KH Ali Maksum (w. 1989) adalah Pengasuh Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak, Yogyakarta periode II (1942-1989). KH Ali Maksum meneruskan estafet kepemimpinan pesantren bersama-sama dengan KHR. Abdullah Afandi Munawwir dan KHR. Abdul Qodir Munawwir setelah KH. Munawwir bin Abdulloh Rosyad, sang pendiri Pondok Pesantren Krapyak wafat (1942).
Ketokohan KH Ali Maksum (Kiai Ali) menurut Athoillah dalam bukunya berjudul KH.
Ali Maksum: Ulama, Pesantren dan NU, menyebutkan bahwa ketokohan Kiai Ali
dilihat sebagai seorang ulama tokoh pesantren dan NU. Bagi kalangan warga
NU, Kiai Ali dikenal sebagai tokoh penting dalam membawa arah organisasi NU,
yakni momentum kembali ke khittah 1926 bersama-sama dengan tokoh NU lainnya.
Kiai Ali juga dikenal sebagai seorang tokoh reformasi sistem pendidikan Islam
di pondok pesantren dengan model madrasi atau madrasah dengan menerapkan sistem
penjenjangan di pondok pesantren. Hal ini telah sejatinya telah Ia lakukan
ketika mencari menuntut ilmu di Tremas. Sebagaimana disebutkan Prof A. Mukti
Ali dalam bukunya Mukhdlor berjudul KH. Ali Maksum: Perjuangan dan
Pemikiran-Pemikirannya yang menyatakan, selama di Tremas Kiai Ali-lah yang
menjadi penggerak modernisasi pondok pesantren Tremas menjadi sistem madrasi
pada tahun 1932.
Setelah delapan tahun di Tremas, Ia menyerahkan amanah selama di Tremas kepada
keluarga kiai dan pengurus pondok. Madrasah yang telah dirintisnya diserahkan
kepada KH. Hamid Dimyati sebagai direktur, dan Mukti Ali sebagai wakil
direktur. Mukti Ali kelak menjadi Menteri Agama Republik Indonesia (1971-1978
M).
Kesuksesan Kiai Ali dalam sistem pendidikan Pesantren Tremas barangkali menjadi
ciri khas perhatian Kiai Ali terhadap sistem pendidikan pesantren di Krapyak.
Selama Kiai Ali mengasuh pesantren Krapyak, tercatat beberapa pendidikan
madrasah telah beliau didirikan. Mulai dari madrasah diniyah pesantren hingga
lembaga pendidikan modern. Hingga kini pendidikan berbasis madrasi yang
diwariskan Kiai Ali Maksum Krapyak terus tumbuh dan berkembang pesat.
Selain sebagai figur pemimpin tertinggi di pondok pesantren, Kiai Ali juga
aktif dalam organisasi Konstituante Nahdlatul Ulama. Kiai Ali pada tahun
1975-1981 tercatat menjabat sebagai Rais Syuriah PWNU DIY. Status dan peran
Kiai Ali berhasil membentuk jaringan yang sangat penting di kemudian hari. Ia
benar-benar menjadi sentris simbolisme dari berbagai jaringan baik kiai,
santri, pejabat, akademisi, dan lainnya.
Ketokohan penting kepemimpinan Kiai Ali lainnya adalah terpilihnya ia dalam
struktur kepemimpinan tertinggi dalam NU, organisasi terbesar di Indonesia
yaitu sebagai Rais ‘Am keempat setelah Hadratussyekh KH Muhammad Hasyim
Asy’ari, KH Abdul Wahab Chasbullah, KH. Bisri Syansuri. Kiai Ali terpilih
sebagai Rais ‘Aam (1980-1984) pada Musyawarah Nasional NU yang pertama di
Kaliurang Yogyakarta pada tanggal 30 Agustus-2 September 1981. Dalam keputusan
Munas Alim Ulama tersebut memunculkan nama Kiai Ali sebagai Rais ‘Aam terutama
yang disuarakan oleh KH. Ahmad Shiddiq dan KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Kemunculan Kiai Ali dalam jajaran tertinggi NU mengejutkan beberapa pihak,
karena dalam Munas di Kaliurang tersebut hadir dua tokoh potensial untuk
jabatan Rais 'Aam menggantikan KH. Bisri Syansuri, yaitu KH. Mahrus Aly dan KH.
As’ad Syamsul Arifin, murid KH. Hasyim Asy’ari paling senior yang masih hidup.
Kiai Ali yang pada saat itu masih sedikit lebih muda, dipandang sebagai seorang kiai yang tidak pernah menonjolkan diri namun kedalaman pengetahuannya diakui oleh semua kiai. Ia terpilih bukan hanya karena kedalaman pengetahuan semata, namun para kiai menganggap bahwa Kiai Ali merupakan tokoh ideal untuk memimpin NU selama masa transisi untuk kembali pada khittah NU 1926.
Ada hal menarik yang melatarbelakangi dipilihnya Kiai Ali, mengingat Kiai Ali
bukanlah berasal dari keluarga pendiri seperti dua tokoh potensial tersebut.
Dalam hal ini kiai senior seperti KH.R. As’ad Syamsul Arifin, KH. Makhrus Ali,
KH Achmad Siddiq, KH. Saifuddin Zuhri, KH. Mujib Ridwan, KH. Masykur dan
lain-lain. Semua tokoh tersebut di atas memandang bahwa Kiai Ali mampu
menghadapi sayap politik NU.
Selain itu berdasarkan Anggaran Rumah Tangga (ART) NU seharusnya yang berhak
mengisi kekosongan jabatan tersebut adalah KH. Anwar Musaddad yang pada waktu
itu menjabat sebagai wakil Rais Aam. Namun dalam keputusan akhir forum
tersebut, jabatan Rais Aam harus dipikul oleh seorang Kiai Ali.
Menjadi pimpinan tertinggi tentu harus memiliki suatu kemampuan untuk dapat
menggerakan organisasi, baik dari kemampuan pengetahuan, interaksi, maupun
mampu melakukan solving dalam berbagai persoalan yang ada. Begitu pun Kiai Ali
yang selama kurang lebih tiga tahun menjabat Rais ‘Am berhasil membawa NU
kembali ke khittah 1926.
Menurut penuturan murid Kiai Ali yaitu KH Said Aqil Siroj, keteladanan dan kisah-kisah yang hadir dalam perjalanan panjang kehidupann Kiai Ali Maksum akan selalu dikenang santri-santrinya, terlebih keluarganya. Kisah-kisahnya menjadi warisan keteladanan bagi masyarakat luas. Menurutnya, Kiai Ali Maksum telah mengembangkan kapasitas dan cakrawala berpikirnya.
Pada Rabu (15/12/2021) di Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta menyelenggarakan
haul ke 33 KH. Ali Maksum dengan menghadirkan tiga kiai masyhur KH. Ahmad
Musthofa Bisri, KH. Baha’uddin Nursalim, dan KH. Idris Hamid. Rangkaian acara
haul telah digelar mulai Ahad (12/12/2021), yakni sarasehan alumni, simaan
Al-Qur’an, ziarah dan pembacaan Manaqib Mbah Ali Maksum. Pengajian ini juga
disiarkan secara virtual melalui kanal youtube Krapyak TV dan Krapyak Official. []
Muhammad 'Ainun Na'iim, asal Bantul, santri di Pondok Pesantren Krapyak
Sumber rujukan:
A. Zuhdi Mukhdlor, KH Ali Maksum: Perjuangan dan Pemikiran-pemikirannya, (Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 1989)
Ahmad Athoillah, KH Ali Maksum: Ulama, Pesantren, dan NU, (Yogyakarta: LKiS, 2019)
Badrun Alaina dan Humaidy Abdussami, KH Ali Maksum: Tokoh Modernis NU,
(Yogyakarta: LTNNU, 1995)
Martin Van Bruinessen, NU, Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru,
(Yogyakarta: LKiS, 1994)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar