Siapa yang tidak kenal dengan al-Ghazali. Ulama ternama kelahiran Tus, Iran ini tidak disangsikan lagi kapasitas intelektual dan kontribusinya terhadap dunia akademik (terutama Islam). Ia adalah sosok multidispliner karena menguasai bergam cabang keilmuan seperti fiqih, ushul fiqih, tasawuf, filsafat, logika, dan masih banyak lagi.
Berkat jasa besarnya mengharmonisasikan fiqih dan tasawuf, ulama kelahiran 19
Desember 1111 ini dijuluki Hujjatul Islam (sang argumentator Islam).
Tokoh yang memiliki nama lengkap Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali
ath-Thusi asy-Syafii ini juga telah membuktikan kapabilitas intelektualnya
dengan menelurkan sejumlah karya tulis dalam berbagai disiplin seperti Ihya’
‘Ulumiddin untuk bidang tasawuf, Al-Mushtashfa fil ‘Ilmil Ushul untuk bidang
ushul fiqih, Maqashidul Falasifah untuk bidang filsafat, Faishalut Tafriqah
untuk bidang teologi, dan banyak lagi.
Hebatnya, al-Ghazali tidak pernah ‘gagal’ dalam menulis karyanya. Hampir semua
kitab-kitabnya dikenal luas dan menjadi kajian penting di banyak tempat, mulai
dari pesantren sampai kampus-kampus ternama di dunia. Tak ketinggalan pula dari
kalangan peneliti barat, baik untuk diapresiasi atau menjadi sasaran kritik.
Berkat pencapaiannnya ini kemudian al-Ghazali mendapat pundi-pundi pujian dari
banyak ulama. Imam Ibnu Najar berkata, “al-Ghazali diakui sebagai pemimpin para
fuqaha, pengayom umat, mujtahid pada masanya, mata air keilmuan, dan menguasai
multi disiplin keilmuan baik persoalan mazhab, ushul fiqih, persoalan
khilafiyah, ilmu debat, logika, tasawuf, filsafat. Ia memahami pendapat ulama
sekaligus mampu menyanggahnya.”
Kemudian, Ibnu Khalikan juga berkata, “Belum pernah aku jumpai ulama dari
kalangan syafi’iyah yang menandingi kapabilitas al-Ghazali pada masanya.”
Selanjutnya, Pemikir Irak Ali al-Wardi berkata, “Sebagai seorang filsuf, al-Ghazali tidak sama dengan para pakar filsafat dan logika sebelum masanya yang hanya bertendensi pada rasionalitas. Di tangan al-Ghazali, ilmu filsafat menjadi dasar argumen logis untuk mengimani Tuhan. Ini merupakan produk pemikiran yang out of the box, mampu menerobos tradisi intelektual yang sudah ada.”
Abul Hasan an-Nadawi juga berkata, “al-Ghazali merupakan tokoh besar Muslim
dengan kecerdasan luar biasa. Ia adalah punggawa intelektual Islam, pembawa
kemakmuran dan pemikiran-pemikiran segar. Ia berhasil menghidupkan ruh agama
dan memelopori tradisi intelektual Islam.”
Relasi Agama dan Nagara Menurut Al-Ghazali
Salah satu kontribusi al-Ghazali adalah pandangannya tantang politik. Menjadi sufi besar tidak lantas membuatnya ‘alergi’ terhadap politik dan kehadiran negara bagi agama. Beberapa kali dalam karyanya ia menyinggung agama dan negara tidak bisa dipisahkan, bahkan keduanya diibaratkan dua sudara kembar yang lahir dari rahim satu ibu.
Kita bisa melihat apresiasi al-Ghazali ini dari caranya mendefinisikan politik
itu sendiri, sebagai berikut:
والسياسة
في استصلاح الخلق وإرشادهم إلى الطريق المستقيم المنجي في الدنيا والآخرة
Artinya, “Politik adalah sebuah sistem untuk menyejahterakan umat dan
menuntunnya kepada jalan yang benar agar selamat di dunia dan akhirat.”
(al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulumiddin, 2016: juz I, halaman 27).
Lebih lanjut, dalam karyanya al-Iqtishad fil I’tiqad, al-Ghazali menyampaikan,
“Urusan dunia dan keamanan jiwa serta harta benda tidak bisa terjamin tanpa
kehadiran seorang pemimpin nagara yang ditaati rakyatnya. Sudah banyak
ditemukan negara yang kacau akibat tidak memiliki pemimpin. Jika sudah
demikian, bagaimana mungkin kita bisa beribadah dan menuntut ilmu dengan
tenang.”
“Oleh sebab itu,” lanjut al-Ghazali, “ada yang menganalogikan agama dan
pemerintah ibarat dua saudara kembar. Ada pula yang mengatakan agama adalah
fondasi dan pemerintah sebagai penjaganya. Siapa yang tidak memiliki fondasi
maka akan hancur, dan siapa yang tidak memiliki penjaga maka akan sia-sia.”
(al-Ghazali, al-Iqtishad fil I’tiqad, 2015: 128)
Menurut al-Ghazali, sebagaimana juga al-Mawardi, mengangkat pemimpin negara
adalah wajib. Kehadiran pemimpin tersebut kemudian wajib ditaati oleh
rakyatnya. Berkaitan dengan ini, ia mengutip ayat Al-Qur’an untuk mendasari
argumennya, yaitu:
يٰٓاَيُّهَا
الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَاُولِى
الْاَمْرِ مِنْكُمْۚ فَاِنْ تَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ اِلَى اللّٰهِ
وَالرَّسُوْلِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ
ذٰلِكَ خَيْرٌ وَّاَحْسَنُ تَأْوِيْلًا
Artinya, “Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika
kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah
(Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari
kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik.” (QS. An-Nisa
[4]: 59)
Bagi al-Ghazali, jabatan kepemimpinan adalah anugerah dari Allah swt kepada
siapapun yang dikehendaki sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an surat Ali
Imran ayat 26. Oleh sebab itu, sebagai Muslim yang taat kita wajib mematuhi
pemerintah yang sah. (al-Ghazali, at-Tibrul Masbuk fi Nashihatil Muluk: 1988:
43)
Dengan kata lain, al-Ghazali ingin menyampaikan, pada prinsipnya manusia
diciptakan untuk beribadah kepada Allah swt. Hanya saja, sebagai makhluk sosial
kita tetap bermasyarakat dan bernegara. Agar ibadah sebagai kewajiban pokok
dapat dilaksanakan dengan baik maka butuh stabilitas lingkungan, dalam hal ini
adalah negara. Bagaimana mungkin kita bisa beribadah dengan tenang jika
negaranya terus konflik? []
Ustadz Muhamad Abror, penulis keislaman NU Online, alumnus Pondok Pesantren
KHAS Kempek Cirebon dan Ma'had Aly Saidusshiddiqiyah Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar