Kamis, 20 Oktober 2022

Perempuan dalam Sejarah Kepengurusan PBNU

Sebelum perhelatan Muktamar ke-34 NU Lampung pada 22-24 Desember 2021 dimulai, penulis terlibat dalam penyusunan almanak (kalender) PBNU tahun 2022. Ini merupakan kalender pertama sinergi Lembaga Falakiyah PBNU dan NU Online. Lembaga Falakiyah menyediakan data-data terkait falak, NU Online membantu dalam hal desain dan penyediaan narasi serta konten.


Menariknya, tema besar yang ingin diangkat oleh Lembaga Falakiyah PBNU ialah terkait perjalanan dan khidmah perempuan Nahdlatul Ulama dari masa ke masa. Sehingga hal itu merupakan langkah pertama dalam sejarah kalender PBNU yang mengangkat tema besar perempuan. Penulis bertugas menelusuri sejarah perempuan NU dalam bentuk kronik, narasi sejarah yang disusun secara kronologis mengenai perempuan NU beserta perangkat-perangkat organisasinya.


Pengalaman penulis tersebut tidak hanya semakin memperkuat gambaran peran perempuan NU dalam sejarah perjalanan jam’iyah, tetapi juga membuka tabir berbagai perjuangan perempuan NU yang tidak bisa dianggap sebelah mata. Baik perannya untuk organisasi, pendidikan di Indonesia, perkembangan pesantren, dan peneguhan perjalanan bangsa dan negara. Karena sebelumnya, penulis pernah melakukan riset terbatas perihal peran-peran perempuan NU dalam sejarah pergerakan nasional melawan penjajah.

 

Dari perjuangannya itu, bangsa Indonesia bisa melihat bahwa para perempuan bekerja keras di garis terdepan, baik mengangkat senjata, mendirikan dapur umum, menjadi relawan medis, dan menyediakan segala akomodasi para pejuang kemerdekaan. Belum tugas-tugas mendidik anak para pejuang agar tetap mendapatkan wawasan dan ilmu pengetahuan serta pendidikan yang layak.


Namun, khidmah besar perempuan tersebut tidak cukup menjadi dasar mereka untuk diakomodasi dalam sebuah wadah organisasi. Padahal, peletak dasar kiprah perempuan, khususnya dalam pendidikan pondok pesantren dilakukan oleh KH Bisri Syansuri, pendiri Pondok Pesantren Denanyar Jombang.


Pada tahun 1930, Nyai Nur Chadijah binti Chasbullah (w. 1958) mendirikan Madrasah Diniyah perempuan di Pesantren Denanyar. Hal itu meneruskan perjuangan KH Bisri Syansuri yang telah memberikan pelajaran kepada santri putri. Upaya ini terus dilakukan oleh putrinya, Nyai Musyarofah (l. 1925) yang juga mendirikan Madrasah Diniyah Putri di Pesantren Tambakberas, Jombang. (baca Abdul Aziz Masyhuri, Al-Magfurlah KH. M. Bisri Syansuri: Cita-Cita dan Pengabdiannya, Surabaya: Al-Ikhlas, 1983)


Namun demikian, pada tahun 1926, NU sebetulnya memberikan perhatian pada kesetaraan antara perempuan dan laki-laki, terutama dalam rumah tangga. Sejak Muktamar pertama, NU mengakui hak gono-gini bagi istri. Pengakuan terhadap kaum perempuan juga dibahas pada muktamar-muktamar berikutnya. Muktamar ke-3 NU pada 1928 membahas tentang perempuan soal perceraian.


Begitu juga pada Muktamar Ke-8 NU tahun 1933 yang memberikan legitimasi bagi kaum perempuan yang beraktivitas di ruang publik. Seperti bekerja dan hadir dalam acara-acara keagamaan. Puncaknya terjadi pada Muktamar ke-10 NU di Surakarta tahun 1935 yang bahkan membolehkan perempuan tampil di panggung dakwah. (baca Ahkamul Fuqaha, Solusi Problematika Hukum Islam: Keputusan Muktamar, Munas, dan Konbes Nahdlatul Ulama, penerbit LTN PBNU-Khalista, 2011)


Dari muktamar ke muktamar, diskusi, seminar, dan perkumpulan yang dilakukan oleh perempuan pesantren mengkristal dalam wadah organisasi. Posisi perempuan dalam Muktamar NU tahun 1940 di Surabaya semakin maju. Kaum perempuan tidak hanya bisa menghadiri sidang-sidang NU dan Syuriyah, tetapi juga dapat mengadakan rapat-rapat sendiri. Ada lima resolusi NOM yang kemudian diterima oleh Hoofd Commite Congres atau Pusat Komite Kongres/Muktamar.

 

Di antaranya disahkannya Nahdlatoel Oelama Moeslimat (NOM), mengesahkan Anggaran Dasar NOM, dan dibentuknya pengurus NOM. Selain itu, menetapkan daftar pelajaran untuk tingkat Madrasah Banat dan rencana menerbitkan majalah bulanan NOM. Saat itu Pengurus NOM diketuai oleh Nyai Raden Hindun (Surabaya) dan wakilnya Nyai Raden Djuaesih (Bandung). Sedangkan sekretarisnya adalah Nona Sudinem (Surabaya) dan Bendaharanya Nyai Marfuah (Cirebon).


Puncaknya pada Muktamar ke-16 NU di Purwokerto tahun 1946, Nahdlatul Ulama Muslimat (NUM) diresmikan menjadi badan otonom NU secara aklamasi oleh muktamirin pada 29 Maret 1946. Pada saat itu, Nyai Fatimah dari Surabaya terpilih sebagai penasihat. Sedangkan ketua umum pertamanya adalah Nyai Chadijah Dahlan dan Sekretarisnya adalah Nyai Mudrikah serta bendaharanya adalah Nyai Kasminten dari Pasuruan. (baca Nyai Hj Solichah Saifudin Zuhri, Sejarah Muslimat Nahdlatul Ulama, Jakarta: PP Muslimat NU, 1979)


Mulai terakomodasi

 

Namun, perempuan NU harus menerima kenyataan bahwa eksistensinya belum terakomodasi dalam kepengurusan syuriyah dan tanfidziyah Hoofd Bestuur Nahdlatoel Oelama (HBNO) atau Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) setidaknya sampai tahun 1959.


Hingga pada tahun 1960, NU mengeluarkan keputusan penting bahwa perempuan disertakan dalam jajaran kepengurusan PBNU dalam posisi syuriyah, antara lain Nyai Fatimah, Nyai Mahmudah Mawardi, dan Nyai Choiriyah Hasyim. Mereka ulama-ulama perempuan pakar ushul fikih dan fikih.


Belakangan, perempuan dalam struktur kepengurusan PBNU menempati posisi, namun bukan di dua badan eksekutif, yaitu syuriyah dan tanfidziyah. Tercatat, di struktur PBNU periode 2015-2021, sebanyak tujuh orang perempuan duduk dalam jabatan A’wan PBNU, yakni Nyai Hj Sinta Nuriyah, Nyai Hj Mahfudhoh Aly Ubaid, Nyai Hj Nafisah Sahal Mahfudh, Prof Chuzaimah T. Yanggo, Hj Faizah Ali Sibromalisi, Prof Istibsyaroh, dan Prof Sri Mulyati.


Pada akhirnya, dalam struktur kepengurusan PBNU periode 2022-2027, perempuan masuk dalam jajaran pengurus harian tanfidziyah, mustasyar, dan a’wan. “Baru kali ini, setelah 96 tahun usia NU menurut kalender masehi atau 99 tahun menurut kalender hijriah, kaum perempuan diakomodasi di dalam susunan pengurus harian PBNU,” jelas Ketua Umum PBNU, KH Yahya Cholil Staquf saat memperkenalkan struktur kepengurusan PBNU 2022-2027, Rabu (12/1/2022) di kantor PBNU Jakarta.


Perempuan yang masuk jajaran pengurus harian tanfidziyah PBNU ialah Hj Alissa Wahid (Ketua PBNU), Hj Khofifah Indar Parawansa (Ketua PBNU), dan Ai Rahmayanti (Wakil Sekjen PBNU).

 

Perempuan di struktur mustaysar (dewan penasihat) ialah Nyai Hj Sinta Nuriyah, Nyai Hj Nafisah Sahal Mahfudh, dan Nyai Hj Mahfudhoh Aly Ubaid. Sedangkan di struktur a’wan (dewan pakar) ialah Nyai Hj Nafisah Ali Maksum, Nyai Hj Badriyah Fayumi, Nyai Hj Faizah Ali Sibromalisi, Nyai Hj Ida Fatimah Zainal, dan Nyai Hj Masriyah Amva. []


Fathoni Ahmad, Redaktur NU Online

Tidak ada komentar:

Posting Komentar