Sayyidah Aisyah hidup bersama Nabi Muhammad SAW kurang lebih sembilan tahun—hingga Nabi wafat. Mereka mengarungi bahtera rumah tangga dengan penuh keridhaan dan kasih sayang. Sayyidah Aisyah memiliki kedudukan dan keistimewaan tersendiri di hati Nabi. Ia juga begitu dicintai Nabi sehingga sebagian sahabat menyebutnya dengan ‘kekasih Rasulullah’.
Pada suatu kesempatan, Sayyidah Aisyah pernah bertanya
perihal bagaimana cinta Nabi kepadanya. Beliau menjawab, cintanya
kepada Sayyidah Aisyah itu seperti 'simpul tali' yang tidak pernah berubah.
Atas hal itu, Nabi Muhammad meminta kepada para sahabatnya agar juga mencintai
Aisyah dan tidak menyakitinya.
Sayyidah Aisyah dan Nabi Muhammad kerap kali bermanja-manjaan, baik melalui
ucapan maupun tindakan. Misalnya, merujuk Kemesraan Nabi Bersama Istri (Adib
al-Kamdani, 2007), Nabi seringkali memanggil Aisyah dengan panggilan sayang
seperti Humaira—isim tasghir, bentuk kata yang bermakna sesuatu yang mungil
untuk memanjakan dan menunjukkan kecintaan. Humairah berasal dari kata hamra
yang berarti putih kemerah-merahan. Nabi terkadang juga menyapa Aisyah dengan
‘Aisy’, dengan gaya bahasa tarkhim—membuang huruf terakhir untuk menunjukkan
kemanjaan dan kesayangan. Ketika istrinya tersebut marah, Nabi mencubit
hidungnya dan memanggilnya dengan Uways (panggilan kecil Aisyah).
Dalam suatu hadits riwayat Bukhari, Muslim, dan Ibnu Hibban, Sayyidah Aisyah
mengaku pernah mandi junub bersama dengan Nabi. Jadi tangan mereka bergantian
mengambil air dari satu bejana. Nabi juga pernah mencium Aisyah padahal
keduanya tengah berpuasa di siang hari bulan Ramadhan. Sayyidah Aisyah juga
sering diajak Nabi Muhammad bermain-main. Teman-temannya didatangkan ke rumah
untuk bermain bersama. Digendong Nabi di atas punggungnya ketika menonton
pentas tari yang dimainkan Bani Arfadah pada hari raya.
Meski demikian, kehidupan rumah tangga Sayyidah Aisyah dan Nabi Muhammad juga mengalami gelombang persoalan. Tidak romantis terus-terusan dan berjalan tanpa masalah. Karena cemburu, hoaks, hingga persoalan ekonomi menjadi bumbu rumah tangga mereka berdua.
Sayyidah Aisyah menegaskan bahwa dirinya tidak pernah cemburu dengan
istri-istri Nabi yang lainnya, kecuali Sayyidah Khadijah. Karena meskipun
Sayyidah Khadijah sudah tiada, Nabi Muhammad masih sering menyebutnya. Beliau
juga selalu bersemangat ketika bertemu dengan sahabat atau benda yang pernah
dikenakan Khadijah.
Di sisi lain, Sayyidah Aisyah menjadi sumber kecemburuan bagi istri-istri Nabi
yang lainnya. Bagaimana tidak, para sahabat sering kali memberi Nabi hadiah
ketika beliau berada di rumah Aisyah. Sementara ketika di rumah istrinya yang
lain, tidak. Atas hal itu, Ummu Salamah—yang mewakili ummul mukminin
lainnya—mengadu kepada Nabi. Ia minta kepada Nabi agar memerintahkan
orang-orang tidak hanya memberi hadiah ketika beliau berada di rumah Aisyah
saja, tetapi juga ketika di rumah istrinya yang lain.
"Hai Ummu Salamah, janganlah engkau sakiti aku dalam urusan Aisyah. Sebab,
demi Allah, tidak ada wahyu yang turun kepadaku saat aku berada dalam selimut
seorang istri di antara kalian kecuali dia," jawab Nabi.
Persoalan nafkah juga menjadi bumbu bahtera rumah tangga Nabi. Jadi suatu ketika, diceritakan Said Ramadhan al-Buthy dalam Sayyidah Aisyah (2019), istri-istri Nabi—termasuk Sayyidah Aisyah—menemui Nabi Muhammad dan meminta tambahan nafkah. Mereka mengadu perihal kehidupan mereka yang sangat berat. Bahkan, Sayyidah Aisyah bercerita bahwa pernah suatu waktu dirinya tidak pernah melihat nyala api di rumah para istri Nabi Muhammad selama tiga bulan. Dalam kurun waktu itu, mereka bertahan hidup dengan kurma dan air saja.
