Pembahasan tentang riba menyatakan bahwa yang dimaksud sebagai riba qardli (riba utang) adalah كل قرض جرى نفعا للمقرض فهو ربا (semua bentuk utang piutang yang mensyaratkan manfaat bagi pihak yang memberi utang adalah riba). Nah, kali ini kasusnya menyangkut utang piutang dengan syarat balik dipinjami juga. Kebetulan kasus ini berkaitan dengan utang uang dengan syarat meminjami sepeda. Apakah hal ini juga bisa dikelompokkan dalam kategori riba? Dalam hal ini ada dua pendapat ulama yang berbeda dalam memandang kualitas illat (alasan mendasar) hukumnya.
Inti illatnya adalah keberadaan syarat tersebut. Syarat ini disepakati sebagai
syarat yang rusak (al-syarthu al-fasid). Perbedaannya terletak pada anggapan
bahwa syarat rusak ini merupakan syarat yang mulgha (bisa diabaikan) sehingga
tidak berpengaruh terhadap akad, atau sebaliknya syarat fasid tersebut bukan
merupakan syarat mulgha sehingga dapat membatalkan akad.
Pertama, ulama yang menyatakan bahwa syarat sebagaimana tersebut di atas
merupakan syarat rusak yang mulgha adalah ulama dari kalangan mazhab Hanafi,
pendapat muqabil shahih (lawan dari pendapat shahih) dari kalangan Syafiiyah
(qaul dla'if) dan pendapat kalangan Hanabilah. Untuk yang dari kalangan mazhab
Hanafi misalnya adalah Ibnu Himam yang disampaikan dalam Kitab Fathul Qadir,
Juz 6 halaman 411 atau Ibnu 'Âbidîn dalam Hasyiyah Ibnu 'Âbidîn, juz 5, halaman
165:
القرض
لا يتعلق بالجائز من الشروط فالفاسد منها لا يبطله ولكنه يلغو شرط رد شيء آخر، فلو
استقرض الدراهم المكسورة على أن يؤدي صحيحا كان باطلا، وكذا لو أقرضه طعاما
بشرط رده في مكان آخر وكان عليه مثل ما قبض
Artinya: "Utang yang tidak berikatan dengan syarat berupa barang yang
diutangkan (jaiz), maka rusaknya syarat (syarat fasid) tidak dapat membatalkan
akad utang. Syarat itu merupakan mulgha (yang diabaikan) misalnya syarat
mengembalikan berupa barang lain. Lain halnya, apabila seseorang mengutangi
dirham pecah kemudian disyaratkan ia harus mengembalikan berupa dirham utuh,
maka syarat yang demikian ini merupakan syarat yang batil. Demikian pula
seandainya orang mengutangi orang lain berupa makanan dengan syarat ia harus
mengembalikan ke tempat lain, padahal apa yang dikembalikan adalah sama dengan
apa yang diterima dari pihak pemberi utang (maka syarat seperti ini adalah
termasuk syarat fasid yang mulgha)." (Ibnu 'Âbidîn, Hasyiyah Ibn 'Âbidîn,
Beirut: Dâr al-Kutub al-'Ilmiyyah, tt.: 5/165).
Dari kalangan mazhab Syafii misalnya sebagaimana disampaikan oleh Imam Nawawi
dalam Raudlatu al-Thâlibîn:
يحرم
كل قرض جر منفعة كشرط رد الصحيح عن المكسر أو الجيد عن الرديء وكشرط رده ببلد
آخر….فإن جرى القرض بشرط من هذه فسد القرض على الصحيح فلايجوز التصرف فيه وقيل:
لايفسد
Artinya: "Haram melakukan akad utang piutang dengan mengambil kemanfaatan,
seperti dengan syarat mengembalikan berupa barang utuh dari utang berupa barang
pecah, atau mengembalikan barang bagus dari utang berupa barang buruk, dan
seperti mengembalikan utang ke wilayah lain dari tempat berutang….. Jika
berlaku akad utang piutang sebagaimana syarat yang telah disebutkan ini maka
rusaklah akad qardlu menurut pendapat yang shahih, sehingga tidak boleh
melakukan muamalah dengan cara itu. Namun ada pendapat (lemah) bahwa syarat
tersebut tidak merusak akad.” (Yahya ibn Syaraf al-Nawâwi, Raudlatu al-Thâlibîn
li al-Nawâwi, Kairo: Dâr al-Ma'ârif, tt.: 3/275-276).
Ulama dari kalangan mazhab Hanbali, seperti al-Mardâwy, al-Bahûty, Ibnu Qudâmah
dan Ibnu Muflih, menyatakan:
وفي
فساد القرض روايتان انتهى. وأطلقهما في المستوعب والتلخيص والرعايتين والحاويين
إحداهما يفسد. جزم به ابن عبدوس في تذكيرته. الرواية الثانية لايفسد. قلت: وهو
الصواب. وهي من جملة المسائل التي قارنها شرط فاسد وهو ظاهر كلامه في المغني
والشرح با أكثر الأصحاب لأنهم قالوا: يحرم ذلك ولم يتعرضوا فساد العقد
Artinya: "Dalam hal rusaknya akad utang piutang maka ada dua riwayat.
Dalam kitab al-Mustau'ab wa al-Talkhish wa al-Ri'âyatain serta dua Kitab al
Hawi dijelaskan: Salah satu dari riwayat ini menyatakan rusaknya akad. Ibnu
Abdus menegaskan pendapat ini dalam Kitab Tadzkirahnya. Adapun riwayat kedua
adalah tidak merusak akad. Menurutku, ini adalah yang benar. Pola ini
menyerupai beberapa masalah utang piutang yang dibarengi dengan syarat fasid.
Dan ini merupakan dhahir dari pendapat pemilik kitab al-Mughny dan penjelasan
dari mayoritas kalangan ulama Hanabilah. Kalangan terakhir ini berpendapat:
Haram melakukan muamalah utang piutang dengan cara demikian itu, meskipun hal
itu tidak menyebabkan rusaknya akad." (Al-Mardawi, Tashîhi al-Furû' li
al-Mardâwi, Beirut: Dâr al-Ma'rifah, tt.: 4/204)
Kedua, ulama yang berpendapat bahwa akad utang piutang bisa rusak disebabkan
syarat yang rusak. Pendapat ini dinyatakan oleh kalangan Mâlikiyah, pendapat
shahih dari kalangan Syafi'iyah, dan sebagian kalangan Hanabilah. Sebagian dari
pendapat-pendapat ini sudah kita sampaikan di atas.
Walhasil, dengan kasus meminjami uang dengan syarat pihak yang diutangi sanggup
meminjami sepeda memiliki dua pandangan hukum. Hukum pertama adalah boleh dan
keberadaan syarat rusak berupa mau meminjami sepeda dianggap sebagai syarat
mulgha (boleh diabaikan). Jika syarat tersebut dianggap mulgha, maka akad utang
piutang sebagaimana dimaksud di atas bukan termasuk akad riba. Meskipun dalam
hal ini juga masih ada perbedaan pendapat khususnya di kalangan Hanabilah.
Mereka menyatakan haram, akan tetapi keharaman itu tidak mampu membatalkan
akad. Hukum kedua adalah tidak boleh sehingga akad utang piutangnya harus
dibatalkan. Pendapat ini merupakan pendapat shahih dari kalangan Syafi'iyah.
Lantas bagaimana kemaslahatan yang perlu diambil?
Akad yang menyerupai akad di atas setidaknya menyiratkan bahwa orang yang utang
harus mengembalikan utangnya di majelis akad dengan rupa barang yang sejenis
dengan barang yang diterima di majelis akad utang terjadi. Padahal dalam
wilayah praktisnya, terkadang orang meminjam uang dengan jalan cash namun
membayar utang dengan jalan mentransfer yang hal itu meniscayakan perbedaan
tempat dan majelis antara pihak yang memberi utang dan pengutang. Terkadang
utangnya di Surabaya, namun saat membayar akad, salah satu pihak ada di
Jakarta. Terpaksa hal itu harus dibayar dengan jalan mentransfer ke rekening
yang bersangkutan. Jika hal ini dipandang dengan pola pandangan hukum yang
kedua, maka sudah pasti akad tersebut termasuk syarat yang rusak, atau bahkan
dipandang haram oleh sebagian kalangan Hanabilah dan Syafiiyah. Namun, bila
kita mengikuti pendapat yang pertama, maka syarat mentransfer pengembalian
utang bukanlah termasuk syarat yang bisa membatalkan akad. Syarat tersebut
ditengarai sebagai syarat mulgha. Wallahu a'lam bish shawab. []
Ustadz Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar