Senin, 31 Oktober 2022

JQHNU, Organisasi Qari dan Penghafal Al-Qur’an NU

Jam’iyyatul Qurra wal Huffazh Nahdlatul Ulama (JQHNU) merupakan salah satu badan otonom (banom) yang berada di bawah naungan Nahdlatul Ulama. Banom ini merupakan organisasi yang menjadi wadah bagi qari (pelantun), ahli, dan penghafal Al-Qur’an dari kalangan Nahdliyin.


Saat ini, JQHNU dipimpin oleh KH Ahsin Sakho Muhammad sebagai Rais Majelis Ilmi dan KH Saifullah Ma’shum sebagai Ketua Umum. Keduanya terpilih saat Kongres yang berlangsung pada tahun 2018 lalu di Pondok Pesantren Ash-Shiddiqiyah 3, Karawang, Jawa Barat.


Sebagaimana dilansir situsweb resminya, JQHNU diresmikan secara langsung oleh KH Abdul Wahid Hasyim pada 15 Januari 1951 H, tepat paada malam Maulid Nabi Muhammad saw, 12 Rabiul Awal 1371 H di Sawah Besar, Jakarta, tepatnya di kediaman H Asmuni.


Pembentukan JQHNU ini diawali dengan kemunculan organisasi para ahli dan penghafal Qur’an di berbagai daerah, seperti Jam`iyyatul Huffazh di Kudus, Jawa Tengah; Nahdlatul Qurra’ di Jombang, Jawa Timur; Wihdatul Qurra’ di Sulawesi Selatan; Persatuan Pelajar Ilmu Qira’atul Qur’an di Banjarmasin; Madrasatul Qur’an di Palembang; dan Jam`iyyatul Qurra’ di Medan, Sumatera Utara.


Melihat potensi besar dari para penghafal Al-Qur’an itu, KH Abdul Wahid Hasyim yang saat itu menjadi menteri agama mengumpulkan mereka pada Nuzulul Qur’an, tanggal 17 Ramadhan 1370 H atau bertepatan dengan 22 Juni 1950 M.

 

Pertemuan itu dilangsungkan di kediamannya, Jalan Jawa 12, Jakarta dalam acara buka puasa bersama. Di situlah, nama Jam’iyyatul Qurra wal Huffazh dicetuskan sebagai sebuah organisasi yang menghimpun para ahli qiraat, qari, dan penghafal Al-Qur’an.


Pertemuan tersebut juga menyepakati penunjukan beberapa ulama untuk bertugas menyusun anggaran dasar dan anggaran rumah tangga, membentuk komisariat-komisariat wilayah di tiap propinsi, kabupaten dan kota, mempersiapkan kongres pertama dalam waktu yang dekat, menghubungi para ulama’ qurra’ dan huffazh, dan melengkapi susunan kepengurusan. Dalam hal ini, para ulama menunjuk KH Abu Bakar Aceh sebagai pemimpinnya.


Dalam waktu kurang lebih satu tahun (1951-1952) kepemimpinan KH Abu Bakar Aceh, JQH telah berhasil mengesahkan Pengurus Wilayah di setiap provinsi dan 50 Pengurus Cabang Jam`iyyatul Qurra wal Huffazh; menyelenggarakan seleksi terhadap qari’ yang akan membaca al-Qur’an di RRI; dipercaya oleh Departemen Agama cq Lajnah Pentashih Al-Qur’an, untuk menjadi anggota tim pentashih Al-Qur’an; dan menyelenggarakan kursus kader qari’.


Berdasarkan Peraturan Dasar (PD) JQHNU, organisasi ini didirikan dengan tiga tujuan, yakni (1) terpeliharanya kesucian dan keagungan Al-Quran, (2) meningkatkan kualitas pendidikan, pengajaran dan dakwah Al-Quran, dan (3) Terpeliharanya persatuan para qari-qariah, hafizh-hafizhah dan para ahli ulumul Quran serta pecinta, penggerak dakwah Al-Qur’an dengan mazhab Ahlussunnah wal Jamaah.


Berbeda dengan banom-banom lainnya, struktur kepengurusan JQHNU terdiri dari penasehat, majelis ilmi, dewan organisasi, dan bidang-bidang. Penasihat adalah orang yang mempunyai hubungan moril dengan JQHNU dan dianggap mampu untuk memberikan nasihat.

 

Sementara Majelis Ilmi adalah penentu kebijakan umum dan pengawas terhadap pelaksanaan kerja Dewan Organisasi dalam menjalankan JQHNU, sekaligus sebagai majelis pakar dalam ulumul Quran. Dewan Organisasi adalah pelaksana kegiatan yang diprogramkan oleh JQHNU dengan kebijakan dan strategi yang baik dan benar.


Rais Majelis Ilmi dan Ketua Dewan Organisasi dipilih melalui kongres di tingkat pusat; konferensi di tingkatan wilayah, cabang, dan anak cabang; serta musyawarah di tingkat komisariat dan ranting.
[]

 

Sumber: NU Online

Tidak ada komentar:

Posting Komentar