Kesempitan hidup itulah yang memberikan mereka untuk mengadu kepada Nabi.
Meminta tambahan nafkah untuk menghias diri dan berpakaian yang lebih layak.
Mendengar tuntutan tersebut, Nabi Muhammad marah. Beliau kemudian menundukkan
wajah dan tidak menemui mereka untuk beberapa saat. Hingga turun wahyu dari
Allah QS. al-Ahzab ayat 28 hingga 29:
"Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu: jika kalian menginginkan
kehidupan dunia dan perhiasaannya, marilah supaya kuberikan kepadamu mut’ah dan
kuceraikan kamu dengan cara yang baik. Dan jika kalian menghendaki (ridha)
Allah dan Rasul-Nya serta (kesenangan) di negeri akhirat maka sesungguhnya
Allah menyediakan bagi siapa saja yang berbuat baik di antara kalian pahala
yang besar."
Nabi Muhammad langsung mengumpulkan istri-istrinya dan membacakan ayat tersebut. Mereka disuruh memilih: hidup sederhana bersama beliau atau diceraikan secara baik-baik agar mereka memperoleh nafkah yang lebih banyak. Sebetulnya Nabi Muhammad memberi waktu kepada para istrinya untuk memikirkan dan memutuskan hal itu. Namun Sayyidah Aisyah tanpa ragu dan pikir panjang langsung memilih yang pertama, yakni tetap hidup bersama Nabi Muhammad. Keputusan ini kemudian diikuti istri Nabi yang lainnya.
Fitnah atau kabar bohong (hadits al-ifki) juga pernah mengganggu kehidupan
rumah tangga Sayyidah Aisyah dan Nabi Muhammad. Dikisahkan, sepulang dari Bani
Musthaliq pasukan umat Islam berhenti di suatu wilayah—beberepa kilometer dari
Madinah—untuk beristirahat. Ketika malam tiba, Sayyidah Aisyah minta izin
keluar dari sekedupnya untuk buang hajat. Tak lama kemudian, dia menyadari
kalai kalungnya hilang, tidak ada lagi di lehernya. Ia kemudian turun dari
sekedupnya dan kembali ke tempat dia buang hajat untuk mencari kalungnya.
Ia cukup lama mencari kalung di tempat itu. Hingga ketika dia kembali ke tempat
umat Islam beristirahat, mereka sudah tidak ada. Mereka sudah melanjutkan
perjalanan, tanpa menyadari bahwa Sayyidah Aisyah tidak ada di sekedupnya. Ia
menunggi hingga kemudian ketiduran. Menjelang waktu subuh, Shafwan ibn
Muaththal yang bertugas sebagai petugas penyapu—bertugas memungut barang-barang
pasukan umat Islam yang kececer dan jatuh- menemukan Sayyidah Aisyah. Singkat
cerita, Shafwan mengantar Sayyidah Aisyah hingga bertemu dengan rombongan
pasukan umat Islam yang baru saja memasuki Kota Madinah.
Kejadian ini dimanfaatkan betul oleh musuh-musuh Nabi Muhammad. Mereka menuduh
Sayyidah Aisyah—yang datang terlambat dan tidak bersama rombongan pasukan umat
Islam—telah melakukan perselingkuhan dengan Shafwan. Salah seorang yang paling
getol menghembuskan kabar dusta tersebut adalah Abdullah bin Ubay bin
Salul.
Hal itu cukup mengganggu kehidupan rumah tangga Sayyidah Aisyah dengan Nabi
Muhammad. Tidak seperti biasanya, Nabi Muhammad bersikap dingin kepada Sayyidah
Aisyah setelah kabar dusta tersebut tersebar luas. Bahkan, Nabi Muhammad sampai
mengumpulkan para sahabatnya untuk mendiskusikan apa dan bagaimana seharusnya
beliau menghadapi hal itu.
Sebulan berlalu, Allah membela dan menyucikan Sayyidah Aisyah dari segala
tuduhan yang tidak benar tersebut dengan menurunkan QS an-Nur ayat 11 hingga
21. Barangkali ini merupakan salah satu kisah paling masyhur terkait dengan
Sayyidah Aisyah. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar