat. Jika kalah, ya, kita mesti mengucapkan ”selamat malam”, dan selesai sudah riwayat kita. Maka, kata Beckenbauer, ”We have no chance, we have to win,”dan hanya bola yang dapat menyelamatkan dunia. Kata-kata Beckenbauer dianggap sangat pas bagi posisi bola di dunia yang terancam terpecah belah ini. Tak heran jika sebuah perusahaan di Korea Selatan memakai kata-kata itu sebagai reklamenya menjelang Piala Dunia 2014.

Kini, negeri kita juga terancam oleh alien yang memecah belah kita dengan kampanye hitam dan menajamkan perbedaan dua kelompok yang saling bersaing menjelang pemilu presiden, Juli. Syukur di tengah ancaman ini kita disatukan dalam kegembiraan Piala Dunia 2014. Biarlah kegembiraan dan fairness bola yang adil, merata, dan tak membeda-bedakan itu menyatukan kita dalam satu kata we have no chance, we have to win terhadap siapa pun lawan yang hendak menghancurkan kesatuan kita sebagai bangsa. []

KOMPAS, 11 Juni 2014
Sindhunata ; Wartawan, Pemimpin Redaksi Majalah Basis, Yogyakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar